Prolog

73 11 0
                                    


Raut bersungut-sungut menghiasi wajah Michelle Zefanya Arthawirdja, berlawanan dengan sebagian besar anak di sekitarnya. Anak-anak lain tampak cerah ceria, tegang sekaligus bersemangat. Tentu saja, hari ini adalah salah satu hari besar dalam hidup mereka.

Hari ini adalah hari pengumuman penerimaan murid baru SMP terkenal di Kota Bandung. Di tahun 2007, berkunjung ke calon sekolah untuk melihat papan pengumuman berisi nomor-nomor ujian adalah hal lumrah. Terkadang, pemberitahuan tiba lewat dering telepon, dilanjutkan pendaftaran ulang. Beberapa orang memilih langsung datang ke lokasi dan menyaksikan langsung. Beberapa orang itu termasuk Anya dan Yoga—kakaknya.

"Senyum, Anya." Di sisinya, Yoga mengulurkan tangan untuk menepuk—separuh menampar—punggungnya. "Apa pun hasilnya, tersenyumlah. Cemberut tidak akan membuatmu tidak diterima."

Anya, begitu gadis kecil berkucir dua itu dipanggil, menoleh. Alih-alih tersenyum seperti permintaan Yoga, malah semakin mengerucut bibirnya. "Senyum juga tidak akan membuatku tidak diterima di sekolahan anak-anak orang kaya yang sombong dan banyak tingkah seperti ini." Tatapannya teralih pada beberapa anak seusianya yang saling dorong dan membanggakan hasil pengumuman ujian masuk. Sepertinya mereka diterima di sini.

"Paling tidak, mukamu jadi jauh lebih enak dilihat."

Mereka masih jauh dari papan pengumuman berisi nomor-nomor peserta ujian. Ibaratnya ada lingkaran mengelilingi papan pengumuman di dekat pintu masuk gedung sekolah, posisi Anya dan Yoga ada di bagian terluar lingkaran. Sulit sekali melihat nomor-nomor di sana. Apalagi mata Anya sudah memerlukan koreksi untuk penglihatan jauhnya. Karena ia tidak mau, semasa SD, posisi duduknya selalu di paling depan agar tidak kesulitan mengikuti pelajaran.

Kerumunan di depan mereka menipis dengan keluarnya beberapa orang dari sana. Ada yang berseru senang, ada yang menangis. Ada pula yang tampak biasa-biasa saja. Kebanyakan, yang menunjukkan reaksi terhadap pengumuman ini adalah orang tua mereka, sementara para anak hanya termenung mendapati nomor ujian mereka ada atau tidak di sana.

"Berapa nomormu?"

Anya menoleh pada kakaknya. Tanpa berpikir panjang menyebutkannya, "443."

Yoga menghela napas. Jarak papan pengumuman dan mereka semakin kecil. "Ada seratus nomor di sini. Kita bagi dua. Aku ke sebelah kiri, kamu ke kanan."

Tatapan Anya turun pada lantai keramik tua di bawah kakinya, menatap kaki-kaki di sekitar mereka dengan jemu. Ia tidak berharap apa-apa. Diterima di sini tidak berarti hidupnya akan lebih menarik dari sekadar warna kelabu yang mendominasi kesehariannya. Tidak diterima di sini berarti ia harus mencari sekolah lain yang mungkin saja lebih mengerikan. Tapi, adakah sekolah yang bangunannya lebih mengerikan dari sekolah ini? Bangunan tua ala Belanda pasti seram saat gelap menjelang.

"Wah, nomornya diacak. Kukira, diurutkan sesuai urutan nomor peserta. Ini berdasarkan nilai tes masuk, ya?"

Percakapan di depannya mengusik perhatian, sekaligus menyurutkan semangat Anya. Tes masuk dua minggu lalu berupa tes matematika. Hitung-hitungan bukan keahliannya, tapi seingatnya soal tes masuk tidak membuat kepalanya pusing. Anya yakin dari seratus nomor yang dipasang di sini, isinya anak-anak pintar semua. Sekolah ini tergolong prestisius. Selain menguatamakan kepintaran, ada kebanggaan tersendiri di antara wajah-wajah cerah para orang tua penanda anak-anak dalam gandengan mereka diterima di sini.

"Akan lebih mudah kalau pengumumannya berupa daftar nama." Yoga berkomentar dari sebelahnya. "Oke, 443, ya. Kamu baca dari tengah ke kanan. Kalau tidak ketemu, langsung ke pinggir saja. Nanti kususul."

Tanpa memberikan jawaban lagi, mata Anya langsung tertuju pada papan tersebut. Papan itu pastilah sebelumnya dijadikan mading sekolah. Ada bekas-bekas dobeltip menempel di beberapa bagian yang kosong. Alih-alih rubrik cerita atau foto-foto, di tengah-tengah papan terdapat kotak-kotak kecil tersusun menjadi beberapa baris. Anya mengira-ngira posisi tengah kemudian mencari nomornya cepat-cepat.

339....

601....

198....

245....

Nomor-nomor yang acak membuatnya pusing. Entah apa tujuan pihak sekolah menampilkan nomor tidak berurutan begini. Mungkin benar kata orang di depannya tadi, sepertinya berdasarkan peringkat hasil ujian masuk. Anya harus berkonsentrasi lebih karena semakin ke kanan mungkin saja berarti nilai ujian masuknya semakin kecil. Tidak mungkin ia ada di golongan peringkat atas hingga ke tengah, kan....

248....

097....

222....

Ah, ada nomor cantik sebagai salah satu calon murid.

Debar jantungnya semakin menguat semakin ia mendekati baris akhir. Perutnya terasa dipilin hingga Anya mual. Banyak nomor terlewat, tapi tak satu pun merupakan nomornya. Ia tiba di nomor akhir, nomor 100 di urutan keseratus. Nomor 443 tidak ada sama sekali dari sekitar lima puluh nomor di bagiannya.

Kakinya melangkah keluar dari lingkaran, menjejak di keramik tua kelabu, menuju dinding kosong di dekat tangga yang diapit dinding. Haruskah ia sedih karena tidak diterima? Atau haruskah ia senang? Anya tidak bisa menebak ekspresinya sendiri saat ini. Kedua orang tuanya mungkin kecewa. Kak Yemima mungkin tidak akan berkomentar. Yoga mungkin menghiburnya dan meminta sopir mereka berbelok ke McDonald's untuk membelikannya es krim vanilla dalam perjalanan pulang.

"Hei, kenapa kamu ada di sini?" Suara Yoga memecah lamunannya. Kakaknya hampir menabrak seseorang yang baru melewati pintu kayu tidak jauh dari dinding tempatnya bersandar. Sebercak rasa takut menyerap dalam dada Anya, menduga-duga seperti apa air muka kakaknya saat ini. Kecewa? Marah? Sedih?

Seulas senyum lebar adalah jawaban yang tidak terpikirkan.

"Tidak ada namaku di sebelah kanan. Jadi, aku ... ke pinggir...?" Menjauhi kerumunan yang masih penasaran akan hasil ujian masuk SMP swasta terkemuka di Bandung dan menepi. Bukankah jawabannya mudah diketahui? Pertanyaan Yoga membuatnya terheran-heran.

Lebih mengherankan lagi ketika salah satu tangannya ditarik kembali ke arah papan pengumuman, kali ini ke sisi sebelah kiri.

"Lihat." Diikutinya ke mana jari telunjuk Yoga mengarah. Sejenak, Anya berusaha mencerna nomor yang tertulis di deretan paling kiri. Nomor paling atas, alias si peringkat satu, adalah 393.

Dan nomor di bawahnya....

"443! Itu kau, Michelle Zefanya Arthawirdja. Peringkat dua di ujian masuk SMP ini. Kau lihat? Cemberut maupun senyum tidak akan mengubah hasil apa pun. Jadi, selamat menjadi siswa SMP! Pulang dari sini, kubelikan semua Happy Meal yang kaumau. Papa dan Mama pasti senang mendengarnya." Suara Yoga terdengar dari balik rangkulannya.

Andai ada cermin di sini, Anya dapat melihat bagaimana raut mukanya saat ini. Sayang sekali, ia hanya bisa merasakan rahangnya mengencang karena melihat mimpi buruknya yang akan dimulai bulan depan. Belum sempat ia merespons Yoga, kakaknya sudah memutar tubuhnya dan menyuruhnya berpose di depan papan pengumuman.

"Buat kenang-kenangan," kata kakaknya sebelum mengabadikan Anya yang bergaya peace asal-asalan.

Saat itulah, secara tidak sengaja tertangkap olehnya sosok anak laki-laki seumuran dengannya berjalan keluar dari kerumunan dan menuju ke arah pintu. Bocah itu sendirian, tidak ditemani siapa pun. Punggungnya terlihat sepi—tidak bisa ia tebak apakah laki-laki itu berhasil atau gagal melewati ujian saringan masuk SMP ini.

Tiba-tiba saja, seberkas rasa lega menyusup ke balik rusuknya. Paling tidak, saat ini Anya diantar oleh Yoga.[]

Semicolon | REVISED EDITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang