Pergi Dari Rumah

16 5 1
                                    

Syukurlah. Ketika nenekku membuka pintu rumah, aku tidak kumat dan histeris. Pandanganku terjaga dengan baik. Tidak ada kejadian buruk yang dilihat dan dirasakan. Bahkan, diriku merasa lega dan tenang karena mengetahui bahwa aku aman. Aku pun tidak mengerti, saat keluar dari rumahku, tetanggaku tidak terlihat. Aku menatap nenekku dan memikirkan sesuatu. Apakah dia meminta mereka untuk tidak keluar dan melarangnya untuk melihat kami pergi? Mungkinkah? Sesungguhnya, aku tidak begitu peduli akan hal itu. Setidaknya, ada Nenek di sampingku yang akan terus melindungi dari hal buruk.

Setelah berjalan beberapa langkah, aku pun menyadari sesuatu. Rumah susun ini sangat berbeda, ketika pertama kali kudatangi. Dahulu, keadaannya masih bagus. Catnya masih bersih. Tidak banyak pula orang yang tinggal di sini. Sekarang, hampir semua terisi. Waktu itu, aku melihat iklan di internet mengenai rumah susun ini. Bangunannya masih baru dan baru saja resmi dibuka. Sebenarnya, rumah ini untuk dijual, tetapi ibuku tidàk memiliki uang sebanyak itu. Seketika kami menjadi bangkrut, bahkan gelandangan. Akhirnya ibuku memohon dan meminta untuk menyewanya saja. Untunglah pemiliknya baik. Dengan tidak sopannya, pada saat itu kami datang saat tengah malam dengan perasaan waswas karena takut dilihat oleh wartawan.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Nenek. Aku hanya mengangguk.

Ketika kami akan keluar dari gedung, terlihat penjaga yang sering kusuruh belanja, memasang wajah kaget. Ingin melebarkan senyuman kepadanya, tetapi diri ini sangat berat. Sehingga, kedua mata ini refleks teralihkan untuk menatap yang lain.

"Selamat malam," sapa Pak Penjaga.

"Malam, Pak. Terima kasih sudah membantu cucu saya. Masalah rumah dan kuncinya, nanti saya nyuruh orang untuk mengurusnya," sahut Nenek.

"Tidak masalah, Bu. Sudah tugas saya untuk membantu Mbak Viola. Semoga Mbak Viola semakin betah setelah meninggalkan rumah susun ini."

"Amin. Terima kasih," tambah Nenek. "Kalo begitu, kami izin pamit. Maaf, sudah membuat kegaduhan."

"Maafkan saya juga, Pak. Saya sering menyuruh Bapak dan merepotkan Bapak selama bertahun-tahun ini," ucapku sambil menunduk.

"Tenang saja. Saya juga ikhlas kok, bisa membantu penghuni di rumah susun ini. Sudah tugasnya."

"Sampai jumpa, Pak."

Pak Penjaga mungkin saja memahami dengan situasinya. Aku sempat menceritakan apa yang sudah terjadi kepadaku dan dampaknya seperti apa. Maka dari itu dia bersedia membantuku untuk membelikan dan membawakannya ke tempatku. Aku tidak memiliki uang tunai untuk membayar jasanya, karena semua pembayaran dilakukan menggunakan kartu debit. Aku sering berbicara untuk dilebihkan saja, tetapi Pak Penjaga tidak pernah melakukannya. Dia sangatlah baik.

Kini, kami bertiga sudah di luar gedung. Perutku tiba-tiba merasa mual dan kepala menjadi pusing. Ini karena di luar gedung aku melihat ada banyak orang dan kendaraan yang masih berlalu lalang. Padahal, hari ini masih hujan. Apakah hujan tadi pagi terus berjalan sampai malam?

Akhirnya aku berhasil keluar dari rumah susun itu. Rasanya sungguh lega. Kini, aku sedang di perjalanan menuju rumah Nenek. Masih di tengah kota dan banyak orang-orang di luaran sana. Nenekku menyuruhku untuk menutup mata dan tidur, agar aku tidak perlu cemas dengan semua yang kulihat sepanjang jalan. Aku menuruti perkataannya dan itu berhasil. Walaupun ada sedikit perasaan cemas yang timbul, tetapi tidak membuatku begitu takut. Karena hal itu, aku jadi tidak bisa menghafal, jalan mana saja yang aku lewati dan bagaimana keadaan di sana. Terakhir mengunjungi rumah sang nenek adalah ketika diriku masih SMP. Insiden pada masa SMA, membuatku tidak bisa pergi ke mana-mana.

Aku tidak ingat, seberapa lama perjalanan yang kami tempuh. Tiba-tiba saja aku dibangunkan oleh nenekku dan menyuruhku untuk melihat pemandangan di luar kaca jendela mobil. Rupanya, aku sudah tertidur cukup lama di pundak Nenek.

KelamWhere stories live. Discover now