18

1.8K 175 16
                                    

Akhirnya bisa lanjut update lagi
Jangan lupa kaya biasa, ramein vote dan komentar ya

Selamat membaca

Mataku hampir terpejam, tepat ketika suara dering telepon memenuhi seluruh ruang kamarku.

Dengan mata yang masih setengah terpejam, tanganku meraba-raba sumber suara untuk menemukan benda pipih berbentuk persegi itu. Melirik jam digital dan mengeluh kesal. Orang gila mana yang meneleponku di jam dua pagi seperti ini.

Rasa kesal ku berganti dengan senyuman. Persis saat aku melihat nama dari orang yang membuat keributan di pagi buta seperti ini. 'Brondong kesayangan gue', nama kontak yang langsung membuat kantuku menguap dan menghilang begitu saja.

Jantungku berdegup kencang tidak karuan. Entah karena terkaget-kaget mendapatkan panggilan saat hampir saja tertidur atau karena mendapati orang yang menghubungiku adalah dia, laki-laki kesayangan selain papa. Bahkan meski belum secara resmi berstatus menjadi pacarku, untuk sekarang ini dia sudah menjadi laki-laki kesayangan nomor dua bagiku. Satu tingkat lebih tinggi dibandingkan Keenan yang notabene adalah adik kandungku sendiri.

"Halo, Raf?"

"Kamu belum tidur, Ca?" Alih-alih menjawab sapaan yang aku berikan, dia justru menanyakan hal lain.

Oh iya, selain penghilangan kata 'kak' sebelum namaku, panggilan kami juga sudah mengalami perubahan. Dari gue-lo menjadi aku-kamu. Sudah seperti orang yang berpacaran namun faktanya belum. Entah apa yang dia tunggu, yang jelas dia belum memintaku untuk menjadi kekasihnya.

Aku mengubah posisi tubuhku menjadi tengkurap agar lebih nyaman, "Kalo udah tidur, aku gak bakal jawab telepon kamu, Raf."

"Jadi ada apa telepon jam segini?" lanjutku menambahkan. Pasalnya tidak biasanya dia seperti ini. Maksudku malah sangat jarang sekali dia meneleponku di pagi buta seperti sekarang, kecuali jika dia sedang tidak baik-baik saja berdasarkan definisinya sendiri.

"Aku gak bisa tidur, Ca."

Kedua alisku menyatu heran. "Kenapa? Kangen sama aku?" ujarku bercanda. Memang jika sudah menjelang pagi seperti ini otakku kadang tidak sewaras saat jam kerja.

"Iya."

Gila!

Benar-benar gila.

Ini namanya senjata makan tuan.

Bagaimana mungkin aku yang berniat untuk menjahilinya, justru salting tersendiri hanya dengan satu kata singkat yang dia ucapkan. "Serius, Raf. Jangan bercanda."

"Ini serius, Ca. Aku beneran gak bisa tidur." Terdengar suara kasak-kusuk di seberang telepon. Entah apa yang dia lakukan, tapi beberapa detik kemudian keadaan sudah kembali hening. "Boleh video call?"

Aku langsung terduduk ketika dia mengucapkan pertanyaan itu. Penampilanku yang super berantakan, rambut acak-acakan seperti singa dan baju tidur kumal yang warnanya sudah pudar yang sedang aku kenakan langsung tergambar jelas di dalam otakku.

Dengan kondisi yang sangat menyedihkan seperti itu, aku tidak akan membiarkan Rafka melihatnya. Alih-alih membuatnya terpesona, dia mungkin justru akan meninggalkanku tanpa ada kejelasan. Ya benar, penampilanku yang sekarang sangat mendukung untuk orang melakukan ghosting setelah melihatnya. "Boleh, tapi sebentar ya." Tanpa menunggunya merespon, aku langsung melemparkan ponselku ke kasur. Bangkit dan berlari menuju kamar mandi untuk cuci muka, lalu berganti pakaian dengan baju tidur baru yang belum pernah ku pakai - yang baru aku beli beberapa hari yang lalu saat baru saja tiba di Jakarta.

"Halo?" aku menyapa Rafka setelah selesai bersiap. Jika mengikuti perkiraan pribadiku, waktu yang dibutuhkan untuk bersiap-siap mungkin sekitar lima menit. Semuanya serba kulakukan dengan cepat bahkan hingga aku tersandung saat akan memasuki kamar mandi.

"Abis dari mana, Ca?" aku menghela napas lega. Sebelum mendengar suaranya, aku sempat berpikir jika dia ketiduran atau justru meninggalkan ponselnya karena aku yang tiba-tiba tidak ada suara.

"Nggak dari mana-mana kok. Cuma ambil minum sebentar karena tiba-tiba haus." Aku tidak berbohong untuk pernyataan terakhir ini. Memang benar aku sempat me refill botol minumku ke dapur karena kehabisan stok.

"Jadi video call?"

"Jadi." Dan secepat itu sambungan telepon biasa kami berubah menjadi panggilan video.

"Cantik banget. Padahal udah mau pagi loh......." ujarnya yang membuatku mati-matian menahan senyum. Tidak tahu saja bagaimana persiapan paripurna ku saat dia mengatakan ingin melakukan panggilan video.

"Kangen!" lanjutnya membuatku tak lagi bisa menahan senyum. Aku bahkan tertawa. Tidak menyangka jika diantara jutaan kemungkinan kata yang akan dia ucapkan, justru satu kata itu yang akhirnya keluar dari mulutnya.

"Baru juga di tinggal dua hari." Jawabku mencoba cuek. Meski sebenarnya jantungku sudah berdetak tidak karuan karena satu perkataannya yang tidak masuk akal.

"Kenapa lama banget sih baliknya?" Aku mendengkus mendengar pertanyaannya.

"Baru dua hari, Raf. Lama dari mana coba?"

Weekend minggu ini aku memang memutuskan untuk pulang ke rumah. Selain karena tidak ada agenda apapun di Bogor, Keenan juga tiba-tiba mengajakku pulang bersama - katanya sudah kangen rumah dan juga masakan mama. Lalu alih-alih menolaknya, aku memang langsung mengiyakannya tanpa pikir panjang.

"Udah mau lima puluh jam loh, Ca."

Kali ini bibirku tersenyum tertahan. Tidak mau membuatnya besar kepala karena hanya dengan seperti itu saja sudah bisa melelehkan hatiku yang lemah.

"Kalo kangen samperin dong."

"Boleh emang?"

Aku mengangguk. "Kenapa gak?"

"Aku boleh main ke rumah?" Perubahan ekspresi wajahnya yang jadi lebih cerah tidak bisa diabaikan begitu saja. Meskipun begitu, aku belum bisa mengabulkan permintaannya karena hubungan kami belum jelas. I mean belum ada hubungan pasti di antara kami, dan jika tidak ingin diganggu dengan puluhan pertanyaan mama maka aku belum bisa menunjukkan keberadaannya sekarang. Bukan karena berniat menyembunyikannya atau bagaimana, hanya saja belum menemukan tempat dan situasi yang cocok.

"Boleh, tapi nggak besok juga, Raf. " Kulihat wajahnya sudah tidak berseri seperti sebelumnya. Lebih keruh yang menandakan bahwa dia kecewa. "Besok sore aku udah balik Bogor, jadi nanti kamu ke rumah pun gak akan ketemu aku." Lanjutku menjelaskan. Takut dia salah paham dengan kalimat atau keputusan yang aku ambil.

"Kamu serius?" Aku mengangguk menanggapi.

"Jangan sore-sore baliknya, biar gak kena macet ke Dramaganya."

"Nanti bilang ya kalo sampe stasiun, aku mau jemput."

Aku menggeser letak ponselku agar gambar di layar kelihatan lebih proporsional. "Aku bareng Keenan, Raf. Jadi gak usah jemput."

"Tapi pengen jemput!" ujarnya manja. Membuatku gemas sendiri karena tingkah manjanya itu.

Aku tertawa. "Ya udah. Nanti aku bilang ke Keenan kalo aku gak ikut dia dari stasiun."

"Iya, gitu aja. Nanti kabarin aja ya." Rafka terlihat membenarkan posisi bantal yang dia gunakan untuk menyandarkan kepala. Mungkin merasa tidak nyaman sehingga memutuskan untuk berganti posisi.

"Ya udah gitu aja. Sekarang sana tidur! Nanti kamu kesiangan, ini udah mau pagi."

Aku hanya mengangguk. Mengelak pun sepertinya sudah tidak berguna karena yang dia katakan memang sebuah fakta. "Ya udah, sampai ketemu besok ya."

Rafka mengangguk. "Have a nice dream, Ca. Sleep tight." ujarnya sebelum menutup telepon.

"I LOVE YOU RAFKA!" teriakku saat panggilan telepon berakhir.

"MBAK CACA! INI JAM TIGA PAGI JANGAN BERISIK!" suara Keenan di kamar sebelah membuatku menghentikan teriakkan.

Maafkan kakakmu yang alay ini, Ken.

Tingkat TigaWhere stories live. Discover now