59. Bab 59

47 6 0
                                    

"Kalau kalian bikin Mama marah di sini, Ayah akan buat perhitungan sama kalian." Tama memperingati bocah-bocah itu, tentu saja dengan nada gurauan.

Perempuan yang mengenakan piyama satin itu tersipu malu-malu. Perasaan yang makin berkembang dan akan selalu sama seperti saat pertama kali menautkan hati. Itulah yang Nadia rasakan setiap kali berjumpa dengan Tama setelah lama berjauhan.

"Nggak, dong. Janji, kan, Ma gak marah?" Arkan memeluk sang mama manja, sementara Jodi ikut menciumi seluruh wajah perempuan yang melahirkannya itu.

"Ya, udah, main lagi sana." Tama menghalau duo gemas itu ke ruang TV.

"Mas, liburan anak-anak sudah hampir selesai."

"Terus?"

"Kapan aku dan anak-anak berencana pulang ke Cirebon?"

Nadia sudah tak membahas lagi tentang sekolah anak-anak. Ia pasrah jika harus kembali ke Cirebon dan melanjutkan sekolah di tempat yang sama.

"Yang, abis mandi kita ngobrol soal ini, ya. Janji." Tama melebarkan senyum, menampakkan deretan gigi mungilnya yang terlihat lucu dan menggemaskan di wajah lelaki seusia Tama.

Nadia memutar bola matanya malas, ia sudah menebak akan mendapat jawaban lama dari Tama.

"Aku mau makan ayam goreng, Yang. Ayamnya sudah dibumbui, kan?" pinta Tama seraya mencolek ujung hidung sang istri yang masih manyun.

"Ya, udah sana mandi. Kusiapin makannya, nanti makan sama anak-anak juga." Nadia mendorong Tama  ke arah pintu kamar mandi, hingga badannya melesak masuk. Terdengar tawa Tama tergelak di balik pintu kamar mandi.

Nadia tahu, suaminya tengah menertawakan wajah masamnya. Kesal!

Ayam yang sudah dipotong dan diungkep dengan bumbu khas mama mertua siap digoreng dan disajikan. Nasi yang sudah siap sebelum Tama pulang kantor, menunggu untuk dihidangkan. Aktivitas dapur mulai riuh dengan perpaduan bunyi dari alat tempur. Minyak yang meletup-letup kala beberapa potong ayam ditenggelamkan ke sana. Nadia menaruh tutup wajan supaya minyaknya tidak berhamburan.

Lalu, beralih membuat sambal dadak dengan terasi dan tomat segar, satu lagi sambal bawang khas Nadia. Setiap hari harus selalu ada pilihan sambal. Di rumah inilah Nadia benar-benar merasakan manapakki hari sebagai seorang istri dan juga Ibu. Fokusnya benar-benar ia habiskan apda keluarga kecilnya.

Sekarang Nadia tidak terlalu begitu terobsesi dengan komisi dari pekerjaan online itu. Namun, ada kewajiban di sisi lain yang masih harus ia selesaikan. Sebab itu kadang-kadang masih suka merasa tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan di perusahaan retail itu. Meskipun jumlah komisinya tidak seberapa, sayang untuk ditinggalkan.

Beberapa piring saji, bakul nasi hangat, sepiring ayam goreng, sambal, sayur dan makanan penyerta lainnya sudah siap Nadia tata di atas meja makan. Aromanya sungguh menggoda Tama yang baru selesai mandi.

Masih dengan handuk di setengah badannya yang menutupi bagian perut ke bawah, Tama menghampiri sang cinta yang masih membereskan sesuatu di dapur. Lalu, hap! Kedua lengan Tama melingkar di kedua sisi pinggang Nadia.

"Aduh, Mas. Ngagetin aja. Tuh, udah siap. Yuk, makan. Cepet dibaju sana."

"Tar dulu, ah. Aku kangen meluk kamu begini. Rasanya kalo pelukan di dapur gini lebih romantis, kan?" bisik Tama lembut di ujung daun telinga Nadia. Membuatnya merasa makin gugup, meski oleh suami sendiri.

"Mas, anak-anak gak lagi tidur, loh." Nadia beralasan supaya Tama melepas pelukannya dan segera menyelesaikan pekerjaan di dapur.

Alih-alih melepas dekapan, Tama malah memutar badan sang istri hingga berhadapan dengannya. Kedua pandangan itu bertemu di satu tumpu, embusan napas terasa semakin hangat mendekat. Jarak antara bibir keduanya pun makin terkikis, lembut dan penuh sensasi kerinduan Tama menyapu seluruh permukaan bibir Nadia.

"Mama, Ayah! Ayo makan, aku lapar." Arkan dan jodi menghambur dari ruang TV menuju meja makan.

Kedua suami istri itu sontak terkaget dengan teriakan Arkan dan segera mengakhiri adegan mesranya sebelum kedua bocah itu memergoki.

"Iya, Sayang. Yuk, makan." Nadia langsung menyuruh kedua lelaki kecilnya duduk di kursi meja makan. Sementara dirinya menuju kamar utama, mengambil kaos oblong dan celana kolor untuk Tama.

"Ayo, Yah. Mereka sudah kelaparan." Nadia segera memberikan baju itu.

"Siap." Tama gegas memakai pakaian rumahnya.

***

Dering ponsel berbunyi nyaring dari ponsel Nadia yang diletakkan di atas meja makan. Sementara dirinya tengah sibuk berkutat dengan aktifitas rutin di dapur. Bunyinya bersaing dengan deru mesin cuci yang sibuk mengocok baju-baju dan hentakkan dari spatula dan wajan,  ditambah blender yang menjerit melembutkan buah segar untuk nutrisi sarapan pagi ini.

Tama sudah berangkat ke kantor dua jam lalu, anak-anak masih terlelap di balik selimut tebal. Ini adalah waktu menyenangkan bagi Nadia mengerjakan pekerjaan rumah dan tugas online-nya. Kebisingan itu telah menyamarkan pendengaran Mama Arkan yang tengah sibuk.

Suara panggilan telepon itu berhenti tidak terangkat, detik kemudian bunyi itu kembali mencari perhatian. Saat blender berhenti otomatis, Nadia segera menuntaskan memasak dengan wajannya, mematikan kompor, lalu gegas menyambar ponselnya. Nomor land line tertera di layar.

"Halo pagi." Nadia menyambut ramah.

"Sayang, kok, gak diangkat?" Tersengar suara tak asing menerobos pendengarannya.

"Mas, maaf tadi sibuk di dapur dan gak kedengeran sama suara blender."

"Sayang, jam istirahat nanti aku udah bilang untuk izin keluar sebentar. Nanti kamu dan anak-anak siap-siap, ya. Kita akan survey sekolah untuk Arkan dan Jodi. Aku udah dapat beberapa informasi sekolah."

"Alhamdulillah. Oke, Mas. Jam berapa?"

"Nanti sejam sebelum berangkat, aku kabari. Anak-anak sudah bangunkah?"

"Belum, Mas. Mungkin sebentar lagi bangun. Aku baru siapin sarapan untuk mereka."

"Kamu juga makan, ya."

"Sudah, dong."

Percakapan dua sejoli dengan dua anak itu berakhir dan ditutup dengan  gelak tawa Tama yang terbahak mendengar jawaban sang istri. Seperti sudah menjadi rahasia umum, jika sang mama wajib mengisi semuanya sebelum anaknya terbangun.

Bayangan kebersamaan menari-nari di kepala Nadia, inilah akhir dari penantian panjangnya atas drama jark jauh yang menggagahi rumah tangga mereka selama kurun waktu hampir 10 tahun. Hatinya berkembang dan terasa penuh, lengkung bulan sabit tergurat jelas di bibir sensual milik Nadia.

Embusan napasnya menumpahkan karbon dioksida dengan penuh kelegaan. Harapan selanjutnya yang selalu mengusik ruang pikirnya adalah mendapat pekerjaan.

Dering telepon kembali berbunyi saat Nadia sudah selesai dengan semua pekerjaan rumah dna akan membangunkan kedua bocah kecilnya. Tampak nomor yang tersimpan dengan nama ibuku.

Rasa senang itu menjadi hampir sempurna saat akhirnya sang ibu menghubunginya setelah pesan terakhir yang ia kirim tidak dibalas. Pesan balasan atas apa yang Bu Rosmia sampaikan di hari pertama Nadia menjejak Batam. Namun, di antara rasa senang itu terselip konflik antara hati dan pikirannya.

Apakah Ibu menghubungi hanya akan membahas soal cicilan itu lagi?

***
Bersambung

Bisnis Bodong (Tamat)Where stories live. Discover now