A Kiss

17 1 0
                                    

Seperti biasa, Dawai akan menghabiskan waktu di dalam ruang teater, mengurusi mulai dari latihan untuk lomba, sampai pada penerimaan anggota baru, termasuk membahas seleksi yang akan mereka adakan. Tidak sembarang orang bisa masuk, hanya mereka yang benar-benar mencintai seni, yang berhak bergabung, sebuah visi yang mereka terapkan sejak dulu.

"Tiga tahap seperti biasa, mulai dari tes kemampuan yang peserta miliki, lalu kemampuan per bidang dari seni dan terakhir seperti biasa, kita coba mereka bermain peran," urai Dawai, sebelum melangsungkan seleksi, mereka mengadakan rapat internal terlebih dahulu.

"Wai, ada sedikit masalah," ucap Melodi yang baru tiba.

"Kenapa?"

"Itu, ada yang memaksa masuk seni teater tanpa seleksi. Dia mengancam, kalau gak dimasukkan, akan mengobrak-abrik ruang latihan," jelas Melodi terlihat begitu cemas, Dawai menautkan alisnya.

Siapa yang senekat itu sampai mengumbar ancaman. Gadis itu memutuskan untuk mengecek langsung ke ruang latihan teater. Dawai menghela napas, ternyata Rega pelakunya, sosok yang tengah nyengir padanya, seolah tidak melakukan kesalahan apa-apa.

"Kenapa sih, Ga? Bikin keributan aja. Kalau memang mau gabung, ikuti aja seleksinya," sungut Dawai kesal sendiri.

Di belakang gadis itu menyusul Lyre dan Rayano serta pengurus baru seni teater tersebut. Lyre terlihat tidak suka dengan kehadiran Rega.

Rega membungkukkan tubuhnya sedikit, menatap tepat di mata Dawai, sampai si empunya mengerutkan keningnya.

"Tuan putri begitu cantik, tidak adakah satu kesempatan untuk pangeran bisa mendampingimu berdansa?" ucapnya dengan logat begitu memukau, sisi lain yang tidak orang lain ketahui. Selama beberapa saat Dawai terdiam.

"Kalau begitu, Pangeran harus berperang lebih dahulu," sahut Dawai memalingkan wajah.

Keributan di luar menarik perhatian mereka. Terdengar langkah kaki yang berlari mendekat.

"Tutup pintunya," perintah Rega, bergerak menutup semua pintu akses masuk ke ruang teater. Semua panik, pasalnya sekolah sudah sepi, hanya tersisa beberapa orang, termasuk mereka yang kini terjebak dalam gedung teater. Tidak ada akses yang bisa keluar tanpa harus melewati gerbang sekolah.

"Apa yang terjadi?" tanya Rayano, Rega menggeleng.

Rega mengambil ponselnya, sebuah pesan tidak terbaca dari Saga.

"Sial, mereka menyerang saat anak-anak gak siap," geram Rega mengepalkan tangan kuat.

Seperti kebanyakan sekolah, selain memiliki siswa berprestasi, SMA Nusantara juga pasti memiliki gerombolan yang tidak suka belajar, tetapi siap jika ada yang mengganggu sekolah mereka.

Seperti saat ini, SMA Galaksi sepertinya tidak terima dengan kekalahan tim basket mereka, beberapa hari yang lalu. Alhasil, memilih menyerang saat lawannya lengah dan tanpa persiapan.

"Pengecut!" geram Rega.

"Saga, dia ada di luar. Hari ini jadwal basket 'kan?" ucap Dawai tanpa sadar menunjukkan kekhawatirannya di hadapan semua orang, padahal hanya Rayano, Lyre dan sekarang, Rega yang mengetahui siapa Saga dalam hidup Dawai.

"Iya, dia yang mengirimi gue pesan. Mereka masih berunding, belum keluar dari ruang olahraga," Rega memberi penjelasan.

"Bukannya lo salah satu gerombolan itu? Harusnya lo juga keluar menghadapi mereka 'kan," ucap Lyre menyudutkan Rega.

"Nah, lo 'kan juara tinju, Ga. Harusnya bisa dong mengalahkan mereka dalam sekali pukul," sambung pria di sebelah Lyre, terlihat tidak menyukai kehadiran Rega juga.

"Gue bisa aja keluar, menghadapi mereka, tetapi memang kalian yakin bisa aman setelah gue pergi?" tanya Rega membungkam mereka semua. Pria itu kini menatap Dawai yang gelisah, pasti Saga penyebabnya. Rega menghela napas perlahan.

"Hei," Rega menarik dagu Dawai begitu hati-hati, seolah takut menyakiti.

"Kalau gue berhasil keluar dari sini, menghadapi mereka, mau izinkan gue gabung di teater?" tanyanya hanya fokus di kedua mata indah Dawai.

Dawai terdiam, kalau Rega keluar, artinya pria itu bisa saja terluka.

"Enggak, lo gak perlu keluar! Kita tunggu sampai keadaan tenang," Dawai menggeleng kuat.

"Gak akan mungkin tenang, Wai. Harus ada yang menghadapi mereka," sanggah Lyre, begitu kukuh, memaksa Rega untuk keluar.

"Tapi gue takut," aku Dawai, tubuhnya bergetar.

"Give me a kiss later, kalau lo setuju dengan permintaan gue tadi," ucap Rega. Pria itu mulai mengecek lewat kaca. Mereka datang dengan senjata tajam, sedikit mengkhawatirkan.

"Gue ikut," pinta Dawai, Rega menggeleng dengan cepat.

"Gue akan lebih aman sama lo," lanjut Dawai menatap yakin pada mata pria itu. Rega menatap satu per satu orang yang ada di sana. Dawai mungkin aman bersama mereka, tetapi kepercayaan Dawai padanya jauh lebih berharga.

"Oke, gue akan melindungi lo. Untuk kalian, gue akan mengirimi pesan setelah keadaan aman atau mengirimkan seseorang untuk pemberitahuan, jadi, sebaiknya menunggu," urai Rega, meski tidak terlalu suka dengan beberapa dari mereka.

"Kita akan keluar. Gue udah minta beberapa tim tinju untuk bantu, mereka dalam perjalanan, jadi, lo gak boleh jauh dari gue, ngerti?" tutur Rega, Dawai mengangguk dengan cepat, tanpa keraguan sedikit pun di mata indahnya.

Dawai tidak berbohong, dia merasa lebih aman jika bersama Rega, dibanding harus menunggu di gedung teater.

"Berjuanglah," bisik Dawai, Rega tersenyum, membuka pintu dengan hati-hati. Di jarak beberapa meter, baru orang-orang itu menyadari kehadiran mereka.

"Ck, main serang aja. Pengecut lo semua!" teriak Rega menggema di SMA Nusantara.

Teriakan itu mengundang Saga dan beberapa orang lainnya untuk keluar. Beberapa saat Saga bertemu pandang dengan saudarinya. Dawai lebih dulu memutus kontak, menundukkan wajahnya.

Peperangan dimulai. SMA Nusantara kalah jumlah, tetapi tidak dengan kemampuan. Rega terus melindungi Dawai meski dirinya tengah tersudut sekali pun.

"Sekali berani sentuh dia, habis lo," ancam Rega, satu pukulan dan siswi yang hendak menjadikan Dawai sasaran tadi tergeletak, tidak berdaya.

"Keren 'kan!" ucap Rega masih sempat menyombongkan diri.

"Awas," teriak Dawai, Rega bergerak cepat, untuk menghindar, memberikan pukulan bertubi-tubi. Wajah pria itu kini penuh keringat dan sedikit lebam. Rega terengah-engah, jumlah mereka benar-benar banyak dan menguras tenaga.

Sementara Saga kesal sendiri melihat Dawai yang selalu mendapatkan pelindung. Pria itu dengan sengaja mendorong musuhnya ke arah Dawai, tepat saat Rega sibuk dengan lawannya.

Hampir saja sebuah senjata tajam mengenai Dawai.

"Harusnya lo lebih berani," ucap Rega tersenyum kecil.

Cairan kental yang menetes, membuat Dawai tersadar. Rega menyelamatkannya. Sama seperti Dawai, Saga ikut terkejut, tidak disangka, sahabatnya yang justru terkena sebatan pisau tersebut.

"Woi, sini lo semua!" Teriakan tersebut menarik perhatian mereka. Harusnya pertolongan datang lebih cepat.

"Ga," tangan Dawai bergetar melihat luka di lengan Rega, juga darah yang tidak berhenti mengalir.

Air mata Dawai lolos begitu saja.

"Maaf," gumamnya.

Rega menarik dagu Dawai dengan tangan yang tidak terluka. Kenapa sihir gadis di hadapannya selalu kuat? Selain membuatnya tidak rela Dawai dipermalukan, gadis itu juga berhasil membuat Rega tidak bisa membiarkan Dawai terluka sedikit pun.

"Lo setuju 'kan, gue masuk teater?"

Bahkan di saat genting, Rega masih membicarakan hal tidak begitu penting.

Dawai berjinjit agar bisa menggapai Rega, menempelkan bibir salemnya ke bibir merah Rega. Selama beberapa detik, sampai Rega membalasnya. Dawai melakukannya, sebagai bentuk persetujuan, seperti yang Rega minta.

Bukan Snow White - SELESAIWhere stories live. Discover now