2.1

33 7 0
                                    

Anya mengejang dan praktis nyaris terlempar dari tempat tidurnya sendiri. Jari-jarinya mencengkeram seprai, tidak peduli seberapa kusut kain itu nantinya. Ia perlu berpegangan sementara waktu; ketika napasnya masih berantakan dan kesadarannya belum sepenuhnya siaga. Mencengkeram sesuatu seolah-olah mencengkeram kewarasannya sendiri, kesadarannya.

Ia menghirup udara banyak-banyak sebelum mencari-cari jam digital berbentuk kotak di sisi tempat tidur. Jam dua pagi. Tentu saja pikiran bawah sadarnya dapat menjawab itu, tapi akal sehatnya yang menyangkal memerlukan bukti. Perlu usaha keras untuk melonggarkan cengkeramannya dari seprai. Ketika akhirnya berhasil, tangannya naik ke kepala, menyisir rambut panjang berantakan dari arah akar, merasakan ujung-ujung jemarinya gemetar.

Tidak, sekujur tubuhnya gemetar.

Perlahan, ia memeluk diri sendiri. Memberikan tepukan pada bahunya. Satu kali, dua kali, kemudian berkali-kali. Tidak seperti biasanya, kali ini Anya perlu lebih lama mendekap dirinya sendiri. Ketika selesai, pundaknya melemas. Ketegangan menguar dari sekitarnya, dan ia bisa merasakan udara masuk ke paru-parunya tanpa perlu diperintah.

Sekali lagi, bola matanya bergulir menatap waktu di atas meja. Masih ada dua jam sebelum ia memulai kegiatan paginya yang terjadwal. Jam empat mulai ke kamar mandi. Jam lima sudah harus mulai sarapan. Jam setengah enam adalah tenggat waktu—perjalanannya ke kampus harus dimulai.

Instingtif, telunjuknya mengusap bekas luka di pergelangan tangan kiri, di bawah tinta hitam permanen membentuk sederetan angka. 30413, dirangkai bersama gelombang denyut jantung. Ujung jemarinya menyentuh permukaan kulit hati-hati, seolah torehan tinta di sana menimbul dan teraba oleh sensorisnya. Merasakan lukanya kering dan tidak berdenyut.

Semua akan baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja.

&&&

Anya mengangkat tangannya ke udara, menepis sinar matahari yang jatuh langsung ke mukanya, berharap dapat sekaligus menyembunyikan dirinya dari orang-orang di sekitar. Berada di antara banyak orang merupakan kecemasan tersendiri baginya. Ia berharap susunan paving block mendadak terbelah dua, menelannya ke dasar bumi.

Ia tidak suka berada di tengah-tengah kerumunan.

Ia tidak suka menjadi pusat perhatian di tengah kerumunan.

Sial sekali, sejak dua tahun lalu pun telinganya baik-baik saja. Sedari tadi, ia mendengar bisik-bisik mendengung menyebut namanya, juga tatap mata aku-bukannya-mau-melihatmu-tapi-saat-aku-berbalik-kamu-ada-di-lingkup-pandangku-dan-kayaknya-aku-pernah-melihatmu-sebelum-ini yang penuh pertanyaan tidak tersuarakan.

Mereka semua, dua ratus orang lebih, sedang dikumpulkan oleh senior-senior mereka yang kejam. Ini hari pertama mereka sebagai mahasiswa kedokteran. Seharusnya mereka menghabiskan waktu untuk berkeliling gedung fakultas yang terletak paling belakang dalam kompleks universitas mereka. Diperkenalkan pada para dosen merangkap klinisi di klinik kampus. Mendapatkan sontekan cara menghadapi pelajaran-pelajaran tertentu yang rumit seperti anatomi tubuh manusia. Barangkali, kalau seandainya diperbolehkan, diberi tahu mengenai jalan-jalan rahasia untuk memotong waktu ketika terlambat bangun.

“Woi, Maba! Umur berapa, sih, kalian? Gue bilang bikin barisan sesuai jumlah kelompok, kenapa kalian malah kayak ngantri sembako?! Di sini bukan acara terima sumbangan korban banjir, ya!”

Apa saja, apa saja, asal bukan acara marah-marah seperti ini.

Anya menghela napas. Kedua tangannya mengerat di samping tubuh, kuku-kuku nyaris menembus kulit telapak tangannya. Ia akan dengan senang hati membiarkan itu terjadi seandainya semalam tidak memotong pendek kuku-kuku ovalnya. Rasa sakit dapat mengalihkannya dari kegugupan. Ia memerlukan rasa sakit itu sekarang.

“Baris yang benar! Yang ngerasa badannya nggak tinggi, berdirinya di depan! Jangan sok tinggi lo!” Menyahuti kegalakan kakak kelas berambut pendek dan berkemeja hitam sebelumnya, kini kakak kelas perempuan berwajah judes (dan memakai kemeja hitam pula) menyemprot salah satu teman seangkatan Anya yang langsung mengkeret.

“Dengar nggak?!”

“D-dengar, Kak….”

Setelah anak yang diteriaki mengambil posisi di paling depan barisan, para senior itu berkeliling mencari mangsa baru. Ada yang dimarahi karena memakai lensa kontak berwarna, bersepatu kets, diduga mengecat rambut hingga berwarna cokelat tua, kemejanya kusut seperti tidak disetrika. Ada pula yang ditegur karena wajahnya sengak. Duh. Siapa yang bisa meminta dilahirkan berwajah seperti itu? Diam-diam, Anya merasa iba karena fisik seseorang bukanlah permintaan ketika mereka lahir ke dunia.

Pikirannya masih mengembara ke mana-mana ketika sepasang sepatu pantofel hitam berhenti di hadapannya. Anya mengangkat kepala, menemukan seorang senior perempuan berwajah ganas bersedekap, menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Michelle Zefanya Arthawirdja.” Cara perempuan itu mengeja namanya tidak seperti sedang membaca apa yang tertulis di nametag putihnya dengan huruf kapital dari spidol. Ada sesuatu yang familiar dari logat bicaranya, tipis, tapi berbeda dari kebanyakan orang.

Ia pernah mendengarnya di suatu tempat.

Di mana?

“Wah, wah. Teman-teman, kita kedatangan teman seangkatan gue saat SMA, lho.” Kata ‘teman-teman’ segera menarik perhatian para senior lainnya. Dalam sedetik, lima orang telah mengelilingi Anya, secara tidak langsung membuat beberapa orang mahasiswa baru bergeser dari barisannya karena takut kena semprot.

“Teman seangkatan lo, Dhe?” tanya salah seorang cowok berkacamata bingkai tanduk. Perawakannya mengingatkan Anya pada Yoga, tetapi Yoga tidak pernah bersikap sesengak ini.

“Iyaaaa.” Anya tidak melebih-lebihkan bahwa ia mendengar ‘iyaaaa’ dengan huruf a yang dipanjang-panjangkan agar terdengar menyebalkan. “Teman seangkatan, tapi sekarang jadi adik kelas. Gue kira dia bakal masuk jurusan arsitektur seperti keluarganya yang terhormat. Ternyata, malah masuk kedokteran. Ikut-ikutan mantan pacarnya, kali.”

“Malah gosip lo, Dhe.” Salah satu senior laki-laki berdecak.

“Dhea Devina, kita bikin ospek buat mendidik mereka, ya. Bukan buat jadi ajang balas dendam karena cinta segitiga lo kandas.” Laki-laki lainnya, jauh dari depan barisan mahasiswa baru, memperingatkan.

Darah surut dari wajahnya. Jantungnya berhenti berdenyut sedetik.

Dhe … a?

Anya tidak pernah mendengar kabar mengenai Dhea setelah ujian nasional berakhir. Ia beberapa kali menerima tatapan sengit dari Dhea semasa sisa sekolah. Tatapan-tatapan itu tidak ia mengerti maksudnya. Anya terlampau lelah untuk sekadar bangun dari tidur dan menghadapi hari-hari sekolah tanpa Chris menunggu di bangku belakangnya.

Sekarang, ketika ia punya sedikit lebih banyak rasa waspada, ia menemukan tatapan Dhea tetap sama seperti dulu. Tidak berubah. Tetap sarat akan kebencian.

“Urusan pribadi lo sama Michelle Zefanya bisa diberesin nanti beres ospek, oke?” Laki-laki yang sama di depan sana kembali bersuara—Anya menebaknya sebagai ketua kelompok senior ini. Entah ketua panitia ospek, atau ketua komisi disiplin karena mereka semua berbaju hitam dan sok marah-marah.

Dhea mendengkus. “Besok-besok jangan pakai kemeja hitam lagi, Anya. Nggak usah nyama-nyamain dengan seragam komdis. Balik lagi pakai baju-baju sok lucu yang ada di Instagram lo itu aja.”

“Pantas gue ngerasa dia familiar…. Ternyata dia user itsanyazeff yang hiatus setahun dari Instagram.” Sebuah bisikan cukup keras terdengar dari arah belakangnya.

Ia mencoba menemukan para pembisik dari sudut matanya, ingin memberikan tatapan tajam memperingatkan, tetapi Anya malah menemukan beberapa orang melirik ke arahnya, penuh tanda tanya. Salah satunya termasuk seorang laki-laki bertubuh jangkung di barisan sebelah, yang melirik karena terganggu dengan bisik-bisik di sekitarnya. Laki-laki itu memandang Anya satu detik lamanya, beradu pandang dengannya sebelum menggerakkan leher dan kembali fokus pada para senior menyebalkan di depan sana.

Sudah bisa ditebak: merangkak keluar dari kamarnya yang nyaman adalah keputusan yang salah. Tidak seharusnya ia mencoba kembali, bertahan, dan hidup.

Seluruh dunia membencinya. Tanpa Chris, ia bukanlah siapa-siapa.[]

Semicolon | REVISED EDITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang