²/² wind direction

93 20 0
                                    

Winna terbangun dengan aroma obat-obatan yang sangat menyengat. Ketika dia membuka mata sepenuhnya, dia tertidur di branka rumah sakit dengan selang infus yang menancap di tangannya.

Dia menengok kanan dan kiri, di sisi kanannya ada seorang pria yang sudah lama sekali tak bertegur sama dengannya tapi bau parfumnya masih begitu dikenali.

Tangan Winna mengusap pucuk kepala itu dengan sayang. Andai semuanya tak terjadi seperti ini, sudah pastilah mereka akan hidup bahagia. Apalah daya, semua hal ini harus terjadi dan membuatnya harus rela berkorban untuk menebus semuanya.

Tidak ada seorang pun selain dia dan pemuda ini. Kemana yang lain pikirnya. Jika diingat-ingat lagi, dia baru sadar jika Atan masih di UGD menunggu untuk dioperasi.

Tubuhnya kembali bergetar, dia menangis lagi walaupun nyatanya hampir tak ada air mata di mata sipitnya.

Tangisan Winna membuat pemuda yang sejak tadi tertidur berbantalan lengan bangun dan melihatnya. "Kenapa?"

Tak ada jawaban, Winna terus terisak. Pemuda itu melakukan sebuah inisiatif membawanya untuk duduk lalu memeluk tubuh lemah Winna. "Menangislah sampai kamu puas, setelahnya kita bisa membicarakan banyak hal" pemuda itu memberikan sebuah kecupan di kepala Winna.

Bermenit-menit berlalu, ketika Winna sudah jauh lebih baik. Pemuda itu melepaskan pelukannya dan menangkup wajah cantik itu.

"Mulai sekarang ada aku yang akan selalu berdiri didepan dan di samping mu. Jangan pernah memikirkan apapun lagi selain kebahagiaan mu sendiri" Winna menahan air matanya. "Tentang Atan, dia baru selesai operasi."

"U-uang dari mana?"

"Tabungan Arsa, uang hasil kerja Arva, dan hadiah lomba Aska. Ada sedikit uang dari mama dan papa, uang dari keluarga Kara. Semuanya sudah cukup untuk rawat inap Atan dan juga uang operasinya. Tak perlu khawatir apapun lagi mulai sekarang dan jangan memaksakan diri lagi setelah ini"

"Ibu sama ayah pasti kecewa sekali dengan ku" lirih Winna dengan kepala menunduk.

"Mereka bangga dengan mu, tapi kemungkinan mereka juga kecewa dengan keputusan yang akan kamu ambil kemarin"

°°°

Winna jauh lebih memilih untuk tidak dirawat. Dia ikut duduk di tengah-tengah antara ketiga adiknya.

Winna masih tak mau berbicara banyak, dia jauh lebih memilih menjadi patung walaupun orang disekitarnya cukuplah ramai. Arsa dan Aska duduk di kanan kiri Winna sambil memeluk tubuh kakaknya, sedangkan Arva memilih duduk di bawah bersandar di kaki kakaknya.

Atan sudah dipindahkan di ruang rawat. Beberapa tetangga dan kerabat jauh sedang menengok kondisi pemuda itu dengan dampingan orangtua Kara.

"Winn?" Winna mendongakkan kepalanya melihat siapa yang menyapanya. "Menurut nenek lebih baik Atan ikut nenek aja. Dia sering main ke rumah nenek. Karena di sana jauh lebih diurus daripada waktu ikut kamu. Kejadian ini juga gak jauh-jauh dari kamu yang selama ini gak bisa menjaga keempatnya"

"Winna tak bisa mengelak apapun jika nenek ngomong nya kayak gitu, memang kenyataannya Winna tak bisa menjaga mereka. Winna minta maaf, tidak bisa jadi seperti yang diharapkan. Semua keputusan ada ditangan mereka, mulai sekarang. Mereka pergi ataupun memilih menetap itu keputusan mereka" Winna tersenyum melihat ketiga adiknya yang masih saja diam.

"Kalau gitu pulanglah, biarkan nenek yang menjaga Atan. Mulai sekarang jangan pernah usik Atan."

"Biarkan Winna menunggunya hingga Atan benar-benar pulih, Winna tak akan mendekat jika memang nenek tak memperbolehkan. Winna akan menunggunya disini" ucapan permintaan yang tulus itu membuat siapapun merasakan iba.

Seulhun universeWhere stories live. Discover now