Selamat Datang

11 5 4
                                    

Tidak terasa, akhirnya aku sampai di daerah pedesaan yang Nenek tinggali. Kami diturunkan di pinggir jalan karena menuju rumah Nenek tidak dapat dimasuki mobil. Hanya dapat dilewati oleh kendaraan roda dua saja. Itu pun harus dengan hati-hati. Jalanan menuju daerah Nenek itu turunnya cukup miring dan juga licin. Aku masih ingat saat pertama kali datang ke sini, aku tergelincir dan berujung main perosotan. Walaupun disediakan jalan untuk kendaraan dan pinggirnya tangga, aku memilih berjalan di jalanan. Sekalian berselancar. Tangga menuju turun pun masih terbuat dari tanah yang masih merah. Katanya itu adalah tanah liat. Jalanan dan tangga yang sekarang ada peningkatan, dilapisi bebatuan dan ditangguhkan oleh semen. Meminimalisir terjadinya kecelakaan. Setahuku, tidak ada yang celaka, sih. Mungkin warga sini sudah terbiasa untuk naik-turun dari sini.

"Ini sudah lama ya, Nek, jalanan kayak gini?" tanyaku yang sudah keluar dari mobil, diikuti dengan Nenek.

"Beberapa tahun yang lalu," jawabnya singkat.

"Waktu dulu, di jalanan belum ada lampunya kan, Nek? Sampai harus pake senter buat liat jalanan. Aku suka waswas, takut ada hantu. Soalnya tiap turun ke rumah Nenek pasti ada aja pohon gede," kataku bercerita.

"Sekarang pun masih ada, lo!"

"Aku lihat kok, Nek. Cuma gak sebanyak dulu."

"Nek, saya mau simpen mobil dulu, ya. Sebaiknya, Nenek duluan aja. Perjalanan pasti bikin Nenek capek," kata seorang laki-laki yang menjadi sopir selama perjalanan ini.

"Terima kasih, ya, Andre, sudah bersedia mengantar. Kamu juga, Tami, terima kasih."

"Sama-sama, Nek. Pamit dulu, ya," sahut perempuan yang bersama Nenek tadi. Lalu, dia pun pergi bersama Andre dengan mobilnya.

Selama perjalanan, Andre maupun Tami tidak begitu banyak bicara. Apa karena mereka berdua berada di kursi depan dan kami berdua di belakangnya? Seharusnya mereka bisa mendengarkan pembicaraan kami tadi. Kulihat Andre menatapku melalui kaca spion, saat aku selesai berbicara mengenai sayatan di leherku. Namun, dia tidak ikut campur urusan kami. Jika dipikir kembali, aku menyesal mengatakan hal memalukan itu di hadapan mereka. Seharusnya, aku mengungkapkan hal itu saat sudah sampai di rumah Nenek saja.

"Nek, memangnya Tami tinggal di mana?" tanyaku penasaran sambil menghangatkan suasana, agar perjalanan menuju rumah Nenek di bawah tidak begitu sepi. Walaupun masih bisa mendengar suara jangkrik dan hewan malam lainnya, tetapi jika hanya itu, kurasa masih terasa horor. Maka dari itu, aku harus mencari topik pembicaraan.

"Dia di desa sebelumnya."

"Jadi, mereka balik lagi ke tempat yang sudah kita lewati?"

"Begitulah."

"Apa Nenek gak takut, tinggal di bawah?"

"Kenapa takut? Bukannya kamu ingin kehidupan seperti di desa yang tidak begitu ramai orang dan kendaraan?"

Sejenak aku berpikir. Memang benar, untuk saat ini aku tidak ingin hidup di keramaian. Menyadari itu, berjalan berdua dengan Nenek membuatku lupa bahwa sekarang aku berada di luar rumah, tempat paling berbahaya yang seharusnya aku hindari. Sontak, aku langsung melihat ke arah sekelilingku. Sepi. Tempat yang tidak terakses cahaya pun sangatlah gelap. Aku tidak dapat melihat apa pun, kecuali mataku masih tajam seperti dahulu. Akibat sering berada di ruangan gelap dan terus menatap layar laptop, penglihatanku menjadi buruk. Apakah perumahan di lembah masih sangat jauh? Aku tidak melihat setitik cahaya keberadaannya.

"Apakah kita aman, Nek?" tanyaku cemas sambil memeluk lengan Nenek.

"Aman, Vio."

"Bisakah kita mempercepat jalannya, Nek? Aku merasa mual."

KelamWhere stories live. Discover now