48. Bab 48

54 7 1
                                    

Setiap memasuki dunia pernikahan maka selalu terucap kalimat sakinah mawaddah wa rahmah. Tujuan pernikahan memang untuk meraih hidup yang sakinah (tenang) dalam balutan mawaddah (Cinta) dan rahmah (kasih sayang), bukan hanya sekedar menyalurkan kebutuhan biologis saja.

Dalam pernikahan kedua Sena tentu saja antara Sena maupun Anita sangat memahami dan memaklumi kekecewaan dan kemarahan Indah sebagai seorang istri yang telah dikhianati suaminya ini.

Meski sang suami berargumen bahwa poligami dibolehkan oleh agama dan secara lisan Indah pun telah memberikan kerelaan. Bahkan dalam doktrin Islam baik itu Alquran maupun Hadis, poligami memang disebutkan secara terang benderang.

Akan tetapi, hati tetaplah hati yang tak bisa dibohongi. Ia adalah tempat ternyaman bagi luka tersembunyi. Ketika raut harus terenggut duka yang tak kunjung surut. Ditumbuhi sesak namun tak jua melesak. Ia tetap mengembangkan ruang untuk semua rasa yang menggenang.

Seketika Indah teringat dan selalu terngiang-ngiang perkataan seorang istri saat dipologami oleh suaminya yang merupakan penyanyi islami terkenal pada zamannya. Si istri berkata bahwa "Poligami tidak semudah memuntahkan spermamu pada lubang yang baru" dan Indah pun mengamini sepenuhnya pernyataan ini. Apakah Sena bisa berlaku adil?

Indah menyadari sepenuhnya bahwa dalam kenyataannya, Sena melakukan poligami dimulai dengan kebohongan. Kalau boleh mengutip KH. Husein Muhamad dalam bukunya berjudul "Ijtihad Kyai Husein" menyebut ada tiga pandangan terhadap poligami.

Pertama, poligami adalah Sunnah alias mengikuti perilaku nabi Muhamad. Keadilan yang eksplisit disebut dalam Alquran cenderung diabaikannya atau hanya sebatas argumen verbal belaka. Kedua, pandangan yang memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat yang ketat. Ketiga, pandangan yang melarang poligami secara mutlak. Perbedaan pandangan ini berkaitan dalam menafsirkan Surat An-Nisa ayat 3:

"Dan jika kamu takut tidak bisa berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (ketika kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senang: dua, tiga atau empat, jika kamu tidak bisa berbuat adil, maka cukup seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

Bahkan menurut Bapak Prof. Quraish Shihab, menyatakan ayat tersebut hanya bicara tentang bolehnya poligami, dan itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang sangat amat membutuhkan, dan dengan syarat yang tidak ringan.

Bila kita belajar dan merujuk pada pernikahan Nabi Muhamad secara utuh, beliau menikah monogami (satu istri) dengan Khadijah selama 25 tahun. Kehidupan poligami Nabi hanya 8 tahun. Jika demikian, mengapa bukan masa yang lebih banyak yang diteladani?

Bahkan dengan terang-terangan Nabi tidak mengizinkan puterinya, Fatimah, dimadu oleh suaminya, Ali bin Thalib. Ali pun taat dan hidup monogami sampai Fatimah wafat. Alasan Nabi melarang Ali mempoligami puterinya karena itu menyakiti hati puterinya, bila hati puterinya sakit maka beliau juga sakit.

Jadi pernyataan dari istri penyanyi yang mengatakan bahwa poligami tidak semudah memuntahkan sperma pada lubang yang baru itu adalah benar adanya. Semestinya keluarga harus dirawat dan dibangun agar terwujud suasana mawaddah, penuh cinta dan kasih sayang tanpa ada kekerasan dalam bentuk apa pun, karena adanya godaan lubang baru.

Namun, sekali lagi Indah menyadari bahwa kenyataan yang dipijaknya adalah sebuah keniscayaan dari garis takdir yang tak bisa ia bantah.

Apakah yang dilakukan Sena murni karena ingin menolong janda muda itu? Janda yang pernah menjadi teka-teki hati Sena selama puluhan tahun karena rasa yang masih tertinggal dan baru saja terungkap. Betapa Indah merasa seperti badut.

Lants, apakah Indah tak cukup berani mengambil sikap untuk berpisah dari Sena? Atau hanya tak ingin mengubah takdir dan nasibnya ke depan? Entahlah, Indah hanya tak mampu membayangkan jika kedua buah hatinya akan tumbuh dalam perpecahan keluarga.

Hari ini adalah bertepatan dengan 10  tahun kepergian Senopati Joyo Sasongko. Keluarga besar Sasongko mengadakan perayaan berdoa bersama untuk mengenang mendiang almarhum. Semua anggota keluarga berkumpul bersama. Tak terkecuali Anita yang sengaja Sena bawa dengan niat ingin memperkenalkan kepada seluruh keluarga.

"Kenapa harus mengundang dia datang?" Indah bertanya datar saat Sena memasuki kamar mereka, dan hendak memanggil Indah yang masih berkutat di dalam kamar.

"Sayang, aku sengaja mengajak dia hari ini untuk bisa lebih dekat dengan keluarga Sasongko." Sena menjawab tanpa beban, dan ditanggapi oleh lirikan sinis sang istri.

Terdengar embusan napas kasar dari perempuan berambut hitam yang hari ini disanggul rapi, lalu ditutupi pasmina yang sisi kiri kanannya hanya digantung di bahu. Elegan dan berkelas.

"Baik, kalo itu maumu. Aku ikuti, tapi kalau ada anggota keluarga yang tidak menyukai dia, jangan berpikir aku yang mempengaruhi atau jangan juga kamu menyuruh aku untuk membuat mereka mengakurkan diri dengan perempuan itu." Indah menatap Sena penuh tantangan, tetapi tetap tenang.

"Namanya Anita." Sena mengingatkan istrinya, barangkali lupa.

"Aku ingat. Jangan paksa aku menyebut namanya kalau hanya ada kita berdua."

"Indah, aku pikir selama ini kamu sudah menerima keadaan ini, tapi apa ini? Kenapa kamu bersikap begini?" Sena mengusap wajahnya yang mulai tampak gelisah dengan kasar.

"Aku bersikap dewasa dan sabar hanya jika di depan Mama dan anak-anak. Karena aku bertahan hanya demi mereka?" Indah membalas dingin.

"Apa? Jadi kamu sudah tidak punya perasaan lagi sama aku?" Pertanyaan yang kekanak-kanakan menurut Indah, keluar dari mulut Sena.

Indah menatap mata sang suami begitu mendalam, "perasaan apa yang kau pertanyakan dariku, Mas?"

Sena hanya membalas tatapan Indah dengan nelangsa, ia menyadari ada luka yang teramat dalam di sana.

"Indah... " Sena menyentuh kedua bahu sang istri.

"Benahi dirimu, aku tunggu di ruang keluarga." Indah tak menangkis tangan Sena, tak juga membiarkannya bersarang lama.

Detik kemudian, Perempuan dengan gaun klasik yang sopan tapi tetap elegan itu melenggang menuju ruangan besar di mana biasanya keluarga Sasongko merayakan sesuatu.

Para tetamu keluarga membanjiri setiap sudut ruangan. Indah menuju ke tempat di mana sang mama mertua dan anak-anaknya duduk. Dikelilingi saudara kandung dari Papa mertua.

Semua saling bersalaman, bercengkerama dan berbagi tawa. Sebagian lagi membagi cerita kenangan almarhum. Tampak beberapa pejabat tinggi dari instansi Sena datang menghadiri undangan acara haul sang patriot.

Di salah satu sudut terlihat seorang perempuan dengan gamis berwarna pastel dan kerudung panjang yang menutupi dada berwarna senada. Di sampingnya duduk bocah lelaki yang tengah aktif bermain dengan kursi. Perempuan itu tampak menyuapi si anak. Anita.

Tidak tampak anggota keluarga Sasongko di meja yang ia duduki, melainkan hanya asisten rumah tangga dan sopir yang tampak mengobrol dengannya.

Indah memicing ke arah meja di mana madunya duduk, kemudian berjalan menghampirinya. Perempuan bergaun klasik itu berdiri tepat di hadapan wajah Anita yang seketika terdiam saat melihat siapa yang berdiri di depannya.

"Mbak Indah." Anita langsung berdiri memberi salam sedikit membungkuk dan hendak mengulurkan tangan saat Indah semakin mendekat.

Indah hanya menatap Anita sedikit dingin dalam beberapa detik, lalu tersenyum elegan tanpa menyambut uluran tangan Anita. Wanita berhijab itu pun segera menarik tangannya kembali.

***
Bersambung...

Bisnis Bodong (Tamat)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن