1.6

19 7 0
                                    

 

“Happy birthday, Chris! Semoga sehat selalu, Sayangnya Mami. Semoga panjang umur, pendidikannya cepat selesai, karirnya bagus…. Maaf Mami nggak bisa ke sana, ya, Sayang.”

               Wajah berseri-seri Mami muncul di layar Skype, sementara kedua mata Chris separuh terpejam. Perpaduan mengantuk dan silau karena layar laptopnya terang-benderang di pagi buta. Tidak mengerti kenapa kedua orang tuanya memutuskan meneleponnya hanya untuk memintanya menyalakan Skype dan … video call dadakan terjadi saat ini.

               Bahkan, ini bukan pagi buta. Tanpa sengaja matanya menangkap bayangan jam digital di bagian kanan bawah layar. Jam satu pagi, kurang bahkan. Astaga. Apakah mereka sedang merencanakan acara kejutan kecil-kecilan seperti film drama keluarga di televisi? Menggelikan sekali.

               “Terima kasih, Mi. Nggak apa-apa, nggak usah ke sini. Jauh. Macet.” Ucapan Chris tidak bermakna ganda. Merayakan ulang tahun bukan tradisi keluarga mereka. Hari ulang tahun hanyalah hari kelahiran seseorang, hari ketika seseorang seutuhnya menjadi manusia. Apakah yang spesial dan harus dirayakan? Menjadi manusia adalah tugas yang berat.

               “Chris, ini kan ulang tahun terakhir kamu di SMA. Nggak mau bikin pesta sama teman-teman, gitu? Waktu sweet seventeen, kamu malah pergi ke Dufan sama teman kamu itu.”

               Bayangan hari itu masih jelas: berpetualang ke taman bermain di kawasan Jakarta Utara, kali pertama Chris berani mengajak Anya pergi berdua saja ke luar kota. Mereka naik semacam shuttle, berbekal roti dari Indomaret dan sebotol air mineral. Sebagai pengajak, Chris merasa bertanggungjawab atas tiket masuk Dunia Fantasi. Namun, saat sampai di sana, Anya menolak dibayari.

               “Gue nggak butuh dibayarin. Kita masih anak sekolah, tahu.” Begitu kata Anya.

               Chris ingat hari itu ia mendebat karena niatnya ke sini menraktir temannya. Sudah jauh-jauh ke Dufan, kenapa rencana traktiran tersebut batal?

               “Lo bayarin makan sore nanti aja, ya?” Anya tersenyum, berusaha menghibur hati Chris. Setelah sepakat, mereka memesan makanan di restoran cepat saji Columbus, menenteng bungkusan makanan untuk dihabiskan di tepi Pantai Marina Ancol.

               “Begini saja, Mi.” Ide cemerlang melintas di benaknya. Mami akan merajuk terus sampai Chris memenuhi keinginannya. Terlihat wajah Mami siap menyimak di layar Skype. “Hari Minggu ini aku pulang. Nanti Mami boleh masak apa aja yang Mami mau. Bagaimana?”

               Entah pengaruh cahaya lampu atau memang seperti itu, raut wajah Mami berubah cerah. “Mami kasih tahu Rafa supaya ke rumah juga, ya.”

Chris menganggukkan kepala menyahuti ucapan Mami. Percakapan mereka berakhir tidak lama kemudian, dan Chris menemukan layar laptopnya meredup. Kantuknya benar-benar sirna sekarang. Berhadapan dengan cahaya LED dari laptop menguras kantuknya.

               Saat bersiap-siap untuk mencoba tidur lagi, ponselnya yang berdering. Tertera di layar nama adiknya.

               “Gue teleponin dari tadi nggak diangkat. Ngapain aja lo? Pacaran ya? Anyway, happy birthday, Chris. Udah tiup lilin? Ema bilang happy birthday juga ke lo. Dititipin ke gue.” Rafa memberondongnya bahkan sebelum ‘halo’ meluncur dari lidahnya.

               Dalam gelap kamarnya, Chris menemukan jalannya kembali ke tempat tidur. Untung kali ini Rafa tidak menggunakan mode video call seperti Mami barusan. Memandangi layar ponsel akan lebih melelahkan daripada layar laptop. Ucapan selamat ulang tahun dari Rafa, menilik suara adiknya, terkesan tidak rela. Tapi, akibat jarang bertemu adik satu-satunya itu, Chris mau tidak mau menarik seulas senyum. Sejak awal ia SMP, mereka berdua berpisah. Rafa tinggal bersama nenek mereka dari pihak Mami di Bogor, sementara Chris bertolak ke Bandung, masuk ke sekolah swasta terkenal dan selalu menempati peringkat tiga teratas sejak itu.

               “Mami telepon,” jawabnya singkat. “Thanks, bro. Nanti Minggu pulang ke Jakarta, ya? Mami katanya mau masak.”

               Mami pasti sudah menyampaikan berita ini duluan lewat chat pada Rafa, namun Chris merasa perlu memberitahu adiknya secara lisan. Ditariknya selimut menutupi perut. Punggungnya beralaskan bantal, setengah terduduk.

               “Ooo, gitu.” Chris melihat kernyitan Rafa dalam nada suaranya. Dicobanya untuk tidak berpikir macam-macam. “Gampang. Minggu ulangan gue udah kelar. Gue berangkat Sabtu sore kali, ya?”

               Terbersit sekilas ide dalam benaknya. Chris segera menyanggah, “Sabtu pagi gue ke Bogor dulu jemput lo, how? Sekalian mau ketemu Ema. Sorean kita berdua ke rumah, atau … lo mau ke mana dulu, gitu? Game Master, basketan lima ronde boleh.”

               “Lo yang isiin kartu Game Master gue?”

               “Gampang. Gue ulang tahun.”

               Rafa tertawa senang di ujung telepon. Tanpa disadari, sudut bibir Chris kembali terungkit membentuk senyuman.

               “Pacar lo nggak marah ditinggal pas malam Minggu?”

               “Sok tahu, lo. Gue nggak ada pacar.” Kalau ada di depannya, Rafa habis dipitingnya. Adiknya selalu sok tahu soal Anya, hanya karena pernah menangkap Chris sedang chatting dengan gadis itu sambil tersenyum-senyum. Sejak saat itu, Chris berusaha terlihat biasa saja bahkan saat Anya mengirimkan lelucon lewat pesan teks.

               “Kapan-kapan dibawa ke rumah, dong. Gue mau kenalan sama pacar lo.” Lagi-lagi Rafa berseloroh asal.

               Percuma berulangkali menekankan pada Rafa bahwa Anya adalah teman baiknya. Mereka memang berteman. Paling tidak, untuk saat ini. Menjelaskan tidak ada gunanya. Orang hanya akan mendengar apa yang mereka ingin dengar. Chris menghela napas pendek, menjawab, “Oke,” ringkas dan menyudahi telepon mereka. Jarang sekali ia lama-lama mengobrol jarak jauh dengan Rafa. Setiap kali bertemu, mereka lebih sering bermain bersama, terkadang berbagi cerita mengenai kehidupan.

               Langit-langit kamar yang gelap mengaburkan pikirannya. Satu yang muncul di kepalanya saat ini hanyalah Anya. Michelle Zefanya Arthawirdja.

            Pertemanannya dengan Anya berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Gadis itu masuk ke hidupnya lebih dalam dari yang diperkirakan. Mengizinkannya untuk terus membuka pintu agar Anya tetap kembali ke sana. Chris kira, mereka akan selesai ketika gadis itu tinggal untuk menggambar sementara ia terlelap di halaman belakang sekolah. Nyatanya, bertahun-tahun kemudian, Anya adalah bagian dari dunia sekolahnya.

               Bila seseorang bertanya siapa temannya, tanpa ragu Chris akan menyebut nama Anya sebagai jawaban.

               Namun, bila seseorang menanyakan apa arti Anya baginya, ia tidak tahu harus menjawab apa.

               Di usianya yang kedelapan belas ini, Chris bertanya-tanya kenapa ia perlu mengartikan keberadaan Anya baginya. Selama ini, tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa suatu hari ia akan kesulitan menjelaskan Anya. He simply cannot define her. And now he couldn’t help thinking about how she defines him.

               Sampai pagi menjelang, kedua mata Chris tetap terjaga penuh.[]

Semicolon | REVISED EDITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang