BAB 33

238 36 10
                                    

Hi, hi! 👋. Apakah masih ada yang membaca karya absurd saya ini? Real life sangat menguras waktu, tapi saya akan berusaha menamatkan cerita ini, walau agak lama. Hehehe... Makasih buat kamu-kamu yang setia baca dari chapter 1 sampai sekarang. Oke, selamat membaca.

Waktu berjalan seperti siput, tapi berlalu bagai angin. Tiana sekarang memahami artinya. Rasanya baru kemarin ia dan Jasper tiba di stasiun Tanjung Priok. Namun, hari ini mereka musti kembali ke Buitenzorg, bedanya ada mama Liesbeth dan papa Hans yang menemani perjalanan pulang kali ini.

Sebenarnya mereka bisa saja langsung ke Semarang, tetapi mengingat perjalanan akan sangat panjang jika dilakukan dari Batavia, Jasper memutuskan untuk singgah di Buitenzorg. Mereka sekalian bisa mempertemukan dokter Hans serta dokter Liesbeth dengan bibi Aminah.

Kemarin, sebelum mereka berangkat, Papa Antonie mengatakan telah menyiapkan segala sesuatu untuk kedua pasangan dokter ini, agar mereka nyaman berada di Semarang. Papa Antonie juga memberikan "ceramah" singkat pada Jasper dalam suratnya. Pasalnya papa sudah meminta beberapa orang dokter untuk bekerja di klinik pabrik dan menjanjikan jabatan kepala dokter saat STOVIA dibuka di Semarang kepada seorang dokter.

Namun, surat Jasper datang mengacaukan rencananya, papa harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membujuk para dokter. Untungnya papa memiliki pabrik lain di karesidenan Pati sehingga para dokter bisa bekerja sesuai yang dijanjikan. Tetapi Jasper menyadari maksud tersembunyi papa yang diam-diam setuju dengan usahanya yang mendatangkan kedua dokter tersebut untuk mendukung Tiana.

"Jasper. Hei, kita sudah sampai. Kamu melamun?" Tiana bertanya sambil mengguncang lengan Jasper, menyadarkan pria itu yang terlihat termenung memandangi sepatunya.

"Ah, sudah sampai? Saya tidak sadar."

Jasper membuka kaca jendela kereta, logo besar bertuliskan "STASIOEN BUITENZORG" berada di depannya. Segera dia bangkit dan mengambil koper di atas kepala, para centeng sibuk membantu membawa barang dokter Hans dan dokter Liesbeth. Rencananya mereka akan mencari hotel di sekitar stasiun agar mudah saat berangkat ke Semarang.

"Jasper, aku boleh pulang ke rumah bibi?"

"Tentu saja, tapi kamu tidak ingin menunggu dokter Liesbeth? Kalian bisa mengunjungi bibi bersama-sama."

"Mama Liesbeth masih lelah, biarkan dia beristirahat. Nanti sore aku akan menyusul kalian ke hotel."

"Oke, tapi bawa engku bersamamu."

"Tidak perlu, ini Buitenzorg, bukan Batavia. Ini tempatku sendiri."

"Jangan memberi kesempatan untuk kejahatan, Tiana. Untuk berjaga-jaga saja, bagaimana mungkin saya membiarkan wanita cantik bepergian seorang diri?"

"Oh, sekarang mulutmu semanis madu. Jago sekali merayu."

"Saya serius Tiana. Bawalah engku bersamamu."

"Baiklah, aku tidak akan membantahmu. Sekarang aku mau berpamitan pada mama Liesbeth dan papa Hans dulu. Sampai jumpa nanti sore."

"Oke, hati-hati di jalan. Sampaikan salam saya untuk bibi Aminah."

***

Bibi Aminah sudah selesai menyuguhkan makanan bagi para kuli yang bekerja di kebunnya, bibit-bibit tebu telah tertanam di lahan berukuran satu hektar pemberian Jasper. Semua kuli berasal dari ujung Jawa, mereka dulu bekerja di perkebunan tuan Antonie, papa Jasper.

"Kenapa akang-akang mau bekerja disini? Buitenzorg jauh dari kampung halaman 'kan? Apa tidak susah jika hendak pulang?" tanya bibi Aminah setelah para kuli selesai makan siang ini.

"Gaji yang tuan Jasper tawarkan lebih besar, nyai." jawabnya. Namun, mereka tidak mau menjawab ketika bibi Aminah bertanya berapa upah yang Jasper berikan.

"Tuan Jasper menyuruh kami untuk merahasiakannya, nyai. Takut yang lain iri. Jadi kami sudah berjanji tidak akan menceritakannya pada siapapun."

Tuan Controleur pun masih sesekali kemari, memeriksa kebun baru. Bukan kepalang senang hatinya baru saja menjabat sudah ada orang kaya yang membuka lahan, membuat kebun. Tuan residen pun memujinya di depan pejabat lain saat pesta di rumah tuan residen. Sebab itu dia ingin memastikan kebun ini bisa sukses panen, agar tuan Jasper dan papanya memperluas lahannya.

Sifat manusia tak bisa jauh dari penyakit hati. Melihat satu dari orang kampung mulai hidup enak, mendidih mata mereka melihatnya, beringas napas jika bibi Aminah lewat membawa belanjaan dari pasar. Tidak lagi berjalan kaki memanggul, tetapi kini sudah menyewa dokar. Bukan beras segantang yang dibawa, tetapi berkarung-karung beras, seperti orang hendak hajatan. Bertambah panas hati, bertambah miring juga suara yang keluar dari bibir mereka.

"Pantas saja mereka tidak mau menerima lamaran pemuda desa sini, ternyata mengincar meneer Belanda. Cantik-cantik mau saja jadi gundik."

"Ya, bagaimana lagi. Mana ada uangnya orang kampung, beda dengan kompeni, gulden mereka banyak. Wanita mana yang bisa menolak hidup senang, benarkan?"

"Tak kusangka kalau Tiana begitu, tak ubahnya gadis lain. Kasihan si Galuh jauh-jauh merantau, gadis yang diincarnya ternyata mata duitan. Disawer gulden saja sudah berpaling."

Bibi Aminah sudah sering mendengar kabar miring tentangnya, tapi selalu diabaikan. Dia tidak bisa melawan warga sekampung yang iri padanya. Saat ini perhatiannya hanya pada kebun tebu di depannya, para akang itu bilang kurang dari setahun kebun ini bisa dipanen. Rencananya bibi Aminah akan mengajak Ceu Imah dan Ceu Casmini untuk membantunya membuat gula dari tebu.

Bibi Aminah mendengar suara kuda berhenti di depan rumahnya. Ketika melihat keluar bibi Aminah melihat orang laki-laki berpakaian seperti jagoan sedang membantu seorang wanita turun dari dokar.

"Amboi, putri darimana yang menyasar kemari?" pikirnya.

"Assamu'alaikum, bi."

Tercengang sejenak bibi Aminah menatap wanita yang mencium tangannya.

"Wa'alaikumsalam. Ini kamu, neng?"

Tanya bibi Aminah memperhatikan wanita dengan dandanan ala putri Eropa, yang sekarang membuka topinya. Baru dia yakin kalau ini keponakannya.

"Aduh si bibi, baru tidak ketemu satu minggu lebih masa lupa sama Tiana?"

"Bibi pangling lihat kamu, pakaianmu baru dan si Amang tadi tidak kelihatan wajahnya."

"Tiana lapar, bi. Bibi masak apa? Tiana rindu masakan bibi."

"Ah, kamu belum makan, neng? Amang juga belum makan?"

"Iya, nyai."

"Ya sudah, ayo masuk dulu. Kita makan sama-sama."

Tiana duduk santai, gaunnya sudah berubah menjadi kebaya. Baru kelihatan dia seorang gadis Sunda kalau begini. Engku pergi ke pondok kuli di seberang sana, katanya hendak istirahat sekalian mengecek keadaan mereka.

"Bi, bibi tidak apa-apa?"

"Bibi sehat. Memangnya kenapa, neng?"

"Tiana lihat orang-orang memandang sinis pada bibi."

"Lah, ya biasa atuh, neng. Kayak tidak paham saja kelakuan orang kampung seperti apa. Maklumi saja, yang penting kamu bahagia disana nanti. Bibi baik-baik saja disini. Lagipula saat panen nanti bibi mau ajak ceu Imah dan Ceu Mini kerja disini."

"Bagaimana membayarnya, bi? Bibi mau pakai uang hadiah dari Papa Jasper? Uangnya masih Tiana simpan, kalau bibi mau, nanti Tiana ambilkan."

"Tidak usah, neng. Bibi masih punya simpanan. Lagian, uang panen tebu nanti cukup untuk menggaji semua orang. Kata akang-akang yang bekerja kita bisa panen puluhan ton, bibi mau buat gula sedikit saja."

"Oke, terserah bibi."

"Jasper dimana, Neng? Balik ke Semarang?"

"Ada di hotel, bi sama dokter Liesbeth dan Dokter Hans."

"Ah, iya. Kamu sudah berjumpa dengan mereka? Bagaimana kabarnya? kenapa tidak dibawa kemari?"

"Baik-baik saja. Mereka masih lelah, bi. Mungkin nanti malam atau besok mereka akan kemari."

"Bagaimana Batavia, neng?"

Tubuh Tiana tegak mendengar pertanyaan bibi, dengan semangat dia menceritakan pengalamannya selama di Batavia. Tentang gedung-gedungnya, makanan, dan orang-orangnya.

Jasper & TianaWhere stories live. Discover now