Chapter 05

397 90 22
                                    

Dalam tidurnya, Lan Wangji bisa merasakan pemuda itu pergi. Dia terbangun dan mendengar bisikan angin. Saat itu menjelang fajar. Cahaya terlihat begitu samar, hawa terasa dingin menyejukkan, nyaris membekukan. Ujung-ujung sinar matahari mulai menyebar, kilau merah keemasan memantul di butiran embun yang memberati pucuk-pucuk rerumputan.

Lan Wangji bangkit berdiri dan memutar pandang. Tiada siapa pun di sekitarnya. Suara kicau burung melayang samar terbawa angin dari balik rimbunan pepohonan.

Dia menggigil sejenak sebelum mulai berjalan lambat-lambat meninggalkan tempat itu.

Apa yang kulakukan di sini?

Dia menghela nafas panjang, memenuhi paru-parunya dengan udara pagi yang segar. Pucuk-pucuk dedaunan masih basah oleh sisa hujan semalam, dan rerumputan terasa dingin di kakinya.

Bukannya menemani Lan Yuan dan Jingyi serta melindungi pusaka itu, aku malah terdampar di antah berantah menemani seorang pemuda cantik misterius yang kini hilang entah kemana. Astaga ...

Langkahnya terasa sangat ringan, dan lebih cepat dari biasanya. Seolah angin membawanya terbang. Lan Wangji tiba di tepi hutan dan langsung melihat pondok kayu Wen Ning di kejauhan. Dilihatnya pria itu menepuk-nepuk sisi badan kuda hitam miliknya yang dinaiki oleh dua pemuda berjubah putih.

Mereka juniornya, dan sepertinya bersiap untuk pergi di pagi buta. Lan Wangji terkesiap. Apakah mereka akan melanjutkan perjalanan ke ibukota tanpa dirinya?

*****

Lan Yuan mengikat kuat tas kain berisi pusaka di pinggangnya. Cukup kuat untuk tidak terjatuh kala diguncang sepanjang perjalanan berkuda. Wajahnya sedikit pucat di pagi yang dingin ini, demikian pula Jingyi. Mereka melewati malam yang gelisah di lembah bukit hitam, di pondok orang asing baik hati, dengan cuaca buruk sepanjang malam serta benak yang dipenuhi oleh penggalan-penggalan cerita dari masa lalu. Kisah kelompok bandit pimpinan Wei Wuxian yang tercerai berai. Tidak aneh jika mereka tidak bisa tidur dengan benar. Lebih buruk lagi, senior mereka tidak juga menunjukkan diri.

"Kau yakin harus sepagi ini?" tanya Wen Ning, berdiri di samping kuda yang dia pinjamkan pada dua pemuda. Tatapannya menyapu perbukitan kelabu di kejauhan yang disaput kabut keabuan.

"Akan butuh waktu setengah hari lagi untuk tiba di ibu kota," Lan Yuan menjawab dengan senyum letih yang dipaksakan.

"Bagaimana dengan senior kalian?"

Lan Yuan menghela nafas. Seketika raut wajah dua pemuda dihinggapi kebingungan. Sesungguhnya mereka terbelit dilema. Tidak mungkin baginya terus menunda amanat dari tetua Lan untuk menyerahkan pusaka itu, di sisi lain, pergi tanpa Lan Wangji juga bukan pilihan yang baik.

"Dia..." Lan Yuan terbata-bata. Rasa bingung perlahan berganti khawatir.
"Dia akan baik-baik saja. Senior mungkin belum menemukan pondok ini."

"Mengapa tidak menunggu sebentar lagi?" desis Jingyi di telinganya.
"Kita bisa minum teh, dan kita juga belum makan."

"Tidak perlu merepotkan paman Wen Ning lebih banyak lagi," tegur Lan Yuan. Ekspresinya jelas tidak setuju.

"Mungkin dia benar," sela Wen Ning.
"Aku tidak merasa direpotkan. Justru aku senang bisa bertemu orang baru yang berbudi dan bersedia mendengarkan ceritaku."

Lan Yuan menanggapi dengan senyum.

"Aku menghargai ketulusanmu, Paman. Tapi kami tidak bisa membuang waktu. Aku sangat yakin senior akan segera menyusul kami. Jika paman bertemu dengannya, katakan bahwa aku dan Jingyi menunggu di ibu kota, tidak akan jauh dari istana raja."

𝐌𝐞𝐥𝐨𝐝𝐲 𝐨𝐟 𝐓𝐡𝐞 𝐍𝐢𝐠𝐡𝐭 (𝐖𝐚𝐧𝐠𝐱𝐢𝐚𝐧) Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt