14

1.9K 201 25
                                    

Masih menunggu kalian meramaikan kolom komentar

Selamat membaca

***

"Hati-hati di jalan." Pesanku pada Keenan yang akan kembali pulang ke kosan.

Aku menoleh ke arah Rafka yang juga ikut mengantarkan Keenan ke depan, lalu mengangkat kedua alis saat melihat mereka berdua berpelukan

Apa itu tadi? Apa mataku tidak salah melihat?

Pasalnya kedua orang yang sedari tadi terlihat saling mengibarkan bendera perang, kini terlihat seperti sahabat lama yang harus dipaksa berpisah. "Hati-hati, Ken. Sori soal yang tadi." Ujarnya yang masih bisa didengar telinga.

Keherananku masih berlanjut. Apalagi saat melihat Keenan juga melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Rafka.

"Apakah saat aku tinggal pergi sebentar ke dalam kamar, mereka berdua bisa langsung sedekat itu?" Pikirku heran.

Pasalnya sejak kejadian aku mengaku bahwa Keenan adalah adikku, aku memang memilih masuk ke kamar dengan alasan mengambil dompet. Aku tidak mau terlibat lebih lama dalam kecanggungan sehingga memilih menghindar dengan masuk ke dalam kamar dan menunggu waktu berlalu.

Dalam waktu setengah jam - sesuai perkiraan waktu yang aku pikirkan, Rafka dan Keenan bisa langsung terlihat akrab. Maksudku ketika aku kembali ke ruang tamu, aku sudah melihat Rafka dan Keenan yang asyik mengobrol sekaligus mabar. Entah sungguhan sudah berteman - karena keduanya adalah tipe yang sama-sama easy going dan friendly sehingga mudah berbaur, atau hanya sebuah strategi agar tidak timbul ke awkward an kembali.

"Jagain kakak gue ya." Aku melotot mendengar ucapan Keenan pada Rafka.

Apa-apaan itu maksudnya?

Kenapa dengan entengnya menitipkanku pada Rafka?

"Ken!" Aku memanggil Keenan untuk menghentikan kegilaannya.

Sementara Rafka? dia hanya tersenyum dan mengangguk. Mengiyakan permintaan Keenan, lalu menoleh ke arahku dan tersenyum dengan kadar kemanisan yang berkali-kali lipat lebih tinggi.

Gila!

Kenapa bisa kaya gini?

Jantung gue .....

"Mbak..."

Aku kembali tersadar ke dunia nyata. "Apa?" jawabku sewot.

Bukannya langsung menjawab, dia malah melangkah mendekat ke arahku. "Kenapa nggak bilang kalo selera lo sekarang berondong? tau gitu kan sejak lama gue kenalin sama temen-temen. Biar lo nggak jadi jomblo karatan."

Sialan!

***

Awalnya aku berpikir jika Rafka juga akan pulang. Mengikuti jejak Keenan yang sudah berpamitan sekitar lima belas menit yang lalu.

Namun nyatanya dugaanku salah. Alih-alih berpamitan pulang, sampai sekarang pun dia masih duduk manis di ruang tamu dengan ekspresi wajah yang menyebalkan. Sangat menyebalkan hingga aku ingin mengantonginya untuk dibawa ke dalam kamar.

"Ngapain liatin gue?" aku sudah tidak tahan dengan kelakuannya yang terus menatapku.

"Kenapa ya mbak ada orang yang cakep banget gini di dunia?" jawabnya sembari menunjuk ke arahku.

Mataku membulat. Bukan karena dia mengataiku sebagai perempuan yang cukup cantik, namun karena perubahan panggilan yang dia berikan padaku.

"Mbak?" tanyaku memastikan. Masih berharap bahwa itu hanyalah kesalahan pendengaran karena jujur panggilan tersebut berhasil membuatku merinding.

Alih-alih menggeleng atau mengelak, Rafka justru langsung mengangguk. "Iya. Mbak Caca."

"Ngapain ikut panggil gue mbak?"

"Biar lebih deket aja. Lo kan dipanggil mbak sama Keenan."

"Ya dia kan adik gue." Balasku sengit.

Rafka menggeser sedikit kursinya. Mungkin tidak nyaman atau hanya ingin mencari posisi yang lebih nyaman. "Ya gue mau ikutan, Mbak. Kedengaran lebih gemes."

Aku memutar bola mata jengah. "Gemes-gemes apaan. Lo mau jadi adik gue juga?" tanpa sadar justru malah kalimat itu yang keluar dari mulutku.

Pertanyaan yang cukup memancing, seolah bahwa aku adalah pihak yang tidak ingin jika hubungan kami akan berakhir dengan kakak dah adik.

"Kalo jadi pasangan lo aja gimana?"

"Kalo gitu jangan panggil mbak."

Rafka menegakkan tubuhnya. "Lo serius?"

"Soal apa?"

"Lo mau jadi pacar gue."

"Siapa yang bilang?" tanyaku berpura-pura bingung.

"Tadi kak. Lo bilang gue jangan panggil lo 'mbak' kalo nggak mau dianggap jadi adik."

"Artinya lo mau kan jadi pacar gue?" lanjutnya menuntut jawaban.

Aku menghela napas. Secara teknis mungkin kalimatku seperti itu, tapi percayalah aku tidak bermaksud demikian. Keputusanku berkata seperti itu murni karena aku tidak nyaman dipanggilnya 'mbak'.

Perasaan yang aku rasakan ketika dia memanggilku seperti itu, tidak sama dengan perasaan yang timbul saat Keenan yang melakukannya. Hatiku berdesir halus, dan tentu saja itu adalah hal yang tidak baik untuk kesehatan organ dalamku.

"Maksud gue bukan kaya gitu, Raf."

"Terus?" aku menggeleng.

"Tapi lo ngebolehin gue buat deketin lo, kak?" tanyanya penuh harap. "Maksud gue, lo nggak mungkin nggak sadar kan sama sikap gue selama ini ke lo."

"Gue suka sama lo, dan gue pengen usaha buat dapetin hati lo." lanjutnya begitu yakin.

Siapapun tolong bawa gue kabur ke mars!

Tingkat TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang