Kevin mengetuk pintu di depannya beberapa kali sebelum sesaat kemudian seseorang membukakannya dari dalam; Arthur tersenyum cerah ke arahnya.
"Kau datang," katanya membukakan pintu lebih lebar, memberi akses masuk untuk Kevin.
"Aku harus memastikan kau baik-baik saja. Kakimu sudah sembuh? Bagaimana dengan lukamu?" tanya Kevin.
"Aku baik. Cidera dan lukaku sembuh lebih cepat dari yang kukira berkat salep yang kau berikan," jawab Arthur duduk di sebelah Kevin." Meski berjalan masih sedikit sulit untukku," imbuhnya.
Kevin hanya tersenyum mendengar penuturan Arthur. Salep yang dia maksud sebenarnya hanya ekstrak daun dan bunga liar yang dipetiknya asal yang tidak mempunyai efek apapun. Kevin melakukan itu karena ingin menyembunyikan fakta tentang kemampuan tubuh Arthur untuk meyembuhkan luka-lukanya sendiri lebih cepat dari salep biasa: keuntungan yang kau dapat ketika dapat mengontrol air sebagai sumber kehidupan.
"Kenapa kau tidak memakai tongkat?" tanya Kevin. Dia sebenarnya memperhatikan cara berjalan Arthur yang memang sedikit tertatih.
"Aku hanya terkilir bukannya lumpuh. Kau mau minum sesuatu?"
"Aku akan mengambilnya sendiri nanti. Aku tidak ingin menyusahkanmu jadi kau duduk saja disini menemaniku."
Arthur akhirnya menuruti permintaan Kevin untuk menemaninya duduk. Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Sekarang apa?" tanya Arthur kemudian.
Kevin tertawa kecil. "Apa yang biasanya kau lakukan jika sendirian di rumah?"
"Aku tidak pernah di rumah sendiri. Mama selalu membawaku bekerja sejak pertama kali aku datang. Ketika mama melarangku untuk pergi kemanapun aku langsung bertemu denganmu di hutan."
Kevin mengangguk singkat. "Bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat? Apakah ada tempat yang ingin kau kunjungi?"
"Aku ingin ke hutan," jawab Arthur cepat. "Tapi mama melarangku ke sana sampai aku bisa berjalan kembali."
"Ada aku," kata Kevin." Aku bisa melindungimu."
"Kata orang yang membuatku cidera begini," cibir Arthur.
"Karena kau lari," kilah Kevin.
"Karena kau mengejarku," timpal Arthur.
"Tidak ada yang menyuruhmu lari dariku," sanggah Kevin.
"Siapa yang tidak lari dari orang yang mengendap-endap mendekatimu, yang menutupi keseluruhan wajahnya, lalu tiba-tiba berteriak memanggilmu dengan nama orang lain?"
Kevin terdiam sejenak. "Baiklah, maafkan aku," katanya sambil mengusap kepala Arthur lembut. "Apakah kau masih ingin ke hutan?"
.
"Kau yakin tidak ingin kugendong?" tanya Kevin untuk ke sekian kalinya. Dia mengernyit dibalik topeng dan tudungnya.
"Kau lihat sendiri aku bisa jalan," tolak Arthur, melirik Kevin dari bawah tudung jubahnya sendiri. Keduanya kini berjalan menyusuri hutan menuju pohon ek tempat pertemuan pertama mereka kemarin.
"Setidaknya biarkan aku membantumu. Aku mempunyai harga diri sebagai seorang alpha yang harus kujaga," kata Kevin.
"Tidak ada orang lain disini yang harus kau buat terkesan," kata Arthur, "lagipula kita sudah sampai," dia menambahkan. Arthur dan Kevin lalu duduk saling membelakangi dengan punggung bersandar pada satu yang lain. Keduanya kembali larut dalam diam.
"Pemuda yang bernama Asahi itu," Arthur memulai, "kau mengira aku adalah dirinya. Apakah kau mencarinya?"
"Ya," jawab Kevin singkat dalam bisikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternity: You and Me (Jaesahi)
Fiksi PenggemarJika memang ditakdirkan bersama, maka tidak akan ada yang dapat memisahkan kita.