Rumah?

10 2 0
                                    

Gwen mengenal Dawai bukan satu tahun atau dua tahun. Mereka sudah bersahabat sejak masih dalam kandungan. Yup, mereka dulunya bertetangga. Gwen bahkan mengenal baik sifat dan karakter setiap saudara Dawai. Bahkan sejak kecil, Gwen sudah mengagumi Alfy, memimpikan kelak pria remaja yang dulu membujuknya dengan ice cream akan menjadi jodohnya. Ah, mengingatnya terkadang membuat Gwen merindukan masa-masa itu. Dia hanya berkhayal sepantasnya anak kecil.

"Jangan bengong, nanti kemasukan bisa bahaya," tegur suara berat yang terasa familier. Gwen mengangkat wajahnya, terdiam selama beberapa saat.

Sosok itu melambaikan tangan, menarik kembali kesadaran gadis di depannya.

"Kak Alfy?"

"Heum, memang kamu pikir siapa lagi? Jin?" tanya Alfy terkekeh, Gwen mulai salah tingkah. Kalau mengetahui akan bertemu Alfy di toko buku, Gwen pasti akan berdandan lebih rapi, bukan hanya mengenakan kaus oblong dan celana santai. Benar-benar memalukan.

"Gwen, jangan bengong," panggil Alfy kali ini mengusap rambut sahabat dari Dawai tersebut.

"Kak Al baru pulang dari kantor?" tebak Gwen memperhatikan setelan lengkap yang melekat dengan menawan di tubuh pria itu. Awalnya, Gwen berpikir kalau perasaannya pada Alfy akan pudar setelah berpisah selama bertahun-tahun. Namun, rasa itu terus tumbuh, sampai detik Gwen menyadarinya.

"Heum, rencana mau cari buku untuk Dawai," sahut Alfy.

"Mau Gwen bantu? Gwen punya beberapa rekomendasi buku bagus. Tadinya mau ajak Dawai, tapi dia sepertinya sedang sibuk dengan..ehm, Rega," urai Gwen masih canggung. Sungguh, dia benar-benar menyesali pertemuan yang tidak berkesan dengan Alfy tersebut.

"Heum, dengan siapa pun selama tidak berniat buruk, tidak masalah. Lagi pula, Rega sepertinya orang baik, dia yang menolong Dawai beberapa kali," sambung Alfy menerima kehadiran Rega dalam hidup Dawai.

Pria itu baru bertemu Rega beberapa kali, tetapi kesan yang Rega tinggalkan begitu baik.

"Heum, Rega memang terkenal sedikit suka menggantung hati cewek di SMA Nusantara, tapi gue harap Rega bisa berubah dan lebih serius pada Dawai," Harapan besar yang juga Alfy aminkan. Sebagai saudara, Alfy pasti tidak akan membiarkan Dawai dipermainkan apalagi sampai Rega tega menyakiti hati saudarinya tersebut.

"Ayo, bantu cari bukunya. Sebagai permintaan maaf Abang juga untuk dia, udah bentak dia beberapa waktu lalu," Alfy mengulurkan tangan, membuat Gwen tercengang, menatap lama tangan kekar tersebut.

Ingin sekali Gwen berteriak sekarang juga, memberitahu satu dunia, bahwa kini dia tengah bergandengan tangan dengan orang yang dia sukai, ah sekadar suka atau mungkin lebih?

"Ini bagus, Kak," Gwen mulai menunjuk beberapa buku, baik fiksi maupun dongeng terbaru. Masih dengan tangan yang saling menggenggam, Alfy meminta pegawai di toko tersebut membungkus beberapa buku yang sudah mereka pilih, menjadi dua bagian.

"Eh untuk apa, Kak?" bingungnya saat Alfy menyodorkan satu paper bag untuknya.

"Buku yang sama. Kamu dan Dawai sudah seperti anak kembar, kalau Dawai dibelikan, kamu juga 'kan? Biar gak rebutan lagi seperti dulu," sahut Alfy mengembangkan senyumnya.

Gwen jadi malu sendiri, kala mengingat betapa Gwen ingin selalu sama dengan Dawai, memiliki apa pun dan di mana pun ada Dawainya, tidak bisa dipisahkan sama sekali. Gwen bahkan sering menginap dengan alasan tidak bisa tidur kalau tidak bersama Dawai.

"Gue juga rindu Dawai yang dulu, Kak," lontar Gwen mengutarakan isi hatinya. Dawai tetap sahabatnya, hanya terasa berbeda. Dawai hangat tetapi tidak sehangat dulu. Dawai tetap tersenyum, tetapi berbeda dengan senyum ceria dan tanpa beban yang dulu begitu Gwen kagumi.

"Dia akan sembuh. Jangan khawatir, tetap dukung dia, ya? Apa pun yang terjadi, jadilah rumah untuk Dawai," pinta Alfy menghela napas yang terdengar berat.

Berbicara tentang rumah, Gwen ingat saat dulu Dawai selalu datang padanya.

"Definisi rumah itu apa sih, Dawai bilang rumah itu bukan tentang tempat tetapi tentang orang yang ada di sana, yang memberi rasa aman dan cinta yang utuh. Pemikiran dia sangat dewasa, 'kan, Kak," tutur Gwen. Betapa indahnya makna di setiap kata yang selalu Dawai ucapkan.

"Heum, dia yang selalu mengusap air mata Mama saat kami tidak bisa. Dawai yang selalu menenangkan meski dia sudah terluka, maka itu dia menjadi lemah seperti sekarang," sambung Alfy. Dawai satu-satunya, itulah mengapa dia istimewa. Namun, Allegra tidak menyadari betapa istimewa dan menakjubkannya gadis kecil itu.

Ponsel Alfy yang berdering membuat perbincangan mereka terjeda. Alfy mengambil jarak beberapa meter dari Gwen, berusaha mencerna perkataan seseorang di seberang sana.

"Kenapa, Kak?"

"Kita ke rumah sakit, ya." Jawaban Alfy bagai petaka yang kembali mencemaskan hati Gwen.

"Dawai baik-baik saja?" Raut khawatir tercetak dengan jelas di wajah Alfy, meyakinkan bahwa Dawai sedang tidak baik-baik saja.

"Aku jelasin di mobil, kita harus bergegas," sahut Alfy.

Terjadi lagi, untuk ke sekian kalinya Dawai menempatkan dirinya dalam bahaya. Dawai dengan segala keputusasaannya, rasa bersalah yang menyusup ke sela-sela hatinya, membuat Dawai tidak lagi ingin hidup, meski semua orang ingin dia sembuh.

..

Rega membuka ruang rawat gadis itu dengan hati-hati, takut mengganggu ketenangan Dawai. Gadis itu cukup beruntung, tidak ada luka serius akibat benturan, dan luka di tangannya akibat sayatan cutter.

"Langit-langit gak seindah gue, mending lihat ke sini aja," tegur Rega mencoba menarik perhatian Dawai, agar menatapnya. Gadis itu masih diam, dengan pandangan ke langit-langit rumah sakit.

"Dulu, gue pikir gue punya rumah untuk pulang. Namun, gue salah. rumah itu udah lama hancur, tepat saat gue dilahirkan ke dunia," lirih Dawai. Untuk bernapas saja masih terasa sulit untuknya.

"Kalau siap berbagi, gue akan dengar kok," Rega mencoba menawarkan diri, berharap bisa meringankan beban berat yang Dawai tanggung.

"Gue punya lima ah empat saudara. Mereka baik, mencurahkan kasih sayang untuk gue, tapi..gue masih merasa gak pantas, Ga. Semakin mereka menyayangi gue, semakin gue merasa tidak pantas. Aneh, ya?" tanya Dawai menoleh pada Rega, menunggu jawaban pria berpakaian kasual tersebut.

Dawai memalingkan wajahnya, sudah menebak betapa anehnya dia sekarang di mata Rega.

Tempat tidurnya terasa bergerak, gadis itu membalikkan tubuhnya, dan baru sadar kalau Rega malah ikutan berbaring di sebelahnya. Pria itu dengan berani melingkarkan tangannya di pinggang Dawai.

"Ga, gue gak nyaman banget," aku Dawai berusaha menjauhkan tangan Rega dari pinggangnya.

"Bukannya lo mengharapkan kehangatan selain dari keluarga lo? Kalau lo merasa bersalah pada cinta yang mereka curahkan, maka lo gak boleh merasa begitu kalau sama gue. Ingat? Lo yang bilang kalau gue ini soulmate lo," sahut Rega menghirup wangi Dawai yang menenangkan.

"Lo yakin bisa jadi rumah untuk gue?"

"Kalau lo mau mencoba berteduh, kenapa tidak? Toh, rumah ini belum memiliki penghuni selain gue," sahutnya semakin mengeratkan pelukannya.

Rega tidak peduli dengan cara pandang orang pada Dawai. Aneh? Entahlah, Rega justru merasa Dawai itu istimewa dan menakjubkan.

"Pengen tidur. Kalau dia yang muncul, jangan kaget, ya?" gumam Dawai menguap lebar, mulai tidak bisa menahan matanya yang mulai meredup.

"Hem, dia atau lo sama saja. Kalian sangat istimewa dan gue suka itu," sahut Rega mengelus rambut Dawai, mengantarkan tuan putri ke tidur manisnya.

Bukan Snow White - SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang