9. Bab 9

55 12 0
                                    

Nadia berusaha menghubungi Witama, bermaksud menceritakan apa yang ia khawatirkan tentang anak-anak di sekolah tetapi nihil. Sepertinya Witama tengah sibuk sampai-sampai tidak sempat mengangkat telepon. Berkirim pesan adalah jalan ninjanya.

Isu perundungan anak-anak di sekolah sudah ramai diperbincangkan. Itu yang menjadi ketakutan utama Nadia. Banyak pemberitaan yang membuat hati teriris mengenai hal tersebut. Nadia tidak bisa membayangkan jika kedua jagoannya benar-benar mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Kekhawatiran seorang ibu ketika keamanan anak-anaknya terganggu, maka batinnya pun akan bergejolak tak tenang.

Notifikasi pesan menerobos melalui aplikasi hijau. Tampak pesan dari nomor yang Nadia simpan dengan nama "Kak Nina" masuk beberapa kali. Ia pun segera membuka pesan-pesan itu.

[Nad, Ibu barusna cerita tentang utang dan investasi bodong yang kalian ikuti itu.]

[Kenapa kamu gak mikir panjang dulu sebelum masuk?]

[Paling gak diskusi dulu sama aku. Sekarang setelah kejadian, tiba-tiba Ibu bilang minta tolong untuk pelunasan ke bank.]

[Ini semua gara-gara ide kamu yang tak masuk akal.]

[Tiba-tiba pinjam uang ke bank, tiba-tiba ikutan investasi gak jelas, tau-tau minta tolong setelah rugi.]

[Pokoknya kalau tanah itu berhasil kejual, aku mau semua hasil penjualan tanah itu. Utuh!]

[Kalaupun Ibu memaksa karena ingin menyelamatkan rumah yang jadi jaminan itu, kamu harus tetap membayar setiap bulan dan aku gak mau cicilnya sedikit-sedikit. Gak kerasa cepet abis nanti.]

Beberapa detik Nadia terdiam setelah membaca pesan itu. Berulang kali ia membaca dan mencoba memahaminya. Namun, memanglah sungguh berat mendapat pesan demikian dari orang dekat, kakak sendiri. Rasanya memang percuma membahas lebih lanjut, karena Ibu sudah pasti mengatakn seluruhnya kepada Kak Nina.

Dalam kebingungan, entah apa yang hatus Nadia sampaikan sebagai balasan. Pikirannya benar-benar penuh. Napasnya terasa berat dan sesak. Seperti tidak pernah habis hari memenuhinya dengan kepenatan yang tak berkesudahan. Belum lagi pikirannya tenang tentang anak-anaknya di sekolah, sudah datang lagi kata-kata bagai rudal meluluhlantakkan semangat berjuangnya hari ini.

Beberapa chat yang masuk Nadia abaikan begitu saja. Untuk membalas pesan-peaan itu pun ia membutuhkan kekuatan berpikir. Namun, jika tidak dijalani lalu dari mana ia mendapatkan tambahan untuk membantu cicilan itu.

Ah, pusing!

Rasa sesal itu kembali menghinggapi. Pikirannya menerawang jauh ke masa ia masih bekerja sebagai karyawan swasta, sama seperti Witama. Waktu itu ia begitu bebas menikmati hidup, tanpa harus membebani siapa pun. Terkadang ia ingin kembali ke masa itu. Ada penyesalan lebih dari kebodohan yang menyebabkannya terjerumus ke dalam bisnis halu itu, yaitu menikah tergesa hanya karena mengikuti arahan ibunya.

Jika saja saat itu Nadia bisa sedikit saja mendengar kata hatinya untuk tetap melanjutkan bekerja dan percaya kepada Tuhan jika jodoh itu pasti akan datang. Mungkin ia tidak akan terjebak dengan keadaan seperti ini. Atau paling tidak, ia lebih dahulu mempersiapkan segalanya lebih matang, karena nyatanya setelah menikah banyak hal yang sebelumnya tak pernah terlintas di pikiran Nadia.

Apalagi tanpa jeda waktu, ia tiba-tiba harus keluar dari pekerjaan, tak lama dari itu ia hamil, lalu melahirkan dan mengurus anak. Keadaan yang benar-benar singkat dan serba dadakan. Membuat Nadia bergerak mengikuti naluri berpikir pendek. Segalanya ingin dilakukan dengan instan, banyak ketidaksiapan menjadi seorang Ibu. Terutama posisinya sebagai istri, ibu dan anak yang masih hidup menumpang di rumah orang tua.

Ditambah menyusul kelahiran anak kedua, saat Arkan belum genap dua tahun. Kecolongan! Ya, saat Witama pulang cuti waktu itu, Nadia lupa memasang aalt kontrasepsi. Biasanya ia selalu siap sedia pergi ke puskesmas untuk memasang kontrasepsi rutin jika mendengar kabar Wiatama akan pulang. Ketentuan Tuhan memang tak pernah ada yang mengira. Mungkin dengan kehamilan keduanya itu, Tuhan menginginkan Nadia mendapat dua bocah sekaligus dengan waktu yang berdekatan sehingga usianya yang hampir menjejak 35 tahun bisa menyusul teman-temannya yang menikah lebih dulu, tetapi masih bertahan dengan satu anak.

Keadaan sudah jauh menyeretnya ke dalam pusaran waktu. Ia tak bisa mengembalikan semuanya. Kini kedua jagoan itu sudah bertumbuh menjadi anak-anak sehat dan menggemaskan. Kebersamaan yang terjalin selama kurun waktu pertumbuhan, membuat kontak batin ibu dan anak itu semakin erat. Jika bepergian ke mana pun, Nadia harus membawa kedua jagoan kesayangannya. Meskipun seringkali direpotkan dengan tingkah mereka yang kadang tak terduga. Namun, rasanya ada yang hilang jika ia pergi tanpa mengajak dua pengawal kecilnya.

Sudut mata Nadia menghangat, bulir bening terasa menerjuni tebing pipi yang pagi tadi baru saja diolesi sunscreen Niacinamide. Salah satu produk yang dijualnya di media sosial itu.

Seketika sesuatu membuatnya terlonjak, bunyi notifikasi itu lagi. Kali ini pesan dari guru sekolah Arkan.

[Mom, anak-anak kelas Arkan sudah pulang semua. Jodi masih menunggu jemputan, tapi Arkan dari pamit ke toilet belum kembali ke kelas. Tasnya masih ada di kelas.]

[Apakah Arkan pulang duluan, tanpa memberitahu saya?]

Darah Nadia terpompa naik turun. Fokusnya kembali tertumpah kepada sulungnya yang ia yakini terancam di sekolah. Pertanyaan macam apa itu, bodoh sekali. Selama ini sekolah tidak pernah membiarkan anak-anak pulang sendirian. Apalagi Arkan bukan tipe anak yang suka membolos. Rasanya tidak masuk akal.

[Bu, apakah sudah cek semua toilet dan CCTV? Saya datang sekarang.]

"Arkaaan ...!"

Dengan perasaan tak karuan, Nadia melajukan motornya. Tak ia pedulikan deraian air mata yang tak henti bercucuran tanpa komando. Gelisah ia sebelum mencapai sekolah itu.

***

Empat puluh lima menit di jam pelajaran terakhir sebelum denting bel tanda pulang berbunyi, Arkan meminta izin untuk ke toilet. Tidak ada yang aneh bagi sang guru, ia menganggap itu hal yang wajar terjadi kepada siswa setiap hari. Namun, yang menjadi janggal adalah ketika bocah yang pintar dalam pelajaran matematika itu tidak kembali hingga masa belajar habis.

Ibu Vania yang saat itu mengajar, segera memberitahu semua petugas keamanan untuk membantu mencari Arkan. Setelah semua siswa dijemput orang tua masing-masing, mereka segera bergerak, sementara Jodi tetap menungguu di ruang tunggu dalam dengan diawasi oleh guru piket.

"Aku merasa ada yang tidak beres. Mohon kabar ini jangan tersebar ke pihak luar. Tolong bantu cari di area sekolah dulu," pinta Ibu Vania.

"Mungkin itu anak bersembunyi atau ketiduran di suatu tempat." Salah satu petugas keamanan berpendapat.

"Rasanya tidak mungkin, pulang diam-diam juga tidak mungkin. Tadi sudah saya pastikan juga pada mamanya, dia belum sampai di rumah."

Seluruh koridor toilet dari lantai satu sampai lantai tiga dan setiap sudut kelas mereka susuri. Namun, belum ada jejak ditemukannya Arkan.

"Ada yang genting, Bu Vania?" Sang Kepala Sekolah yang sudah mendapat info saat kedatangan Nadia, segera mengikuti dengan beberapa petugas keamanan lainnya. Ia melihat kecemasan di wajah Bu guru wali kelas itu.

"A-arkan, Bu." Ibu guru wali kelas Arkan itu tampak gugup, ketika dilihatnya Nadia telah berada di samping sang Kepala Sekolah dengan wajah pucat.

"Arkan di mana, Bu?" Bergetar suara Nadia.

"Kami sudah mencarinya di seluruh toilet sekolah, tapi tidak ada."

"Apa mungkin dia belum sempat ke toilet? Mungkin ada yang mengganggunya." Nadia makin panik.

"Bu Nadia tenang. Pak, coba cek semua CCTV di jam pelajaran terakhir. Cek dari lorong kelas tiga, ya!" perintah sang Kepala Sekolah.

"Baik, Bu."

"Rasanya tidak mungkin ada yang mengganggu." Kepala Sekolah sangat meyakini keamanan sekolah ini.

Sementara Nadia menenangkan diri dengan segala kecemasan yang luar biasa, ia mencoba menelepon Witama. Hampir putus asa karena Witama masih tidak mengangkat panggilannya.

***

Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Where stories live. Discover now