Epilogue : The Writer And The Bystander

435 48 6
                                    

|794 kata|

✧・゚: *✧・゚:*

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

✧・゚: *✧・゚:*

Sinar mentari pagi menyusup melalui celah tirai merah maroon yang masih tertutup, memberi secercah cahaya pada ruangan gelap dengan rak-rak tinggi yang penuh akan buku dengan sampul aneka warna. Cahaya itu juga mengiluminasi sebuah meja dengan kertas-kertas yang disusun tinggi seperti menara di atasnya, pun sesosok pria yang tertidur dengan posisi tangan berada di atas tumpuan kedua tangan di antara susunan-susunan kertas tersebut.

Merasakan kehangatan di permukaan kulitnya, pria itu pun terbangun. Kedua kelopak matanya berkedut beberapa kali sebelum membuka mata, mempersaksikan sepasang netra kuning keemasan yang tampak sayu.

Damian menggosok kedua matanya sembari menegakkan posisi tubuhnya, giginya meringis kala merasakan rasa nyeri menghinggapi punggung dan bagian belakang lehernya. Efek tidur di posisi yang salah.

Ia pun menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, kemudian melakukan peregangan dengan membungkukkan tubuhnya ke belakang. Begitu terdengar bunyi nyaring, Damian bernapas lega― raganya sudah terasa bugar kembali.

Lelaki itu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, memangku kepala dengan tangan kanan yang bertumpu di tanganan kursi. Ia menggosok wajahnya begitu mengingat mimpi yang didapatnya beberapa saat lalu― salah satu memori masa remaja yang masih tersimpan rapi di sudut benaknya.

Walau eksistensinya telah hirap entah ke mana sejak beberapa tahun silam, gadis itu― Anya Forger masih saja muncul dalam benaknya seperti hantu yang datang tanpa undangan. Menerornya dengan sekumpulan memori yang berhasil membuat wajahnya memanas dan menggelitik dinding perutnya seakan ada satu pasukan kupu-kupu dalam perut.

Benar-benar sebuah perasaan yang memuakkan.

Mungkin sudah sekitar tujuh tahun berlalu sejak kejadian di mana Keluarga Forger hilang dari bumi tanpa jejak. Mereka tiba-tiba menghilang setelah identitas asli dari putri keluarga itu― Anya Forger bukanlah anak kandung dari Loid Forger terkuak dan menyebar di kalangan publik.

Hal yang mengejutkan lagi adalah bahwa Anya Forger merupakan test subject nomor 007― salah satu manusia berkemampuan istimewa yang berhasil melarikan diri dari lab eksperimen sebuah organisasi yang belum diketahui.

Sejak hari itu, tak ada seorang pun yang pernah melihat Keluarga Forger lagi. Seakan, keluarga yang tampak harmonis itu tidak pernah ada.

Beberapa penyelidik dikerahkan untuk menyelidiki kasus ini, untuk memastikan kebenaran apakah Keluarga Forger merupakan mata-mata dari Westalis atau bukan. Mereka bahkan mengirim mata-mata ke negeri yang bersinggungan dengan mereka untuk memastikannya.

Namun, setelah melakukan pencarian selama dua tahun lamanya, mereka sama sekali tak dapat menemukan Keluarga Forger. Penyelidikan pun ditutup, dan eksistensi tentang Keluarga Forger kini terlupakan seiring masa yang berlalu.

Dunia mungkin menganggap mereka telah hilang ditelan bumi, dinding-dinding di Berlint mungkin tak lagi mengingat suara tawa mereka ketika menyusuri jalanan dengan tangan saling menggenggam, tetapi Damian tak akan lupa tentang gadis kurang ajar itu.

Tentang betapa kurang ajarnya gadis kecil itu meninju wajahnya di hari pertama masuk sekolah, betapa menyebalkannya ia setiap berjumpa, pun begitu manis rupanya ketika seuntai senyum merekah di bibir mungil itu― semua ingatan tentangnya Anya tak pernah luntur dari benak Damian.

Termasuk memori tentang hari itu, saat di mana dadanya terasa begitu sesak kala menelan sebuah fakta yang amat pahit. Anya Forger telah menipunya.

Walau demikian, memori-memori tentang bagaimana gadis itu memperlakukannya berbeda― dengan tanpa hormat seperti orang kebanyakan lebih tepatnya― membuat Damian meragukan kesimpulan yang timbul di benaknya. Perlakuan Anya padanya terasa terlalu tulus untuk disebut tipuan.

Damian menghela napas, ia pun bangkit dari posisi duduknya dan berjalan menuju jendela. Tangannya membuka gorden, spontan menyipitkan mata kala cahaya mentari tiba-tiba jatuh menimpa netranya. Ruangan yang tadinya gelap kini terasa sedikit lebih terang akibat cahaya keemasan yang menembus kaca.

Nayanika keemasan menatap pemandangan dari jendela, tangan tertempel di permukaan kaca seakan lelaki itu tengah mengasihi lanskap yang dilihatnya.

Damian tersenyum, ia telah berhasil mewujudkan mimpinya― menciptakan kedamaian dunia dengan jalan yang damai tanpa darah mengotori tangan. Tak ada lagi perselisihan maupun peperangan yang membawa kehancuran, kini hanya ada kedamaian yang menciptakan rasa tenang dalam hati masyarakat. Dan ia akan membuatnya tetap seperti itu.

Damian menutup mata dan menatap pemandangan di hadapannya sekali lagi sebelum beranjak pergi, berjalan kembali menuju meja kerjanya. Tangannya meraih pena dan selembar kertas, mengguratkan tinta untuk merangkai aksara. Pikirannya saling bergulat dalam kepala, namun tangannya sama sekali tak berhenti menulis barang sedetik.

Ia terus menulis dan menulis, menuangkan isi hati dan pikirannya dalam bentuk guratan tinta hitam.

Tiada yang tahu apa yang tertulis dalam kertas tersebut, begitu pula pancaran penuh harap yang tercermin dalam sepasang netra emas.

Ruangan itu menjadi saksi bisu tentang seorang lelaki yang terkena mantra sihir― sebuah mantra yang membuatnya terpesona dan kian tenggelam ke dalam palung filantropi.

Sungguh pria yang malang.

Bahkan mereka yang tak dapat bersuara pun mengasihani pria itu― ia yang berdiri di puncak gunung tertinggi dalam lautan.

✧・゚: *✧・゚:*

𝐄𝐍𝐂𝐇𝐀𝐍𝐓𝐄𝐃 || 𝙳𝚊𝚖𝚒𝚊𝚗𝚢𝚊Where stories live. Discover now