Di Balik Jendela

7 2 2
                                    

"Bangun, Viola! Hari sudah cerah."

Aku mendengar suara nenekku. Aku tidak menyangka bahwa dia akan bangun lebih cepat dariku. Mungkin ini akibat dari terlalu capek, maka dari itu selama aku tidur, aku dapat melewati malam dengan aman dan tidur menjadi lebih nyenyak dari biasanya. Dengan baiknya, Nenek pun membuatkanku teh hangat dan membawanya kemari. Aku duduk, lalu menerima teh hangat tersebut dan langsung meminumnya secara perlahan. Terlalu manis.

"Kamu suka?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Lumayan, Nek."

Nenek berjalan menuju jendela yang masih tertutup gorden. Aku tahu, nenekku akan membukakan gordennya. Aku tidak ingin hal itu terjadi, maka aku berbicara terlebih dahulu sebelum Nenek melakukannya.

"Jangan dibuka, Nek. Aku ... aku masih belum terbiasa."

"Jangan khawatir! Di sini tidak akan ada banyak orang. Apalagi dilewati oleh kendaraan."

Nenekku tetap membukakan gordennya. Jelas, ini membuat detak jantungku semakin kencang karena gugup. Ketika cahaya matahari memasuki kamar, seketika mataku menjadi silau. Aku pun memalingkan wajah untuk menghindari cahaya tersebut. Aku benar-benar kesal kepada Nenek yang masih belum memahami mengenai itu. Segera aku menarik selimut dan bersembunyi di dalamnya.

"Viola. Sungguh tidak ada apa-apa. Lihatlah!" ungkap Nenek.

Aku masih belum percaya. Aku tetap mempertahankan persembunyianku.

"Aku gak akan keluar sebelum Nenek menutupnya," kataku dengan cetus.

"Baiklah. Nenek sudah menutupnya," sahutnya kurang meyakinkan.

Dengan perlahan, aku membuka selimut dan mengintip ke arah jendela. Rupanya Nenek berbohong. Gorden itu tidak menutupi jendela. Walaupun begitu, Nenek memang berkata jujur dengan tidak ada apa pun di sana. Jika dipikir-pikir, aku tidak mengerti dengan alasan, mengapa aku tidak ingin melihat dunia luar selain yang ada di dalam rumah. Aku pun tidak dapat membedakan rasa takut ataupun benci dengan semua hal yang ada di luar sana. Tidak ada pilihan lain, aku pun memberanikan diri untuk membuka selimut dan menghadapi pemandangan itu.

Dengan jantung yang berdetak kencang, beserta rasa gugup, aku pun mulai menatapnya. Hanya ada pohon beranting kecil berdiri di atas tanah merah. Bukan hal buruk.

"Apa kamu berubah pikiran?" tanya Nenek.

Aku tidak menjawabnya karena fokusku teralihkan oleh sesuatu. Segera, aku turun dari kasur dan berjalan mendekati jendela yang masih terbuka itu. Samar-samar, telingaku mendengar suara teriakan dan kebisingan dari orang-orang yang sedang membicarakan sesuatu. Pandanganku mulai berubah. Aku melihat diriku sendiri terduduk basah kuyup dengan banyaknya lemparan makanan menjijikan di sekujur tubuhku. Aku melihat diriku yang malang di balik jendela kamar Nenek.

Tampak, semua orang tertawa puas melihatku. Bahkan beberapa orang berteriak, 'Pukul dia! Lempar dia! Lagi! Lagi!'. Tidak! Aku harus menyelamatkan diriku sendiri dari siksaan mereka. Aku terus berteriak kepada mereka agar berhenti untuk menyakitiku. Aku menangis dan memohon kepada mereka untuk mengampuniku. Namun, aku langsung melihat diriku menyayat lehernya sendiri sambil menatapku pilu. Aku berteriak dengan kencang untuk tidak melakukan itu. Jangan bersikap bodoh!

"Jangan! Jangan!"

"Viola, tenanglah!"

Aku menatap nenekku dengan mata berair. Kemudian, melirik ke luar jendela dan ingatan itu seketika mempermainkan emosiku. Aku pun memeluk Nenek dan menangis di dadanya.

"Apa Ibu sudah pulang dari rapatnya, Nek? Aku ingin bercerita kepadanya tentang kejadian di sekolah," kataku.

"Ibumu belum kembali. Dia pergi sudah sejak lama."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 26, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

KelamWhere stories live. Discover now