⅔ wind direction

64 20 5
                                    

Winna berdiri di lorong panjang yang banyak orang sekali lagi. Tapi kali ini berbeda sekali suasananya. Diujung lorong ada sebuah ruangan dimana lagi-lagi orang tersayangnya ada di dalam sana.

Langkah kakinya memberat, air matanya turun. Tubuhnya sudah sangat lelah dan hatinya sudah porak poranda.

Sampai di tiga pemuda yang tengah menunggu kabar dari dalam, Winna terjatuh di tempatnya. "Apa yang terjadi?" Suara parau nya membuat ketiganya masih tak luluh juga.

"Atan maksa ikut tawuran"

Winna seketika menolehkan kepalanya kearah ketika pemuda itu. Dia melihat dengan jelas bagaimana bentuk ketiganya, wajahnya hampir sepenuhnya babak belur, bajunya sedikit terkena noda darah, dan baju itu lusuh tak karuan.

"Kenapa ikut tawuran?" Masih mencoba untuk tetap tegar ditengah air mata yang terus berderai.

"Mau nyusul ayah sama ibu, kenapa? Lo gak suka?" Arva menjawab dengan tenang walaupun hatinya tengah tak karuan.

"Atan bagaimana?" Ketiganya kompak menggelengkan kepalanya.

Pintu itu dibuka setelah beberapa menit menangani pasien didalamnya. "Keluarga pasien" panggil sang dokter yang keluar lebih dahulu.

Winna berdiri dengan tenaganya yang tinggal sedikit. "Sa-saya kakaknya"

"Kondisi pasien sangatlah mengkhawatirkan untuk saat ini. Tangan kanan pasien harus segera di operasi. Karena kemungkinan tangan pasien ditarik ke belakang dalam kurun waktu yang sangat lama, itu memaksa tulangnya hingga membuatnya sedikit tergeser. Kami harap keluarga segera melunasi biaya operasinya, karena pasien harus segera di operasi. Paling lambat lusa. Saya permisi"

Perkataan dokter tadi membuat tubuh Winna seketika ambruk sekali lagi. Dia menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Air matanya jatuh tak karuan, ingin meraung dengan keras tapi apalah daya. Energinya sudah benar-benar habis.

Dia berdiri dengan susah payah. Berjalan seperti orang yang sudah tak memiliki nyawa. "Jaga adik kalian sebentar ya, kakak mohon"

Suara seseorang yang berlari cukup keras terdengar. Tubuh Winna seketika dipeluk erat oleh sosok tinggi yang baru saja datang.

Kara Mahadri

Sosok yang saat ini memeluk tubuh tak bertenaga Winna. Dia adalah sepupu Winna dan keempat adiknya, anak dari adik ibunya.

"Gue urus administrasi dulu ya bang" Winna mengurai pelukannya. Dia tersenyum hambar kearah beberapa orang lain yang ternyata ikut datang.

Setelah ke bagian administrasi, menanyai biaya operasi. Tubuh Winna balik dengan keadaan jauh lebih lesu.

°°°
Kara membawa ketiga adik Winna ke taman rumah sakit, tiga pemuda yang masih menggunakan seragam sekolah itu berdiri menunduk takut.

"Udah jagoan kan sekarang, kalau gitu hajar abang" titahnya dengan wajah tak bisa diartikan. "Maju!!"

Tak ada yang maju untuk beberapa menit, hingga Kara yang maju semakin dekat kerah ketiganya.

Plak

Plak

Plak

Tamparan keras mendarat ke pipi tiga-tiganya. Ketiganya masih tak menyahut ataupun mendongakkan kepalanya.

"Merasa tersakiti, merasa kehilangan, dan merasa paling benar. Kalian bertingkah seperti tak melihat bagaimana kakak kalian berusaha menghidupi kalian sampai saat ini" tak ada sahutan

Plak

Plak

Plak

Kara menampar sekali lagi ketiga-tiganya, ringisan terdengar begitu lirih.
"Kakak kalian keluar rumah dari pagi hingga menjelang pagi lagi, buat apa? Buat kalian!!"

Seulhun universeWhere stories live. Discover now