Bab 4

36 10 6
                                    

Selamat malam.
Selamat membaca🤗



"Heh, Raf! Sebenarnya mama kenapa? Kok bisa sampai begini?" Rifda, si sulung bertanya sambil berkacak pinggang di depan adik bungsunya.

"Ya mana aku tahu, Mbak." Ayah dari Nasya belum berani berterus terang.

"La terus, kok bisa darah tingginya kambuh, sampai pingsan juga?" Rifda jelas tidak percaya. Pasalnya pagi hari sebelum dia mendapat kabar mamanya masuk rumah sakit mereka masih melakukan video call dan beliau sehat-sehat saja.

"Mungkin mama kecapean terus kurang istirahat jadi darahnya naik." Bungsu dari tiga bersaudara itu mencoba beralasan.

"Aku gak yakin, pasti kamu nyembunyiin sesuatu!" kata Rifda sambil memicingkan mata ke arah adiknya.

Aditya Darmawan yang mendengar perdebatan kedua anaknya merasa sedikit jengkel. Bukannya berdoa supaya ibu mereka baik-baik saja malah berdebat.

"Rifda, Rafqi, sudah! Masalah itu bisa di bahas nanti, 'kan?"

Kakak beradik itu langsung menoleh ke sumber suara dan terdiam.Mereka tentu saja takut jika sampai orang yang paling dihormati di keluarga ini sampai marah.

"Yang penting sekarang kalian berdoa semoga Mama kalian baik-baik saja!" Lanjut lelaki itu.

Tidak lama kemudian seorang dokter keluar dari ruang periksa. Dengan segera mereka mendekat untuk bertanya tentang keadaan Halimah.

"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Aditya langsung.

"Tekanan darah cukup tinggi dan adanya penyumbatan pembuluh darah di kepala membuat Ibu terkena stroke ringan," jawab dokter yang memeriksa.

"Jadi apa tindakan selanjutnya, Dok? Apakah perlu operasi?" Kembali Aditya yang bertanya. Rifda dan Rafqi ikut menyimak, tetapi mereka memilih diam.

"Sepertinya tidak perlu operasi karena penyumbatannya terbilang kecil dan berbentuk seperti serabut. Ibu hanya perlu dirawat beberapa hari untuk menstabilkan tekanan darahnya." Dokter ber'nametag' Heru itu menjelaskan.

Bapak tiga orang anak itu hanya mengangguk tanda mengerti, begitu juga Rafqi dan Rifda.

"Maaf, Dok, stroke ringan yang di alami Mama saya itu maksudnya gimana, ya?" Kali ini Rafqi memberanikan diri bertanya.

Dokter Heru tersenyum sebelum menjawab, "Ibu Halimah akan mengalami kesulitan menggerakkan tubuh di bagian kiri."

"Hah! Apa tidak bisa di obati, Dok? Berapapun akan kami bayar!" Kaget Rafqi.

Kembali Dokter Spesialis Saraf itu tersenyum, kemudian menggeleng, "Nanti setelah tekanan darahnya normal, Ibu bisa menjalani fisio terapi agar bisa kembali bergerak normal. Namun tentu saja tidak sekaligus, bertahap."

Rafqi hendak berkata lagi, tetapi dengan cepat Aditya mendahului, "Terima kasih, Dok. Kami boleh masuk ke dalam?" Lelaki itu hafal bagaimana sifat anak lelakinya. Kadang Rafqi emosinya sulit dikontrol.

"Boleh, Pak, tetapi pasien akan dipindahkan ke ruang rawat inap." Dokter Heru memberi penjelasan.

"Oh, baiklah, kami tunggu saja kalau begitu," jawab Aditya.

"Kalau begitu, saya permisi. Mari Pak, Bu," pamit Dokter Heru dan diangguki oleh ketiga oang yang ada di sana.

*****

Nazia duduk sambil membaca lagi bekas-berkas yang diberikan oleh Manajer HRD tempat almarhum suaminya berkerja. Kembali satu kenyataan pahit dia ketahui. Bolehkah kalau dia merasa menjadi istri yang paling bodoh sedunia sampai hal seperti ini saja dia tidak tahu? Wanita itu kembali memutar otaknya, mencoba mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu. Rasanya tidak ada yang aneh dari perilaku sang suami. Sikap Danu biasa saja, lembut, hangat dan perhatian. Tidak ada yang aneh menurutnya, atau dia yang tidak peka? Begitu pintar lelaki yang selama hampir lima tahun ini menemaninya itu menyimpan rahasia  sampai dia tidak tahu bahkan curiga sedikit pun.

Ketika Cinta Telah MemilihWhere stories live. Discover now