46. Emosi dan Kesadaran

31.2K 3.5K 119
                                    

"Aw!"

Raina meringis pelan, punggungnya terhempas menabrak benda keras di belakangnya. Kepalanya mendongak melihat Gina mengunci pintu gudang. Keadaan di sini begitu gelap, namun tak lama lampu yang ada di dalam gudang mengeluarkan cahayanya sebab Gina menghidupkannya.

Dengan langkah pelannya Gina mendekati Raina, pecahan kaca di tangannya masih ia genggam. Raina melirik sekilas ke arah pintu gudang, tak ada tanda-tanda orang di balik sana.

"Ada ucapan terakhir sebelum lo mati Kakak tersayang?"

Raina mengalihkan bola matanya menatap intens perempuan 'gila' di depannya. Dengan posisinya terduduk ia menegakkan punggungnya. "Ada," katanya dengan singkat.

"Langsung aja ngomong, biar nggak buang terlalu banyak waktu."

"Tapi kayaknya memang buang banyak waktu."

Gina berdecih. "Kenapa lo lakuin ini semua? Lo emang niat menghancurkan segalanya 'kan?"

"Kalo lo udah tau jawabannya kenapa masih nanya?" timpal Raina dengan tenang.

Raina terkekeh melihat Gina kini menatapnya tajam, telapak tangannya bergerak mengusap bekas air mata di kedua pipinya.

"Lo benci gue? Kenapa?"

Pertanyaan simple yang Raina lontarkan tanpa sadar membuat tatapan Gina yang tadinya tajam kini sedikit meredup. Namun wajarnya tetap tak berekspresi.

"Kenapa, Gina?" desak Raina lagi.

"Karena gue nggak suka liat lo bahagia!"

Masih menatap Gina dengan intens, Raina pun kembali bertanya, "Gue nggak boleh bahagia? Harus mati aja, gitu?"

Gina tak menanggapi.

"Lo nggak inget siapa yang udah ngubah kehidupan lo jadi 'enak' kayak gini, Gin?"

Raina berkata dengan tenang, tapi tidak dengan sang penerima pertanyaan darinya. Raina yakin Gina tersinggung dengan ucapannya, tapi ia tak peduli. Biarkan ucapannya menampar Gina hingga sadar.

"Dan ... balas budi lo kayak gini ke gue sama keluarga gue?" Raina mendesak Gina lagi. "Kenapa loㅡ"

"ITU SEMUA KARENA LO, RAINA!" sela Gina dengan teriakannya.

Raina memejamkan matanya, dan vas bunga berdebu terlempar ke belakangnya. "Emang selama ini lo nggak bahagia di sini?" cetusnya kemudian. Ia berusaha tenang dalam situasi ini.

"Ayah Bunda nggak pernah pilih kasih sama kita, Ayah nggak pelit ngasih apapun buat lo saat lo butuh. Bahkan mereka selalu ada buat lo. Ayah Bunda nggak nuntut lo apapun, mereka nggak pernah bedain antara kita berdua, mereka adil dalam berbagi kasih sayang."

"Kasih tau gue kenapa lo bisa nggak bahagia kayak gue padahal kita tumbuh dengan kasih sayang dan didikkan yang sama?"

Diam membatu. Gina tak berkutik.

"Lo diem buat gue semakin binggung." Raina bangkit dari duduknya, menepuk dress-nya nya kotor akan debu. "Kalo gini bukannya lo yang memperlambat waktu? Saat gue tanya dan butuh penjelasan lo malahㅡ"

"Gue cinta Alric."

Giliran Raina yang terdiam.

Mencerna tiga kata yang Gina ucapkan.

"Tapi Alric cinta sama lo."

Miris.

Kedua mata Gina memerah karena emosi yang ia tahan sejak tadi. "Gue bahagia saat lo nolak perjodohan sama Alric, dan gue lebih bahagia lagi saat kedua orang tua kita dan Alric mengalihkan perjodohan ini buat gue."

Hello, Liebling!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang