Tidak Tenang

37 6 1
                                    

"Anak Iblis macem kamu, tuh, harusnya gak boleh hidup! Mending mati aja. Dasar anak haram," cela seorang gadis seraya menjambak rambutku dengan kencang.

Sakit, pedih, nyeri. Aku yakin, sebagian rambutku tercabut dari akarnya dan tersangkut di sela-sela jemarinya. Tidak bisakah, mereka berhenti melakukan ini sekali saja? Sungguh! Aku lelah dengan kehidupan ini. Jika mereka melepaskan rambutku, aku akan berlari ke arah dinding kelas dan melompat melewati jendela. Dengan begitu, mungkin saja aku mati seketika.

"Emang, ya. Kalo hidup dari duit haram itu akan berakhir seperti sampah," sambung gadis lain sambil menendang perutku. Sungguh, ini sangat sakit dan membuatku merasa mual.

"Dasar sampah masyarakat! Munafik!"

"Penuh dosa! Harus dibersihkan ini."

"Ayo, kita bawa dia ke toilet. Kita mandiin sekalian, gosok wajah dan tubuhnya, biar dosa-dosanya ikut terkikis."

Mendengar itu, aku sangat panik. Perasaanku sangat takut. Aku menangis dan memohon kepada mereka untuk tidak melakukan hal buruk lagi kepadaku. Sudah cukup rasa sakit ini kurasakan. Aku tidak ingin kesakitan lain membekas secara nyata pada tubuhku. Akan tetapi, mereka terus meremehkan dan menantangku. Berbicara bahwa diriku pengecut dan lemah. Mereka menambahkan bahwa, diriku pantas mendapatkan perlakuan seperti ini. Karena, hidup dipenjara pun akan merasakan penderitaan yang sama.

"Ya, ayo!"

Sungguh teganya! Setelah menyiksaku di dalam kelas, mereka masih belum puas dan malah menyeret paksa tubuhku sambil menjambak rambut ini, sehingga diriku kesulitan berjalan, sampai terjatuh dan hanya bisa merangkak membuntuti mereka. Saat kami berada di dalam toilet, satu per satu di antaranya mengguyur tubuhku dengan air tanpa henti. Dengan kejam, salah satu dari mereka menggosok pipiku dengan sikat WC sampai berdarah. Melihatku kesakitan seperti itu, mereka tertawa dengan keras.

Kulihat, gadis ketiga masih memegangi ponselnya dan terus mengarahkan kamera ke arahku. Dia merekam aksi gila ini tanpa memperlihatkan rasa iba. Mimik wajahnya terlihat menikmati penderitaan yang aku alami.

Kedua gadis lainnya langsung membuka pakaianku secara paksa dan merobeknya sampai memperlihatkan isi pakaian dalamku. Ternyata, sejak tadi yang kukira adalah hanya sebatas rekaman, rupanya mereka malah melakukan siaran langsung untuk mempermalukan diriku kepada semua orang. Aku menangis dan memohon ampun kepada mereka layaknya kepada Tuhan, agar mereka berhenti dan mengakhiri semua ini. Namun, mereka tidak mendengarkan dan terus saja memukul, menendang, menyiram dengan air, menyiksaku tanpa hati nurani. Dan itu, dijadikan lelucon, serta tontonan banyak orang di media sosial.

Aku tidak tahan lagi. Jika tidak berusaha menghentikannya, maka aku akan tetap hidup seperti ini. Bersiap. Aku menutup mata dan berteriak, "Hentikan!"

Saat aku membuka mata, napasku terengah-engah sambil melihat ke arah sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada suara kendaraan dari luar jendela dan suara orang-orang berbicara yang berasal dari luar tempatku berada. Setelah menyadari bahwa diriku aman di dalam rumah, aku mengusap pelipis yang penuh dengan keringat dingin. Melihat ke arah jarum jam di dinding menunjukkan pukul 07.23 pagi. Lantas, aku beranjak dari kasur dan bergegas ke dapur untuk mengambil air minum. Tidak lupa juga kuraih botol kecil berisi obat dan kumasukkan ke mulut. Tiga tegukan air cukup membantunya terseret ke tenggorokan dan aku pun lumayan merasa tenang, juga dapat mengontrol debar jantung untuk tidak berdetak cepat lagi. Hanya saja, tanganku terus bergetar tanpa henti.

"Mimpi itu ...." Aku mendesah lemas seraya memijat kening yang terasa pusing. Kemudian, aku dikejutkan oleh suara nada dering yang berasal dari ponselku. Posisinya tidak jauh, karena tempat ini tidak begitu luas. Aku hanya sanggup menyewa sebuah rumah susun sederhana saja. Yang penting isinya memiliki kamar tidur, kamar mandi, ruang makan dan juga ruang tamu. Beginilah, jika sudah tidak memiliki rumah. Aku harus mencari tempat tinggal untuk tetap melanjutkan kehidupan dengan layak. Aku pun segera mengambil ponsel dan menerima panggilan.

KelamWhere stories live. Discover now