31 - Tuhan Juga Tahu

292 34 124
                                    

Putusan sela digebyarkan sejelas mungkin. “Tim penyidik memutuskan agar dilakukan prosedur penahanan terhadap tersangka sampai waktu sidang selanjutnya. Keputusan didasari syarat-syarat dalam pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).”

Sunyi merampok udara. Senyum kecil di kelopak bibir Riel, Ivanka dan Ify yang terdiam di gerilya otak masing-masing, serta Rio yang mati kutu. Pemenang sementara telah kentara. Permainan kali ini usai, permainan selanjutnya segera mengintai.

🎭🎭🎭

Sungguhan.

Berapa kali lagi Rio harus menerima kenyataan yang menghadapkannya dengan ketidakpastian? Bolehkah Rio terang-terangan mengatakan ada pelbagai hal yang tak ingin (dan tak dapat) Rio tunggu lebih lama? Menunggu waktu untuk menemukan seorang pelaku saja perlu bertahun-tahun. Apa masih kurang bukti kesabaran Rio hingga harus dicobai satu kali lagi?

Sidang yang mengambangkan nasibnya bukan lagi di depan mata, tapi sudah ia pijaki. Lantas mengapa dirinya malah tampak terlena di tempatnya sekarang berada?

Rio memalingkan muka sambil menarik panjang rambutnya yang agak berlebih. Dari kejauhan nan simpang siur di sekitarnya, sekelebat wajah-wajah orang asing melewatinya tanpa menoleh. Beberapa yang lain keheranan melihat dia seolah terbiar di siku luar gedung bertingkat-tingkat. Terparah, satpam berseragam necis tadi juga mendekatinya, menawarkan bantuan perihal lokasi di mal bergengsi. Tentu Rio tolak sebaik mungkin sebab ia tidak sedang mencari tempat. Ia mencari seseorang.

"Yo."

Nah, pucuk dinanti ulam pun tiba. Suara lembut yang dimaksudkan menyapa begitu halus terlebih dahulu.

"Rio‒"

Sedikit terbelalak, bola mata Rio bergerak cepat menyela perulangan yang membuatnya melarikan mata ke sekitar.

"Jangan sebut nama itu di sini." Meniup poni samping, gumaman Rio samar di telinga sang gadis.

Sorot bening baru menyadari lautan manusia yang membersamai mereka. Ditatapnya ulang pemuda yang sebelumnya menunggunya, yang mana langsung mengangguk mengiayakan prakira di benak sang dara.

"Ah .... " Aku hampir lupa diri dengan siapa aku berhadapan. Batinnya secara kontradiktif ingin terkekeh di balik bibir lurusnya.

"Riki."

Sontak gaungnya membeo dengan rambut mata terangkat. "Riki?"

"Untuk sekarang kalau ada kemungkinan didengar orang lain, panggil aku Riki," cetus Rio buru-buru. Tidak lama, desahan singkat diproduksi dari dalam tubuhnya. Menyadari hal aneh yang baru ia sampaikan. "Sebenarnya, tidak akan terpakai juga. Abaikan aja yang tadi."

"Nama baru lagi?" Pipi tirus itu sedikit menggembung menahan kekehan. Bagaimana pun pintaan Rio biar pembahasan itu jadi angin lalu, rasa-rasanya sulit tidak membahasnya lagi.

Lempeng, pemuda itu mencangkringkan sebelah lengan di pinggang. "Sah-sah aja, 'kan?"

"Aku salut kamu bisa berbohong seenteng sedang bernapas, ya."

Kiasan yang mendarat pas di poin tengah sasaran. Sengaja, subjek kekesalan Rio berkata ringan, tanpa nada sindiran. Bukankah dengan seperti itu kalimat ironis yang sebenarnya benar tersebut berkali lipat menyebalkan?

"Sesukamu saja."

Ia kehabisan kata bersilat lidah dengan gadis cermat itu, akhirnya merealisasikan sebuah gelengan yang dikawani senyum kecil.

"Lebih baik kamu jelaskan, Fy, untuk apa kita di sini dan bagaimana ceritanya kita bisa keluyuran di hari penahanan pertamaku? Aku kesannya seperti sedang kabur dari penjara, tahu."

Great Pretender | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang