Bab 7

282 11 1
                                    


POV Ezran

“Mas kamu masih ingat Sinta, kan? Dia sahabatku sejak SD. Bahkan, sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Kemarin kami ketemu lagi lho. Dia udah pulang dari luar negeri. Sekarang, temanku itu buka usaha baru di Jakarta. Makin sukses aja dia,” puji Rasti mengenai sahabatnya itu.

Aku teringat dengan seorang wanita cantik dan berpenampilan modis serta bertubuh sintal yang pernah istriku perkenalkan beberapa tahun silam. Katanya, dia sahabat Rasti sejak kecil.

Cukup menarik, dengan keindahan fisiknya dan penampilannya yang modis pasti dapat membuat suaminya bangga serta merasa mendapatkan wanita yang sempurna.

Apalagi, kata Rasti dia pandai sekali berbisnis dan sudah kaya raya dari kecil.

Hampir setiap hari setelah kepulangan Sinta dari luar negeri, Rasti terus saja memuji kelebihan Sinta di depanku. Katanya sahabatnya itu cantik, pintar, piawai berbisnis, punya suami yang bucin yang selalu bersikap romantis  setiap saat. Dan yang paling membuatku sedikit penasaran terhadap sosok Sinta, menurut istriku dia ini pandai mengurus suami dan memanjakannya.

Bagaimana tidak, meski dengan seabrek pekerjaan, wanita itu masih menyempatkan untuk melayani sang suami yang seorang bule. Bahkan, kata Rasti masakannya sangat lezat dan dapat menggoyangkan lidah penikmatnya. Sungguh cerminan istri sempurna di mataku.

Perlahan tapi pasti, ada rasa kagum muncul di sudut hatiku terhadap sahabat istriku itu. Semakin lama semakin berakar kuat dan membuatku seakan diliputi rasa penasaran ingin melihat orangnya secara langsung dan bisa berkenalan.

“Sayang, sekali-kali ajakin Sinta makan di sini aja. Kata kamu kan dia belum tahu rumah kita. Sekalian kamu bisa belajar masak yang lezat dari dia. Biar Mas bisa lebih betah lagi di rumah,” ujarku ketika kami tengah bercengkerama sebelum tidur. Aku dan Rasti memang sering mengobrol sebelum istirahat. Itu salah satu quality time kami berdua karena kesibukanku mengurus beberapa bisnis yang lumayan padat menguras waktuku.

Kuelus rambut hitam legam istriku serta kukecupi puncak kepalanya dengan sayang. Kali ini, Rasti tengah menyandarkan kepalanya di dadaku dengan manja. Aku suka Rasti yang seperti ini, terlihat mesra di depanku saja. Namun, jika sudah keluar kamar ini, Rasti akan menjadi ibu serta istri yang tegas dan bijaksana.

Aku memang menyuruhnya jangan berubah ketika sedang di depanku. Kukatakan diri ini menyukai sifat istriku yang manja, manis serta menggoda. Sejak memilih berpenampilan tertutup, Rasti selalu menjaga sikap jika di luaran. Hanya saat kami berdua lah dia bebas berekspresi selayaknya seorang Rasti dulu yang membuatku tergila-gila.

Istriku itu tahu seleraku selama ini yang suka dengan wanita cantik dan menjaga penampilan. Terbukti, setelah usahaku berkembang pesat, ia rutin untuk merawat diri dan semakin terlihat menawan. Apalagi, wajahnya yang awet muda terlihat seperti masih berusia dua puluh tujuh tahun saja.

Jika dibandingkan dengan Sinta, ia juga tak kalah sempurna. Apalagi, setelah memberikan seorang putri cantik, semakin membuatku semakin mencintainya.

“Mas besok Sinta mau mampir ke rumah kita. Kebetulan kan dia lagi libur dan punya waktu senggang. Suaminya juga mau pergi ke luar negeri dulu. Ada kerjaan katanya di sana. Sinta kan lagi sibuk juga, jadi dia enggak bisa temenin suaminya. Pas kuajak dia berkunjung ke rumah kita. Dia setuju. Aku seneng banget deh. Udah lama banget kita enggak masak bareng. Semenjak sama-sama menikah, kami seperti berjarak. Susah banget kalau mau ketemu,” terang Rasti dengan wajah yang semringah sejak tadi bercerita.

Aku hanya menggeleng geli melihatnya sampai seantusias begitu. Meski di sudut hatiku ada perasaan yang tak biasa menyeruak. Rasa seperti senang dan tak sabar ingin bertemu secara langsung dan menilai seberapa sempurnanya dia.

Benar saja, ketika wanita itu datang, aku sampai tak bisa berkedip saat melihatnya setelah sekian lama. Ternyata, Sinta semakin hari semakin cantik dari terakhir dulu melihatnya.  Aura inner beauty semakin terpancar dari wajahnya yang memesona.

“Suami Rasti, ya. Eh ... Mas Ezran, kan?” tanyanya sambil menyodorkan tangan saat kami tak sengaja bertemu di teras rumah ketika Sinta baru saja datang dan hendak mengetuk pintu rumah. Sedangkan aku, baru saja habis bersepeda mengelilingi kompleks rumahku.

“Eh ... iya. Pasti kamu Sinta, ya? Aku masih ingat wajah kamu. Makin cantik saja dari terakhir kita ketemu dulu,” pujiku tak sadar.

“Ah Mas Ezran bisa aja,” jawabnya dengan pipi yang bersemu merah. Mataku tertegun menyaksikan wajah tersipu malu dari wajah sahabat istriku itu.

Ah, kenapa jantung ini jadi bergetar begini. Ingat! Dia istri orang lain. Lagi pula, istrimu tak kalah menarik darinya.

Aku berkali-kali mengela napas demi menormalkan detak jantungku yang tak berirama setiap mata kami tak sengaja bertaut.

Setelah membuka pintu untuknya dan mengajaknya masuk, terlihat Rasti berlari ke arah kami dan segera menyambut Sinta dengan pelukan hangat.

“Ya ampun, Sin. Aku kangen banget sama kamu. Aku udah enggak sabar pengen ngobrol banyak sama kamu. Udah lama sekali kita enggak pernah jalan bareng lagi. Kamu sih makin sibuk aja sekarang,” ucap Rasti masih merangkul sahabatnya itu.

“Iya, syukur deh hari ini aku free. Tadinya mau kubuat waktu istirahat, tapi karena ajakan kamu jadinya malah main ke sini. Semoga enggak ganggu waktumu bersama keluarga dengan kedatanganku.”

“Ya. Enggaklah, Sin. Kami malah seneng kamu datang. Jangan sungkan, kamu kan keluargaku juga. Iyakan, Mas?” Rasti memandangku dan bertanya meminta dukungan.

“Iya, Sayang. Apa pun yang buatmu senang,” ujarku melengkungkan senyum dan berkata lembut membuat senyum Rasti semakin merekah. Namun, ada yang tak biasa dari raut wajah Sinta. Mukanya yang ceria tiba-tiba saja berubah sendu. Akan tetapi, beberapa detik kemudian kembali seperti semula. Terlihat ceria. Aku menangkap hal yang tak biasa, Mungkinkah dia sedang ada masalah? Atau itu hanya perasaanku saja?

Istriku mengajak Sinta untuk berkenalan dengan putri kami, Laras yang sedang menonton televisi kesukaannya. Selanjutnya, mengajak wanita itu untuk pergi ke dapur katanya minta Sinta untuk mencicipi masakan yang di buat Rasti khusus untuk hari ini. Sedangkan aku, segera ke kamar untuk membersihkan diri yang telah lengket karena keringat selepas berolahraga tadi.

**

Aku keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah rumah kami. Dan menyusul Rasti karena terlupa memberikan sesuatu. Ya, aku lupa memberikan hadiah oleh-oleh dari Kanada tempo hari ketika aku ada perjalanan bisnis ke luar negeri.

“Sayang, Mas mau ngomong bentar deh. Kamu sini dulu, ya,” panggilku ketika sudah hampir mendekati pintu dapur di mana Rasti dan Sinta berada

“Iya, Mas. Ada apa sih? Kok kek penting banget?”

Rasti menghampiri serta berdiri di hadapanku.

“Kamu balik badan,” perintahku membuat alisnya terangkat.

“Apaan sih, Mas? Jangan jail lagi, ya,” ujarnya dengan mata menyipit sehingga membuatku terkekeh geli. Masih teringat beberapa hari yang lalu ketika aku meminta dia menutup mata dengan alasan ingin memberikan kejutan malah kutipu. Aku hanya mengecup pipinya di depan Laras putri kami dan membuat Rasti membelalakkan matanya dan mendelik tajam.

Selama ini Rasti memang tak suka bila menampilkan kemesraan yang berlebihan di depan Laras yang masih remaja. Katanya malu bila seperti itu.

“Ini bukan prank, Sayang. Mas beneran mau ngasih sesuatu buat kamu. Balik badan dulu, ya.”

Rasti menurut dan berbalik badan. Kukalungkan sebuah liontin bermata berlian yang di dalamnya terukir inisialku dan istriku. Sangat indah dan membuatnya semakin cantik. Tak sabar untuk melihat kalung itu melingkar di lehernya yang jenjang tanpa kerudung yang menghalanginya. Namun, ini bukan momen yang tepat, berhubung ada Sinta di sini.

“Masya Allah, Mas. Makasih banyak. Kalungnya indah banget,” pekik Rasti dengan bahagia membuat hatiku membuncah.

“Ya ampun, Ras. Kalian sweet banget. Bikin aku ngiri dan kepengen punya suami kek Mas Ezran aja,” ucap Sinta tiba-tiba datang menghampiri kami berdua. Mendengar perkataan Sinta mengapa membuatku gelisah dan salah tingkah?

Apa dia serius dengan perkataannya?

Lebih Baik TanpamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang