Pertemuan dengan Rafa berakhir cukup bagus. Itu kalau kecemburuan Dimitri tidak masuk hitungan. Dia datang tanpa pemberitahuan dan untung tidak menghajar Rafa.
Ah lupakan mengenai Dimitri. Aku tidak lebih cemas dengan permintaan Diana yang mendadak ingin jumpa. Dia menawarkan bertemu di rumah baruku. Tentu saja aku menolak. Ya siapa tahu andai dia bersama Rafael, seperti cerita asli, dan Bloom bangkrut maka seperti mengulang lagu lama; jatuh miskin, cari kerja, budak korporat (again), dan sekarat. Dih nggak usah, ya. Aku sudah cukup lelah dengan semua hal terkait Bloom dan Verday. Biarkan aku hidup damai bersama keluargaku!
Mau tidak mau, aku pun meminta Diana agar bertemu di tempat lain saja.
Diana mengajak bertemu di kafe. Dia, seperti biasa, selalu menjadi pusat perhatian semua orang. Padahal dia hanya duduk saja, tetapi semua orang matanya jelalatan sibuk menggerayangi tubuh Diana melalui pandangan. Seolah itu, dengan menonton, bisa ikut merasakan seperti apa tekstur tubuh Diana.
“Halo, Re.”
Aku langsung duduk. Tidak membalas.
“Pasti sulit, ya. Pindah,” katanya dengan nada mendayu.
Seorang pelayan tiba dan menanyakan pesananku. Aku memesan jus melon dan tidak lama kemudian minumanku datang.
“Diana, apa maumu?”
“Kenapa kamu keras begitu, Re? Sungguh aku berusaha membujuk Kakek agar tidak melemparmu keluar dari Bloom.”
Omong kosong.
Dulu Diana pun diam saja ketika keluargaku terkena imbas balas dendam Rafael. Kami harus beradaptasi tinggal di rumah susun. Bukan rumah susun elite, melainkan jenis rumah susun bagi kalangan bawah. Di sana aku selalu merasa terancam karena takut ada tetangga yang tidak menyukai kehadiranku. Manusia bisa berbuat nekat ketika emosi mengambil alih. Hanya butuh sedikit pemicu, maka BOOM. Ledakan besar pun terjadi.
... dan bom waktu berbahaya ada di hadapanku!
“Kamu nggak perlu merasa bersalah,” kataku, tenang. “Anggap saja memang lebih baik Papa dan aku lepas dari Bloom. Oh ya, sekarang aku bukan Renata Bloom. Namaku Renata Gray. Kamu dan aku mungkin memiliki ikatan darah, tetapi bukan berarti wajib merasa bertanggung jawab.”
“Re, aku nggak tega.”
NGGAK TEGA KEPALAMU!
Andai saja waktu itu Diana bersedia membujuk Rafael, maka aku tidak perlu menjalani masa-masa menyedihkan dan mati di tangan copet. Bisa saja dia merayu Rafael di antara kegiatan beradu pinggul dan mulut! Namun, dia tidak melakukannya dan justru asyik menikmati servis dari Rafael maupun Dimitri! Bagian mananya yang peduli? Memberiku sejumlah uang yang bahkan tidak bisa membantuku menutup utang beras?
Sekarang aku merasa menjambret Dimitri dari tangan Diana bukanlah keputusan buruk!
“Kamu tidak bersalah,” ujarku dengan perasaan campur aduk. Antara ingin memaki dulu atau menyoraki Diana agar lekas menyeret Rafael ke ranjang dan menuntaskan segala permasalahan. “Aku senang. Bagian mananya yang terlihat menyedihkan?”
“Begitukah? Kamu bisa hidup tenang di rumah semungil itu? Tanpa pelayan?”
Andai dulu aku lahir sebagai orang kaya yang belum pernah mengenal kehidupan orang kelas bawah, mungkin akan kesulitan beradaptasi. Namun, sejatinya aku hanyalah budak kapitalis yang mati-matian mengais nafkah demi memperpanjang sejumlah beban hidup. Tahu, ‘kan? Listrik, masa aktif kartu telepon, pajak tanah, pajak kendaraan. Hahahaha apa itu bertahan hidup? Kami, rakyat jelata, terpaksa menjalani setiap hari dengan pikiran dan perasaan tidak menentu.
KAMU SEDANG MEMBACA
VILLAIN'S LOVER (SELESAI)
FantasyPada kehidupan kedua diriku terlahir sebagai seorang wanita bernama Renata Bloom. Awalnya aku sama sekali tidak menyadari telah masuk ke dalam salah satu novel dewasa dengan banyak bumbu tragedi dan sensualitas. Hei, apa salahnya membaca roman dewas...