1.9

30 5 0
                                    


Seseorang berkata, ketika kehilangan seseorang yang penting, ada nyeri tidak tertahankan dan sesak tidak berkesudahan. Tidak ada yang mengatakan bahwa kehilangan seseorang akan terasa seperti menemui akhir dunia, bedanya rongga dadamu kosong karena lubang besar menganga, mengucurkan darah tanpa henti, tetapi mati rasa.

Tidak ada seorang pun mengatakan, “April Mop!” dan Chris melompat dari balik punggung teman-teman sekelasnya.

Tidak ada apa pun yang terdengar oleh telinganya, bahkan suaranya sendiri.

Di hari ia dilahirkan, ia kehilangan seseorang berharga.

Ia terlelap memikirkan Chris, dan terbangun kehilangan laki-laki itu selamanya.

Kalau tahu begitu, Anya tidak ingin membuka matanya lagi.

&&&

Seharian ini hujan begitu deras. Dimulai dari tengah malam hingga kini, pukul sebelas siang. Matahari sama sekali tidak menampakkan wujudnya, seolah-olah turut berduka bersama Bumi karena kehilangan salah satu penghuninya.

Semenjak kembali dari rumah duka, Anya tidak bicara sepatah kata pun. Ia memberanikan diri datang di hari terakhir karena Yoga baru sampai dari penerbangan jarak jauh London – Jakarta, bertolak langsung ke Bandung bersama Yemima karena mendengar kabar tersebut. Ditemani Yoga, Anya mengikuti ibadat pelepasan jenazah di barisan paling belakang.

Ia mendengar lagu-lagu penghiburan dari umat gereja Chris. Mulutnya terkatup, tidak mampu ikut bernyanyi. Setiap lagu yang dinyanyikan hanya masuk ke telinganya saja, tanpa membekas dalam benak. Yoga berulang kali melirik adiknya, tidak tahu harus berbuat apa. Namun, Anya lebih banyak duduk diam ketimbang mengikuti ibadat. Yang dapat Yoga lakukan hanya menggenggam erat tangannya, berusaha menyalurkan sedikit energi pada adik bungsunya yang pucat pias.

Sepulang dari rumah duka, Anya mengunci diri di kamarnya. Duduk memeluk lutut, menatap kosong ke dinding. Sekali, dua kali Yoga mengetuk pintu kamar untuk menawarkan makanan.

“Nanti. Aku nggak lapar.” Seperti itu selalu jawaban Anya. Akhirnya, Yoga meninggalkan adiknya bersama pintu yang sedikit terbuka. Berniat memberikan Anya sedikit waktu dan ruang, namun tetap dalam pengawasannya.

Sepeninggal Yoga, Anya tidak bergerak sama sekali. Untuk melakukan apa-apa saja terasa berat. Bahkan napasnya terasa mencekik lehernya. Sekuat apa pun ia berusaha menarik napas, rasanya paru-parunya tidak mengembang. Ke mana larinya udara yang dihirup? Kenapa rasanya lubang di tengah dadanya bertambah besar?

Suasana kelabu rumah duka masih erat menekan pundaknya. Udara terasa pekat. Baju hitam dan putih berseliweran di mana-mana. Wajah-wajah terlihat muram. Punggung orang-orang terlihat dari kursinya barusan, semua mengitari peti kayu tempat Chris berbaring. Anya tidak sampai hati menyaksikan wajah Chris yang pucat.

Chris tidak akan tersenyum lagi.

Chris tidak akan menepuk pundaknya lagi.

Ke depannya, tidak ada lagi suara Chris menyapa di telepon, mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya dan memastikan ia menjadi orang pertama yang mengatakannya.

Kenapa Chris? Pertanyaan itu semula hanya bergaung dalam kepalanya. Lambat-lambat Anya mendengar dirinya berbisik. Kenapa Chris? Kenapa? Pertanyaan itu berulang-ulang disuarakan, lirih, sementara napasnya terasa semakin menderu.

Kenapa harus Chris? Kenapa tidak dirinya saja? Kenapa Chris pergi secepat ini? Kenapa harus pada hari ulang tahunnya? Anya tidak menjumpainya di sekolah, sesuai janji pemuda itu, agar mereka bisa bersama-sama pergi menonton dan makan setelahnya. Reservasi di restoran steik langganan mereka terlupakan begitu saja.

Semicolon | REVISED EDITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang