Jealousy

93.9K 2.6K 95
                                    

Aku enggak pernah menyangka akan terbangun dengan Pak Stevie yang masih tertidur dengan nyenyak di sampingku. Di tempat tidurku. Sekuat tenaga, aku menahan diri untuk tidak tertawa dan sebagai gantinya, aku malah menyengir lebar-lebar.

Tanganku terulur untuk menyentuh wajahnya. Garis rahangnya terasa kasar akibat bakal janggut yang mulai tumbuh. Aku juga melihat bayangan hitam calon-calon kumis di atas bibirnya.

Aku ingat sekali waktu, Pak Stevie mengagetkan seisi kantor dengan cambang dan kumis. Dia baru saja cuti seminggu dan liburan ke Flores. Rambut-rambut wajah itu membuat penampilannya terlihat kasar dan keras tapi enggak mengikis kegantengannya.

Messy but sexy.

Cuma sekali, karena tak lama dia langsung mencukur habis semua rambut di wajahnya, kembali ke penampilannya yang semula, bersih dan rapi.

Saat merasakan bakal janggut itu, muncul keinginan untuk membantunya bercukur. Mungkin besok, kalau malam ini aku menginap di tempatnya karena enggak ada peralatan bercukur di kamar mandiku. Ada, sih, tapi itu kan untuk mencukur bulu kaki dan bulu pubisku. Masa iya dipakai buat mencukur cambangnya?

Aku menggigit bibir untuk menahan tawa yang siap keluar kapan saja.

Detik ini, aku sudah sampai di pemahaman bahwa aku tidak akan menolak kalau diajak menginap di tempatnya.

Who am I kidding?

Not my foolish heart, for sure.

"Mau lihatin gue sampai kapan? Awas horny." Ucapan Pak Stevie mengagetkanku.

"Pak Stevie udah bangun?"

Dia membuka mata. Sayu yang terlihat di sana membuat nafsuku yang tadi tertidur, kini mulai berulah.

"Udah dari tadi. Jadi, kenapa lihatin gue terus?"

"Soalnya Pak Stevie ganteng, sih. Rezeki aja bangun-bangun yang dilihat pertama kali yang ganteng-ganteng," selorohku.

Pak Stevie tersenyum tipis. "Belakangan, lo selalu lihat gue setiap pagi."

"Not that I'm complaining," sahutku. Aku mencondongkan wajah untuk menciumnya.

Selama sesaat, aku lepas kendali ketika Pak Stevie membalas ciumanku. Ketika tangannya mulai menyentuhku, alarm tanda bahaya berbunyi.

Aku bangkit duduk. "No sex."

Pak Stevie mengangkat sebelah alisnya, bertanya tanpa suara.

"Udah pukul tujuh, Pak." Pagi ini aku bangun kesiangan.

"So?"

Aku mendecakkan lidah. "So, no time for sex. Kali aja lo lupa ya, Pak. Gue butuh sejam buat nyatok rambut."

Tawa tersembur dari bibirnya.

"Plus, lo enggak punya kondom lagi." Aku melanjutkan. "Kayaknya gue juga harus nyetok kondom di sini, jaga-jaga lo tiba-tiba nongol lagi kayak semalam. Atau..." aku menunjuk dadanya. "Gue agak kecewa karena lo cuma bawa satu kondom di dompet. Orang kayak lo butuh sekotak full. Secara lo nafsuan."

"Lo yang bikin nafsu. Dengerin lo mengoceh soal kondom dan susu lo pas di depan mata gue. Puting lo selalu keras begitu?"

Aku menunduk untuk menatap payudaraku, lalu kembali beralih ke Pak Stevie. "Lagi berulah dia. Lo lihatin mulu sih, Pak."

Tangan Pak Stevie terulur menuju payudaraku, dan aku menepisnya.

"Enggak ada waktu, Pak. Bos gue galak." Aku terkikik.

Yes, Pak!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora