PROLOGUE

564 62 16
                                    

|1152 kata|

✧・゚: *✧・゚:*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✧・゚: *✧・゚:*

Sejak usia belia, Damian sudah menyadari bagaimana keadaan lingkungan tempatnya hidup, begitu pula bagaimana perilaku orang-orang terhadapnya.

Anak-anak sebayanya akan mendekat dengan senyum serta tawa riang, mengajaknya bermain bersama mereka. Itu akan menjadi hal yang begitu menyenangkan, seandainya Damian tidak tahu kebusukan yang mereka sembunyikan di bawah paras-paras yang mempersaksikan rona cerah tersebut.

Ah, mereka hanya pion yang digunakan oleh orang tua mereka untuk mendekati keluargaku.

Orang-orang dewasa akan tersenyum padanya, tersenyum sembari melontarkan pujian-pujian manis yang meluluhkan hati. Namun, hal yang lebih sering mereka lakukan adalah berbasa-basi menanyakan kabar ayahnya, beberapa dari mereka pun terkadang menanyakan kabar ibunya. Tak ayal pujian terlisan, hampir membuatnya terlena akan perlakuan manis yang amat jarang didapat sebelum logika kembali mengambil kuasa.

Mereka hanya penjilat, berusaha mendekatkan diri dan memanfaatkan pengaruh keluargaku.

Damian bukanlah anak naif yang menganggap bahwa semua orang yang bersikap baik padanya adalah orang baik. Ia tahu, ada udang di balik batu pada setiap tindak-tanduk santun yang dilakukan.

Mungkin inilah konsukuensi yang harus diterimanya sebagai putra dari orang berpengaruh― hidup di antara kebaikan dan senyum hangat dari orang-orang berwajah palsu.

Maka ia turut memainkan perannya, memilih karakter angkuh sebagai tameng untuk menyembunyikan sisi rapuh. Cukup dirinya saja yang tahu kelemahan diri.

Bagi Damian, semua kebaikan yang ia terima adalah kepalsuan belaka. Mereka hanya ingin agar diri terlihat baik di matanya. Damian tahu, sebab ia tak pernah mendapat teguran atas sikap buruk yang dilakukan.

Ketika Damian tak sengaja memecahkan cangkir di sebuah restoran, pendamping yang menemaninya tidak menegur maupun menyuruhnya untuk meminta maaf. Justru, pendamping itu yang menunduk sembari terus memohon maaf pada sang pemilik restoran untuk memaklumi kesalahan yang bahkan tak dilakukan.

Di sisi lain, sang pemilik restoran dengan mudahnya memaafkan sembari tersenyum. Senyum yang dipaksakan lebih tepatnya, Damian masih ingat bagaimana urat kepala pria tersebut samar terlihat.

Damian awalnya bingung, namun ia segera teringat akan satu hal. Pengaruh dan kuasa membuat orang-orang tunduk dan segan, bahkan membenarkan kesalahan yang dilakukan sang pemilik kuasa.

Damian pikir hal seperti itu akan terus terjadi selama dirinya hidup. Hingga hari itu datang― hari di mana ia terlempar ke tembok hingga punggungnya sakit. Pipi sebelah kanannya terasa begitu perih.

𝐄𝐍𝐂𝐇𝐀𝐍𝐓𝐄𝐃 || 𝙳𝚊𝚖𝚒𝚊𝚗𝚢𝚊Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang