Bab. 5

40 10 5
                                    

Selamat pagi.
Ada yang nungguin Mba Zia dan Mas Rafqi?

Selamat membaca dan maaf untuk tipo yang masih meresahkan.

Sekitar  pukul lima sore, Rafqi sampai di kediamannya. Sebenarnya  Aditya sudah memintanya pulang sejak siang tadi, tetapi tentu saja dia tidak mau. Bagaimana mungkin dia sebagai anak membiarkan ayahnya seorang diri menjaga ibunya di rumah sakit sedangkan dia enak-enakan di rumah. Kakak sulungnya, Rifda sudah pulang terlebih dahulu karena ada urusan pekerjaaan yang tidak bisa ditunda. Sedangkan kakak perempuannya yang nomor dua, Risma, sedang ada di luar negeri menemani suaminya yang sedang ada urusan bisnis jadi belum bisa pulang untuk menemani mamanya.

Setelah selesai membersihkan diri, Rafqi keluar kamar untuk mencari putri semata wayangnya.

"Wati!" panggil Rafqi.

Seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang sedang menggendong seorang balita berjalan tergopoh ke arah Rafqi.

"Ya, Pak," jawab wanita bernama Wati itu.

"Nasya rewel, nggak?" tanya Rafqi sambil meminta putri kecilnya dari gendongan sang pengasuh.

"Tidak, Pak. Seperti biasa saja," jawab Wati.

Rafqi hanya mengangguk, kini Nasya sudah ada dalam gendongannya dan lelaki itu bermaksud beranjak dari sana tetapi  urung saat mendengar suara Wati

"Pak, bolehkah meminta waktunya sebentar, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan?" pinta pengasuh Nasya iyu.

Rafqi menoleh sekilas kemudian mengangguk. Dia mengurungkan niatnya untuk bermain dengan Nasya di gazebo dekat kolam renang karena Wati terlihat ingin menyampaikan hal yang penting. Kemudian dia melangkah ke ruang keluarga yang terletak tidak jauh dari sana dan diikuti oleh wanita tersebut.

"Ada apa, Wati?" tanya Rafqi setelah duduk di sofa ruang keluarga. Di sebarangnya Wati duduk dengan gestur takut dan tidak nyaman.

Pengasuh Nasya itu menunduk sambil meremas tangannya karena gugup. Dia sebenarnya ragu untuk mengutarakan niatnya, tetapi ini adalah hal yang sangat penting baginya.

"Be-begini, Pak, saya mau izin berhenti kerja." Walau takut, akhirnya Wati menyampaikan maksudnya. Setelah menyelesaikan kalimatnya tadi, wanita itu buru-buru menunduk lagu. Rafqi jarang bahkan tidak pernah marah, tetapi permintaannya saat ini pasti mengejutkan lelaki itu dan mungkin akan membuat bosnya marah.

"Apa?" tanya Rafqi dengan nada sedikit membentak karena terkejut.

"Sa-saya mau izin berhenti bekerja, Pak," ulang wanita itu masih dengan nada yang gugup dan sedikit tergagap. Dia pun masih menunduk, takut menatap wajah ayah Nasya.

"Alasannya?" tanya Rafqi dengan suara lebih pelan, dia menyadari kalau pengasuh Nasya katakutan mendengar suaranya tadi.

Mendengar suara bosnya tidak lagi bernada marah, Wati memberanikan diri menatap Rafqi untuk menyampaikan alasannya. "Emak saya di kampung sakit, Pak. Tidak ada yang mengurus karena saya anak tunggal dan bapak saya sudah lama meninggal." Setelah selesai berkata Wati kembali menunduk.

Rafqi menghembuskan nafasnya dengan kasar. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing, tetapi sebagai seorang anak dia juga mengerti dengan alasan yang diberikan Wati.

"Istri saya baru saja meninggal sementara Mama sekarang sedang sakit. Kalau kamu keluar siapa yang mau jagain Nasya?" keluh Rafqi.

Wati menunduk semakin dalam, dia pun sebenarnya tahu bagaimana keadaan keluarga ini sekarang. Namun kesehatan ibunya di kampung tentu saja lebih penting.

"Iya, Pak, tapi ...." Wati bingung harus menjawab bagaimana lagi. Dia  sebenarnya tidak tega meninggalkan Nasya karena memang sejak lahir dia yang mengasuh anak itu. Namun emaknya yang sudah tua dan sakit-sakitan tidak mungkin dia abaikan.

Ketika Cinta Telah Memilihजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें