Bab 2

358 15 2
                                    

“Kami saling mencintai, Ras. Bisakah kita saling berbagi Mas Ezran?”

Aku menatap tajam Sinta, lalu tertawa miris di hadapannya.

“Kamu bilang apa? Kalian saling mencintai? Benar itu, Mas?” tanyaku beralih menatap Mas Ezran yang kini sudah pucat pasi.

“Kita bicara di rumah, Ras,” Mas Ezran meraih pergelangan tanganku dan hendak membawa istrinya ini pergi. Namun, Sinta kembali menghentikan pergerakan kami.

“Kenapa enggak jujur sekarang saja, Mas. Bukankah baru saja kamu bilang kalau akan segera menikahiku dan menunggu waktu yang tepat untuk memberitahu Rasti? Aku pikir ini waktu yang tepat, Mas. Rasti sudah tahu hubungan kita. Aku tidak ingin hanya menjadi simpananmu saja, Mas. Aku ingin kepastian hubungan kita,” ucap Sinta dengan entengnya. Seolah ia tidak berpikir bagaimana perasaanku kali ini.

Aku memandang mereka satu persatu dengan tangan mengepal, bibir ini mulai bergetar dengan hati yang mulai berdenyut nyeri. Kutatap tajam Mas Ezran memintanya untuk menjelaskan segalanya sekarang juga. Aku hanya ingin mendengar semuanya dari mulut suamiku sendiri.

“Benar kata Sinta, Mas. Lebih baik katakan semuanya di sini. Biar aku tahu sejauh mana hubungan kalian selama ini dan sedalam apa cinta suamiku kepadanya?”

Mas Ezran terdiam, mungkin merasa terpojok dengan permintaan kami. Kalau sudah seperti ini, kamu tidak bisa berkutik lagi, Mas. Kutengadahkan wajah menahan laju air mata yang mulai berdesakan ingin keluar. Namun, sekuat tenaga aku berusaha agar tak menunjukkan kerapuhan di hadapan mereka berdua.

Sinta menatap suamiku penuh harap membuatku muak melihatnya.

“Mas ... sudah melamar Sinta, Ras. Mas akan menikahinya,” ungkap suamiku dengan wajah sedikit menunduk. Entahlah, apa yang ada di pikirannya kini. Mungkin, menyesal atau hanya perasaan tidak enak kepadaku.

Sudah kuprediksi jawaban ini yang akan Mas Ezran katakan padaku. Akan tetapi, diri ini masih berharap ia akan berubah pikiran. Akan tetapi, harapan itu pupus seketika ketika mendengar kejujuran suamiku.

“Apa Mas mencintainya?” tanyaku, membuatnya tidak menjawab sedikit pun. Jangan ditanya bagaimana perasaanku kini.

Sakit ...! Benar-benar sakit, seolah kenyataan ini telah merobek-robek hati ini seperti kepingan kertas sampai hancur tak bersisa. Janji pernikahan yang Mas Ezran ucapkan di depan penghulu dan orang tuaku belasan tahun yang lalu sudah ia ingkari.

“Aku mengerti arti dari diammu, Mas,” ucapku sambil tergesa berbalik dan berjalan cepat keluar dari kediaman Sinta. Kudengar panggilan dari Mas Ezran, tetapi sepertinya dia tak menyusulku atau mungkin, Sinta yang menghentikannya.

Biarlah. Aku tidak peduli lagi dengan mereka. Saat ini yang kubutuhkan hanya ingin menenangkan diri. Lalu, ke mana aku harus pergi. Bila pulang ke rumah pun sepertinya aku belum siap. Hati ini masih bergejolak menahan amarah untuk Mas Ezran.

Salahku, menolak usul Mas Egi, sepupuku untuk meminta Mas Ezran menanda tangani perjanjian pra nikah. Agar suamiku tak pernah berpikir untuk melirik wanita lain, dan parahnya sahabatku sendiri. Namun, tak ada guna untuk menyesali masa lalu. Toh, sekarang sudah terlambat.

Aku berpikir harus ke mana untuk menenangkan diri. Setidaknya diri ini butuh teman bercerita dan meminta saran. Aku teringat kepada Tante Ambar, mungkin dia akan memberikan nasihat agar hati ini tenang.

Ya, setelah meninggalnya Ibu, Tante Ambar memang satu-satunya kakak Ibu yang masih ada dan sehat. Kami memang dekat satu sama lain. Bahkan dengan putra satu-satunya yaitu Mas Egi. Umur kami tak terpaut jauh sehingga masa dulu kami teman bermain.

Kulajukan mobil milikku ke rumah Tante Ambar. Dalam perjalanan, berkali-kali Mas Ezran menghubungiku dan kulihat deretan pesan telah masuk ke ponselku, tetapi tak kuhiraukan dan hanya fokus ke jalanan di hadapanku. Aku menghela napas untuk meredam rasa sakit yang menyesakkan dada setiap mengingat suamiku dan Sinta.

Sepuluh menit kemudian, aku sampai di depan rumah Tante Ambar. Kulihat ia sedang bermain dengan cucunya yang paling kecil.

“Assalamualaikum, Tante,” sapaku dan langsung disambut ramah oleh Tanteku satu ini.

“Tante kangen banget sama kamu, Ras. Gimana kabar kamu dan keluarga? Sehat?” tanya Tante dan langsung dijawab olehku, begitu pun sebaliknya menanyakan keadaan Tanteku dan Mas Egi. Kulirik putra sepupuku itu yang menatap sejak diri ini datang dan langsung memangkunya.

“Wah kamu sudah besar, Fi. Tante sampai pangling lihat kamu. Umurnya udah berapa tahun sih?” tanyaku dan langsung dijawab cadel oleh putra Mas Egi tersebut.

“Empat aun, Mama.” Aku menatap Tante Ambar merasa heran dengan panggilan Fiandra untukku sehingga membuat diri ini terkejut.

“Fiandra memang begitu, Ras. Sepertinya kangen dengan mamanya. Kamu kan tahu, sejak meninggalnya Dini setahun yang lalu dia pasti membutuhkan sosok ibu. Bagaimanapun Tante menjaganya seperti anak sendiri, tapi kan beda. Kasih sayang nenek dan ibu itu tak sama,” ujar Tante Ambar seketika membuatku merasa kasihan kepada Fiandra.

Melihat anak ini, mengingatkanku akan Laras, putriku. Apa jadinya kalau Mas Ezran dan aku berpisah? Itu kemungkinan terburuk yang sudah kupikirkan di sepanjang jalan tadi.

Mana mungkin aku sanggup untuk berbagi Mas Ezran, bahkan suami dengan wanita lain. Namun, apa itu keputusan benar? Aku tidak ingin gegabah mengambil keputusan. Bahkan, di usiaku yang tak muda lagi, diri ini harus memikirkan baik buruknya untuk kami semua. Terutama Laras.

“Fiandra boleh kok manggil Tante Mama. Anggap saja begitu, ya, Sayang,” ujarku mengusap-usap kepala balita di hadapanku. Rasa keibuanku muncul melihat nasib putra Mas Egi yang membuatku sedih. Padahal, masa-masa ini sangat membutuhkan sosok seorang Ibu, tetapi terpaksa harus menjadi seorang piatu.

Fiandra langsung mengangguk dan tersenyum ceria. Seolah mengerti apa yang barusan aku katakan. Anak itu terus saja menempel di pangkuanku, seperti tak ingin jauh.

Tante Ambar mengajakku masuk dan mempersilahkan duduk. Beliau juga menghidangkan minum dan camilan di atas meja ruang tamu ini. Aku masih mengajak Fiandra mengobrol langsung menoleh ketika Tante Ambar bertanya.

“Ras. Sebenarnya dari tadi Tante merasa kamu seperti memiliki beban. Apa ada masalah yang membuatmu banyak pikiran?” tanyanya. Aku tersenyum walau dengan wajah sendu. Tante memang selalu tahu diriku. Ia seolah bisa membaca pikiran hanya dengan melihat raut wajahku saja.

“Ehmm ... Tan. Sebenernya ada sesuatu yang ingin aku ceritakan. Sebenarnya ... aku ... a-ku dan Mas Ezran sedang memiliki masalah.”

“Masalah apa, Ras? Coba ceritakan!” Tante Ambar tersenyum hangat kepadaku sambil menunggu jawaban.

“Sebenarnya, Mas Ezran ... selingkuh,” ungkapku dengan nada lirih. Tante Ambar langsung melotot seolah biji matanya hendak melompat. Mungkin saja ia sangat terkejut dengan yang aku katakan.

“Bagaimana bisa, Ras. Kalian menikah sudah cukup lama. Bagaimana mungkin suamimu malah berkhianat?” tanya Tante Ambar seolah tidak percaya dengan apa yang kuutarakan.

“Awalnya aku juga tidak percaya, Tan. Beberapa orang sering kali menyampaikan gosip suamiku memiliki wanita lain. Tapi, tak hiraukan. Aku percaya Mas Ezran tak mungkin berkhianat. Sampai ... hari ini aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri dan langsung mendengar pengakuannya dan wanita itu,” terangku. Lagi-lagi Tante Ambar terlihat syok.

Katanya tidak menyangka suamiku bisa seperti itu. Yang kami tahu, Mas Ezran tak pernah macam-macam selama pernikahan kami. Pun, rumah tangga kita belasan tahun terlihat harmonis dan tak ada masalah berarti. Makanya, kabar ini seperti sebuah bom yang meledak seketika dan mengejutkan semua orang termasuk aku sendiri.

“Lantas. Setelah mengetahui perselingkuhan suamimu. Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, Ras?” tanya Tante Ambar membuatku seketika kelu. Aku merasa bingung dan bimbang harus memutuskan seperti apa. Lanjut, atau berpisah. Namun, jika memilih perpisahan, apa itu hal terbaik untuk kami semua terutama Laras?





Lebih Baik TanpamuWhere stories live. Discover now