31. Pengerusakan La Beauty

11.5K 1.4K 41
                                    

Aku suka ketika Dimitri menemaniku di La Beauty. Yah ... mungkin hanya aku seorang yang merasa bahagia sebab sedari tadi Fernando Mahin mirip banteng yang ingin menyeruduk Dimitri. Mooooooo.

“Re, apa yang kamu suka dari Dimitri?”

Kami sedang memilah buku yang akan dimasukkan ke dalam rak di bagian ruangan baca—sebuah ruangan khusus di La Beauty bagi para pecinta buku. Aku dan Dimitri sedang duduk di lantai berselimut karpet sementara Fernando berdiri di dekat rak buku sembari memelototi Dimitri—tidak senang.

Padahal orang waras pun takkan berani mengajukan pertanyaan semacam itu di hadapan yang bersangkutan. Namun, Fernando Mahin memang beda.

“Om, malu ah ngerayu tunangan di depan umum,” ujarku pura-pura tahu diri. Padahal sedari tadi dorongan mempromosikan Dimitri amat kuat hingga rasanya aku sampai kewalahan dan pusing karena tertekan. “Bisa jadi novel berjilid-jilid, Om.”

Dimitri, yang ada di dekatku, pun sampai tersipu. Jarang-jarang aku bisa melihatnya membuat ekspresi semacam itu. Tahu begini setiap hari aku rayu dia saja. Eh, memang setiap hari aku merayu Dimitri sih. Hanya saja kadang rayuanku terhalang situasi dan kondisi yang tidak menjamin suasana romantis.

“Kenapa kamu nggak nulis rayuanmu ke dalam buku?” Dimitri menyarankan. “Aku bisa melego penerbit mana pun yang kamu mau.”

‘Orang kaya kalau bucin memang mengerikan.’

Menerbitkan buku berisi rayuan untuk Dimitri? Siapa yang ingin membeli buku semacam itu? Kecuali aku seorang Pablo Neruda! Aku sadar diri perihal kemampuanku dalam berliterasi. Sangat sedikit kosakata, kemampuan merangkai frasa menjadi kalimat, dan jangan lupakan membuat segalanya sangat mengundang indra pengelihatan dan perasa! Pekerjaan berat! Lebih mudah merancang kue daripada memikirkan sebuah buku berisi balada cinta sepanjang zaman teruntuk Dimitri.

Oh tidak. Cukup membaca saja, menulis adalah pekerjaan berat dan menguras emosi. Bisa-bisa aku menghancurkan ekspektasi seseorang. Tidak, terima kasih.

“Nggak perlu, Dimitri,” aku menolak. “Lebih baik aku membuat cake aneka rasa. Apa kamu nggak berminat menjadi pencicip?”

“Hei, kalian nggak perlu pamer kemesraan,” Fernando menyela.

Aku hanya bisa tertawa menyaksikan Fernando makin mirip banteng saja. Berani taruhan, dia masih berharap aku mempertimbangkan Rafael sebagai kandidat suami masa depan. Tawaran itu tidak berlaku. Sebagai orang yang sudah membaca perjalanan cinta Rafael dan Diana, terbukti bahasa cinta mereka adalah sentuhan fisik. Bisa sakit pinggangku melayani Rafael setiap saat! Nay, pinggangku perlu diselamatkan dan dilindungi dari percobaan pembunuhan.

“Om, bisa saja—”

Ucapanku terputus ketika terdengar suara motor bersahutan. Bukan hanya bising, melainkan diiringi dengan teriakan dan suara kaca pecah karena terkena lemparan benda keras. Dimitri langsung meraihku dan membantuku menutup kedua telinga. Dia tahu bahwa aku sangat sensitif terhadap suara bising.

Butuh beberapa menit hingga kebisingan mereda.

“Re, semua sudah selesai.”

Perlahan aku memberanikan diri membuka mata. Ternyata sedari tadi aku meringkuk di pelukan Dimitri. Bahkan tubuhku gemetar hebat. “Maaf.”

“Kamu nggak perlu minta maaf ke tunangan sendiri,” Dimitri membantah.

Mulai kuedarkan pandang, menyisir sekitar. Tidak ada barang yang hancur. Fernando sudah pergi. Barangkali dia langsung turun ke lantai dasar—mengecek keadaan.

“Ada apa?”

“Perusuh,” jawab Dimitri. “Kamu enggak perlu memikirkan apa pun. Sekarang kita pulang saja. Wajahmu pucat sekali, Re.”

VILLAIN'S LOVER (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang