Kedatangan Nenek

16 5 1
                                    

Aku melihat banyak orang menatapku dengan pandangan sinis. Padahal, aku baru saja memberanikan diri untuk membuka pintu karena anak-anak itu. Hanya saja, aku mendapati pemandangan buruk. Sedalam mungkin aku langsung menundukkan kepala, merasa malu jika harus dilihat secara intens seperti itu. Walaupun diriku menunduk, tetapi mataku masih dapat melihat ada orang di sekitarku dan mendengar suara mereka berbicara tidak jelas. Aku mendengar, seseorang memanggilku dengan sebutan 'Hei!'. Akan tetapi, aku tidak berani melihat wajahnya. Bahkan pandanganku tiba-tiba berkunang-kunang.

Ketika kedua mata ini digosok, penglihatanku kembali normal dan dapat melihat dengan jelas. Aku sangat terkejut, karena melihat ada beberapa orang yang tidak kukenal tiba-tiba saja berkerumun mengelilingi tubuhku. Banyak orang melempar kertas ke arahku, menyiramkan minuman dingin, serta menumpahkan makanan berkuah yang masih panas. Kulitku merasakan berbagai kesakitan. Kulihat, kulitku ada yang melepuh akibat tersiram air panas oleh mereka. Anak-anak yang tadi mengangguku pun ikut-ikutan melakukan hal yang tidak seharusnya mereka lakukan. Bahkan, umur mereka masih di bawah sepuluh tahun.

Ternyata, membuka pintu rumah adalah kesalahan besar. Tidak ada yang peduli di saat aku merintih dan menangis. Tidak akan ada yang membantuku pula pada saat-saat seperti ini. Mereka yang berhati baik pasti merasa takut, karena jika mereka membantuku, maka mereka pun akan melakukan hal buruk kepadanya. Sama seperti yang kualami saat ini. Hanya diri sendirilah yang bisa membantuku.

"Tolong, hentikan! Aku sudah tidak tahan lagi. Kumohon tinggalkan aku sendiri. Jangan sakiti aku lagi, kumohon! Sakit."

Dengan penuh tenaga, aku menggerakkan kedua tanganku untuk menangkis sentuhan dari mereka. Aku benar-benar malu dengan diriku sendiri. Bahkan, di tempat asing seperti ini pun aku tidak mampu menutupi semua dosa-dosa dari sang ayah yang kutanggung sendirian. Teriakanku pun tidak mampu menghentikan mulut dan sikap mereka. Aku butuh bantuan. Segenap hati aku memohon kepada Tuhan, tolong datangkan nenekku sekarang juga. Aku butuh Nenek. Nenek, tolong aku!

Ya. Tidak lama berteriak dan memohon dalam batin, aku melihat nenekku berjalan mendekatiku. Dia bagaikan malaikat penyelamatku. Dia pun melambaikan tangan dan menyodorkan tangannya untuk membantuku bangun. Seketika bibirku tersenyum lebar. Tangisan pun terhenti. Tubuhku seakan melayang ditarik olehnya menuju cahaya putih tidak berujung. Aku tidak melihat lantai atas pada rumah susun. Semuanya berubah menjadi putih, seakan penuh awan. Kulihat ke bawah, aku sudah menjauhi orang-orang jahat itu sampai penampakkannya tidak terlihat. Seketika perasaan takut dan rasa sakitku menghilang saat aku memejamkan kedua mataku. Mungkin, aku akan pergi ke surga.

"Viola."

Suara lembut itu masih terdengar jelas di telingaku. Aku mengenal suara itu. Apakah itu suara Ibu? Aku ingin melihat ibuku. Namun, tiba-tiba saja kepalaku menjadi sakit. Kedua kelopak mataku terasa berat untuk dibuka. Padahal, aku sangat merindukan sosok sang ibu. Dia tidak pernah kembali. Aku terus berteriak, 'Bangunkan aku, Ibu! Aku ingin melihatmu. Aku pun selalu menunggumu.'. Akan tetapi, aku tidak bisa menggerakkan tubuhku. Melihatnya pun tidak bisa dan mungkin tidak akan pernah bisa. Mataku benar-benar seperti di lem. Sulit.

Aku terus berusaha menggerakkan tubuhku dan akhirnya berhasil. Aku bisa membangunkan tubuh ini untuk duduk, tetapi aku merasakan sentuhan orang lain di punggungku. Ya. Kurasa ada seseorang yang membantu untuk duduk. Aku yakin itu adalah ibuku atau nenekku. Aku harus segera membuka mata. Ya. Akan kuhitung sampai tiga. Aku yakin itu akan berhasil. Satu ... dua ... tiga.

"Viola, syukurlah kamu sadar."

Melihat bahwa aku tidak sedang di alam mimpi, aku pun langsung memundurkan tubuhku dan memeluk lutut sambil menyembunyikan wajah. Aku tidak sanggup melihat orang yang ada di hadapanku, karena kupikir pasti ada banyak orang di sini. Aku pun mengingat sesuatu, bahwa sebelumnya diriku pingsan saat melihat wajah anak-anak itu. Ternyata kenyataan sangat menyeramkan dibanding memimpikan orang-orang kejam itu.

KelamWhere stories live. Discover now