60. Bab 60

47 7 0
                                    

"Assalamualaikum, Bu."

"Nad, Ibu bingung kemarin Pak Hasan tanya lagi soal pelunasan utang di bank. Nah, terus Nindi itu pernah tanya Ibu apa tanah bagianmu mau dijual ato nggak. Katanya Rizal dapat tender proyek, mungkin mau beli tanah bagianmu."

"Loh, kenapa harus tanah bagian saya, Bu? Kenapa tidak ambil saja tanah bagian Kak Nina, bukannya dia yang mau jual tanah?"

"Gini, Nad. Kakakmu, kan, sekarang sedang ada masalah, Ibu tidak yakin uang itu akan dibelikan tanah lagi. Daripada kebuang percuma, mending Ibu tetep gak akan jual. Tapi klap punyamu, kan, jelas untuk keperluan pembayaran utang, Nad."

"Kalo gitu jangan semualah, Bu. Kan, saat berutang, gak cuma saya yang menikmati uangnya. Malah dibagi tiga sama Ibu juga. Kalau tanah saya mau dijual untuk melunasi utang ke bank, sebagiannya dari Ibu dan Nindi."

"Iya, tapi kan, kamu yang punya ide memasukkan uang ke investasi itu. Kalaupun Ibu dan Nindi bantu, tidak harus bagi rata. Kamu limapuluh persen, Ibu dan Nindi dua puluh lima persenan. Jadi dari hasil jual tanah itu, nanti bisa ibu tambahin."

"Loh, memang dijualnya berapa, Bu? Kan, harga jual tanah itu lebih besar dari jumah utang ke bank. Pasti ada lebihnya, atau kalau mau jual setengah bagiannya saja."

"Dia maunya nawar harga keluarga, Nad. Gimana? Ibu pusing, nih, tiap hari Pak Hasan sekarang ngejar terus. Karena dia, kan taunya tempat ini yang jadi jaminan."

"Nadia pikirkan dulu, Bu. Nanti saya kabari Ibu."

"Jangan lama-lama, ya."

"Ya, Bu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Nadia termangu sambil menatap hidangan di atas meja yang baru saja ia siapkan. Ia kembali merenungkan percakapannya barusan. Satu sisi Nadia mendapat pencerahan jalan supaya utangnya segera bisa terlunasi, sisi lain hatinya masih belum sepenuhnya ikhlas jika harus dijual seluruh tanah bagiannya. Sementara ibu dan Nindi tidak mau mengeluarkan uang untuk sisa pelunasannya.

"Apakah aku harus berterus terang pada Mas Tama?" Nadia bergumam sendiri.

Jika saja masih tinggal di Cirebon dan anak-anak bisa pindah ke sekolah biasa, mungkin masih bisa ia melanjutkan cicilan dari uang kiriman Tama. Selebihnya ia usahakan dari kerja sampingannya di jalur online itu. Akan tetapi hati dan pikirannya selalu tak tenang jika harus terus berjauhan dengan sang suami. Hal itu benar-benar membuat nadia bagaikan makan buah simalakama.

***
Hyunday GLX biru electric baru saja keluar dari halaman parkir sekolah yang Tama maksud. Lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat ia bekerja. Bangunannya cukup nyaman dan sekolah tersebut disebut-sebut sebagai sekolah Bertaraf internasional di Batam.

"Apa tidak terlalu mahal, Mas?" Nadia menilik brosur di tangannya yang menampilkan informasi, fasilitas dan biayanya.

"Sekarang, kan, tidak harus mengontrak rumah, jadi dananya bisa dialihkan untuk sekolah anak-anak saja." Tama berucap santai.

Dalam hal ini Nadia setuju dengan keputusan Tama, tapi masih terus ada yang ia pikirkan.

"Apa tidak ada pilihan sekolah lain, Mas?"

"Ada dua sekolah yang sama bagusnya, tapi yabg satu berbeda arah dengan lokasiku bekerja. Maksudku biar berangkat dan pulangnya bisa antar jemput sekalian. Gitu, loh, Sayang."

Lagi-lagi pemikiran Tama tidaklah salah, Nadia pun setuju. Walaupun tidak sering mereka berdiskusi, Tama rupanya tanggap mana hal yang harus ia tindaklanjuti, mana yang ditunda dulu. Ia begitu paham tentunya dengan time management.
Nadia sempat memutar kepala ke arah bangku belakang, dilihatnya Arkan dan Jodi tengah asyik bermain game di ponsel masing-masing.

"Berarti mereka jadi pindah sekolah, Mas?" Nadia memindai pandangan ke arah Tama.

"Ya, kalo ada yang pas dan cocok, inshaallah langsung urus kepindahan mereka."

"Aku harus pulang dulu ke Cirebon?"
"Loh, kenapa harus pulang dulu?" Tama mengerutkan dahi. "Kan, bisa diurus via online.

"Tapi, kan, buku-buku dan seragam anak-anak masih di sana, Mas. Kan, tadinya masih belum pasti."

"Nanti kita diskusikan di rumah, ya."

Nadia mengembuskan napas sedikit kasar, ia sangat tau kebiasaan Tama. Namun, apa boleh dikata, Tama adalah Tama. Seperti halnya berlayar ke tengah samudera yang belum diketahui ujungnya, Tama berusaha menjadi nakhoda terbaik bagi penumpang yang ia bawa.

Seharusnya ini adalah waktu bagi Nadia membuka langkah baru, dengan satu langkah saja yang bisa ia ambil untuk menyelesaikan masalah yang kemarin. Sesuatu yang masih melilitnya hingga hari ini. Mungkin Nadia masih bisa mempertimbangkan saran Bu Rosmia untuk melepas tanah bagiannya itu.

Dengan demikian, Nadia akan menjalani hidup dengan tenang. Namun, tetap saja ada kegelisahan yang masih mengganjal. Rasanya tepat jika ia berpikir untuk pulang sebentar ke Cirebon, lalu menemui ibi dan adiknya untuk diskusi soal tanah itu. Supaya jelas keputusan yang ditentukan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak.

Nadia sangat berharap jika Tama akan mendengar usulannya untuk kembali ke Cirebon dengan alasan mengurus surat kepindahan anak-anak dari sekolah lama.

"Setelah ini, Mas Tama balik ke kantor ato langsung pulang?"

Tama melirik penunjuk waktu yang melingkar di lengan kirinya.

"Sudah hampir usai jam kerja, aku langsung pulang saja. Biar nanti kuinfo asistenku untuk check absensi."

Hyundai GLX biru electric pun melaju mulus ke arah perumahan di mana mereka tinggal.

***

Setelah mendapat keputusan dari Tama, Nadia segera menghubungi guru wali kelas Arkan dan Jodi whatsapp dan email. Juga menginformasikan padaa pihak admin mengenai kepindahan mereka.

Pesawat telah lepas landas dari Bandara Hang Nadim menuju Jakarta. Nadia berharap kepulangannya ini bisa menyelesaikan semua permasalahan dan memutus utang-utang dengan segala dramanya. Ia mulai merancang kalimat-kalimat yang akan ia katakan saat berdiskusi dengan Bu Rosmia, Nindi dan Rizal.

Begitu mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Nadia gegas menghubungi travel agen Jakarta - Cirebon yang sudah ia booking sebelumnya. Satu bulan hampir berlalu, rumah kontrakan yang selama ini menaungi Nadia dan kedua buah hatinya terlihat begitu berdebu tanpa penghuni.

Nadia mulai membuka pintu belakang, masuk dari arah dapur. Matanya menyapu tiap sudut rumah yang akan menjadi kenangan itu. Di dapur itu, dirinya selalu sibuk menyiapkan makanan siap saji untuk anak-anak. Di ruang tengah kecil yang tembus ke pintu depan, di sanalah Arkan dan Jodi biasa menghabiskan waktu bermain game dan belajar bersama saat kelas online.

Lalu, langkahnya menuju kamar tidur yang biasa ia melepas penat bersama Arkan dan Jodi. Banyak momen-momen indah dan juga menyedihkan di tempat itu. Terutama saat Arkan berbuat kesalahan. Meskipun sedikit dan bukan hal besar, Nadia akan selalu mencecarnya. Itulah juga salah satu alasan terkuatnya untuk  berpindah mengikuti sang suami. Agar Arkan dan Jodi  bisa mendapat bimbingan dari Ayah mereka.

Semua kenangan dan segala keperluan yang dibutuhkan sudah Nadia kemasi, lalu ia segera menghubungi Bu Rosmia.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)Where stories live. Discover now