Obrolan Getir

373 57 44
                                    

Ajakan rujuk Adip tidak main-main dampaknya bagi Clara. Wanita itu sampai tidak berani menghadapi Adip seorang diri. Takut jika Adip melakukan hal-hal tak terduga seperti semalam atau pagi tadi.

Alhasil, Jeremy membawa Clara untuk pulang ke rumah Helena sementara dirinya kembali ke rumah Clara untuk berbincang dengan Adip. Ia pikir, di rumah Helena, Clara bisa lebih tenang.

Adip akan pulang pada pukul enam, itu waktu yang cukup bagi Jeremy yang baru kembali dari kantor pada pukul 5 sore. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, ia segera kembali ke rumah Clara. Menyiapkan dua cangkir kopi hitam pekat untuk teman berbincang.

Pukul enam lebih tiga puluh menit, Adip sampai dengan taksi online. Pria itu masuk seolah-olah memang itu adalah rumah yang selama ini ia tinggali. Ia melepaskan sepatunya, menyimpannya di rak kemudian melepaskan dua kancing teratas kemejanya. Ia baru saja akan memanggil Clara sebelum menyadari bahwa Jeremy ada di meja makan.

"Lo? Kenapa lo di sini?" hardik Adip dengan nada yang melengking tak suka.

Jeremy yang tadinya tengah berbincang ringan di chat bersama Clara itu mendongak. Ia meletakkan ponselnya secara terbalik di atas meja, menunjuk cangkir kopi di seberang meja dengan dagunya. "Gue mau ngomong sama lo, empat mata," jawabnya dengan sangat santai.

Paham bahwa tidak ada Clara di rumah itu dan Jeremy yang tiba-tiba ingin berbicara padanya membuat Adip tertawa lantang. Ia tahu Clara melaporkan tentang ajakan rujuknya itu pada Jeremy. Ia tak memproyeksikan tentang ini sebelum ia kembali ke Indonesia. Ia pikir mengajak rujuk adalah hal yang mudah, rupanya ada penghalang.

"Urusan gue sama Clara, ya, bukan sama lo."

"Urusan Clara urusan gue juga. Dan di sini gue ga mau banyak berdebat atau adu otot. Gue cuma mau nglurusin tentang apa yang jadi kekalutan Clara."

Jeremy mengangkat satu alisnya saat Adip tidak duduk di seberangnya. Kembali, ia tunjuk kursi kosong di depannya.

Adip mendengus kencang. Ia memilih untuk mengalah dan menduduki kursi di depan Jeremy dengan kasar.

"Okey. Gue mau rujuk sama Clara dan gue rasa Clara dah cerita semuanya ke elo. Itu didasarkan sama keinginan dalam diri gue untuk bisa jadi suami dan bapak yang baik. Gue mau menebus kesalahan gue yang ninggalin Clara di sini sendirian. Gue gamau lagi liat Clara menderita."

Jeremy menyeruput kopi hangatnya. Masih bisa dibilang hangat karena ia belum lama menunggu kedatangan Adip. Ia terlihat lebih tenang jika dibandingkan dengan Adip yang menggebu-gebu.

Berbanding terbalik dengan pertemuan pertama mereka.

"Menurut lo Clara menderita?" tanyanya, terselip nada intimidasi di kelembutan nadanya.

"Iya. Dia ga ada pegangan hidup, ga punya sandaran hidup. Sedangkan dia menjadi pegangan hidup dan sandaran hidup untuk Cleo sama ibunya."

"Ga kok, Clara ga menderita. Dia baik-baik aja di sini tanpa elo."

Adip mengeraskan rahangnya mendengarkan kalimat yang terdengar berusaha meremehkannya itu. Ia membuang wajahnya. Apa yang akan Jeremy pikirkan terhadapnya? Jelas-jelas Jeremy lah pria yang menjadi pria nomor 1 yang tahu tentang Clara akhir-akhir ini.

Tapi bukan kah masih ada indikasi bahwa Clara menderita sebelum bertemu dengan Jeremy? Atau indikasi bahwa Clara selama ini menyembunyikan penderitaannya?

Tangan Jeremy yang saling bertaut itu ia letakkan di atas meja. Posisinya seperti seorang detektif yang tengah menginterogasi pelaku kejahatan.

"Dia bukan cewe lemah seperti yang lo pikir. Dia berusaha buat hidup dan menghidupi anak dan ibunya tanpa seorang suami. Nyatanya, dia bisa berdiri sampe detik ini dan dia baik-baik aja. Dari mana kesimpulan bahwa dia menderita? Kalo menurut gue, yang menderita tu lo sendiri. Lo yang sekarang menyesal karna menyia-nyiakan wanita sebaik Clara, lo yang punya rasa bersalah karna ga mampu menjadi suami dan ayah yang baik. Lo yang menderita."

"Menyesal bukan berarti menderita."

"Yeah?" Jeremy terkekeh remeh. "Berarti lo ga akan menderita kalo tahu Clara ga mau gagal sama lo untuk yang kedua kalinya. Dia gamau mengulang kesalahan yang sama. Dia udah tutup buku dan gamau lagi buka buku itu, jadi jangan berusaha untuk membuka luka lama dia. Oh, iya. Diminum loh kopinya."

Tangan Adip yang berada di bawah sana mencengkeram kuat kaki kursi yang dia duduki. Jika saja Jeremy tertawa lebih keras untuk meremehkannya, ia sudah pastikan kursi itu melayang dan menimpa wajah Jeremy. Untung lah akal sehat masih menguasainya.

"Dia pasti salah paham. Dia ga seterluka itu sampe ga mau balik sama gue."

"Gue paham kenapa dia setakut itu waktu lo ajak rujuk. Lo narsis dan keras kepala."

"Cuman Clara yang bisa memutuskan, bukan lo. Lo ga berhak menghakimi siapa gue dan sikap gue."

"Okey, gue setuju sama yang pertama. Kita tunggu keputusan Clara, mau lanjut sama luka lamanya atau lanjut sama orang yang udah pasti ga bakal melukai dia."

"Siapa pun yang dia pilih nanti, gue harap lo sportif."

Jeremy mengulum senyumnya. Entah mengapa, ia kali ini bisa menjaga emosinya dengan baik. Yang Clara takutkan tentang ia dan Adip yang mungkin akan baku hantam itu tidak ada. Syukur lah perasaan hatinya sedang sangat baik saat ini.

Ia menegakkan posisi duduknya yang awalnya bersandar pada kursi meja makan. "Harusnya gue yang bilang itu ke lo," ujarnya sebelum menghabiskan kopi miliknya. Sisa ampas ia tinggalkan begitu saja di cangkirnya sebelum ia letakkan kembali ke meja. "Kopi gue udah habis. Obrolan kita pun kayanya udah selesai. Gue pamit pulang."

Lidah Adip menyodok pipi kirinya, merasa dongkol direndahkan seperti ini oleh orang baru itu. Dari awal, ia sama sekali tidak diperkenankan mengetahui sisi baik seorang Jeremy. Dan ia rasa, ia akan selamanya membenci orang bernama Jeremy itu.

"Oh, iya. Untuk acara reuni SMA kalian, Clara bilang bakal dateng bareng gue. Cuman kasih info aja sih, siapa tau lo mau ambil start dari sana," ujar Jeremy sebelum meninggalkan Adip yang masih kaku duduk di tempatnya.

Tepat ketika Jeremy menutup pintu, Adip meraih cangkir kopinya. Ia meneguk separuh kopi itu hingga getir menguasai lidah dan kerongkongannya. Sama getirnya dengan perasaan hatinya saat ini. Ia segera membuang sisa kopi itu ke wastafel dengan perasaan berkecamuk. Jeremy akan selalu menjadi musuhnya.

Jika memang harus bertarung, ia siap.

















TBC

TBC

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Re jadi bandar dulu ahhh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Re jadi bandar dulu ahhh. Pada mau jagoin siapa?

Oiyaaa ke depannya bakal banyak bentuk chat gitu percakapannya, is that okay yorobundeul?

By The Irony Of FateWhere stories live. Discover now