²/⁴ wind direction

145 21 2
                                    

Winna Elicia, baru saja pulang dari kerjanya. Di hari yang hampir menjelang pagi dia baru pulang setelah lelah bekerja seharian.

Winna membuka pintu rumahnya dengan perlahan. Apa yang diharapkan? Sambutan amarah dari sang ayah yang sama seperti dulu? Atau lirikan tajam dari sang ibu yang selalu membuatnya kesal. Hal-hal yang Winna benci dulu serasa tidak langsung ingin kembali dia rasakan.

Tak mau terlalu larut dalam kesedihannya, Winna masuk semakin dalam. Berjalan di lorong yang merupakan ruang keluarga, bukan ketakutan ketika merasakan kesendirian ini. Justru dia merasa sangat kesepian dan juga kesedihan.

Matanya tertuju di pintu kamar milik salah satu adiknya. Yang tempatnya berada di samping ruang tamu dan berada di posisi paling ujung.

Arsa

Tulisan yang ada di bagian pintu itu. Winna menarik nafasnya untuk mengisi paru-parunya yang tiba-tiba kehilangan oksigen, menghembuskannya secara perlahan untuk mengurai air mata. Dia membuka pintu itu.

Si pemilik kamar sudah terlelap dengan memeluk guling yang di lapiri baju ibunya. Winna mendongakkan kepalanya untuk menghalau air matanya. Buru-buru dia menutup pintu itu karena tak dapat menahan air mata uang hendak keluar.

Langkahnya membawa ke kamar selanjutnya. Kamar yang tepat di belakang ruang tamu dan pintunya tentu saja menghadap langsung ke ruang keluarga.

Aska

Winna membuka pintu itu secara perlahan. Matanya menangkap seorang yang tengah terlelap diatas kursi. Pemuda itu tidur tepat didepan komputernya yang masih menyala.

Winna berjalan masuk ke dalam, menarik selimut dari ranjang pemuda itu lalu menutupi sang adik. Dia tahun anak ini berambisi sekali untuk menjadi dokter. Matanya juga dengan jelas melihat apa yang sedang adiknya baca sebelum terlelap.
Winna mengusap perlahan rambut adiknya lalu berjalan keluar lagi. Dalam hati dia berdoa agar anak itu tak marah ketika bangun esok pagi.

Berjalan ke kamar selanjutnya. Beban Winna serasa bertambah berpuluh-puluh kali lipat. Penyesalan, kesedihan, kehilangan, kerinduan menyatu menajadi satu.

Arva

Winna membuka pintu itu secara perlahan lagi-lagi. Pemandangan yang dia lihat sama seperti kamar baru saja dia datangi. Si pemilik tengah duduk di meja belajarnya dengan komputer yang menyala terang.

Winna melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Dia menyelimuti tubuh itu lalu berdiri di samping pemuda itu, melihat komputer yang menyala.

Pemuda itu masih sama, dia lebih suka menghabiskan hari-harinya dengan menggambar. Hobi yang kini menghasilkan uang juga.

Winna keluar kamar itu sambil mengusap lelehan air mata yang menggantung di sudut matanya.

Atan

Winna membuka pintu kamar itu dengan perlahan sana seperti sebelum-sebelumnya. Dia tak menemukan seorang pun didalamnya.

Hati kecilnya berbisik untum melangkah ke arah kamar ibu dan ayahnya. Dia melakukan hal itu dan dia baru menemukan apa yang dia cari.

Pemuda bernama Atan itu tengah tertidur diatas ranjang orangtuanya, memakai baju sang ayah dan menyelimuti gulingnya dengan baju sang ibu.

Winna buru-buru menutup pintu kamar itu lalu masuk ke dalam kamarnya sendiri. Air matanya tak dapat dibendung lagi. Menangis sendirian di belakang pintu sambil memegang dadanya yang berdenyut nyeri.

°°°

Pagi-pagi sekali Winna sudah terbangun, padahal dia baru tertidur beberapa jam yang lalu. Dia sudah memasak menu makanan yang sekiranya bisa membuat adik-adiknya memakan makanan itu.

Seulhun universeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang