Dia

151 85 80
                                    

Ranggasta Hara Nova. Anak kedua tuan Basmanta Nova. Dia kakak kedua Dikarya.

Angga, bukan Nata.

Ranggasta, anak kedua Basmanta Nova, digencar keluarga berada untuk putrinya, dan membuat huru-hara dimana-mana.

Katanya, "Dia Ranggasta, anak yang selalu disayang oleh Basmanta."
Bukan Angga satu-satunya, tapi Basmanta selalu berdalih mengucap namanya dengan cinta.

Apa yang kalian pikirkan tentang rumah seorang advokat ternama?
Advokat yang dalam masa kerjanya tidak pernah kalah dalam persidangan? Advokat yang membuat netizen sibuk mencari tahu 'ada apa' dengan keluarganya setiap hari?

Tentunya rumah bertingkat dua, garasi dengan jejeran mobil bergengsi, dan isi rumah yang digadang-gadang selalu ceria.

Nyatanya?

Hari ini, di ruang makan, dan di dalam rumah layaknya istana hanya terdengar dentingan alat makan.

Raga itu sendiri, duduk diantara kursi kosong yang tidak terduduki.

Hanya hening, masing-masing penghuni sibuk dengan urusan masing-masing.

Basmanta yang pergi bekerja, Regita ibunya pergi bersosialita, Adinata berada diluar negeri, dirumah ini hanya tersisa dua tokoh.

Dikarya dan Ranggasta.

Dikarya sendiri, di ruang makan ditemani Otaka kucing kesayangan Basmanta.

Mau apa? Sejujurnya selama ia hidup di rumah ini, ingin sekali ia berteriak dirumah ini, mendengar suaranya yang bergema memantulkan efek suara yang nyata ditengah megahnya rumah ini.

Berteriak seperti Ranggasta Hara Nova.

Teriakan, yang membuat makan malamnya tak tenang.

"DIKAAAAA," panggil Angga dari anak tangga pertama menuju kebawah.

Sendok yang akan masuk kedalam mulut Dikarya terhenti. Wajahnya terheran dengan dahi yang dikerutkan.

"Ada apa?" tanya Dikarya dalam hati.
Setelah mendengar teriakan Angga, Dikarya langsung menuju kearah anak tangga, dan berdiri menatap kakaknya.

Satu, dua, tiga...

"Headphone kakak dimana?" tanya Angga dengan hembusan nafas tergesah-gesah.

Entahlah, Angga hanya khawatir jika barang kesukaannya hilang.

Tidak mendapat respon dari Dikarya, Angga bertanya sekali lagi,

"Headphone kakak di mana Dika?" ulang Angga untuk pertanyaannya.

Jangan heran, walau bisu Dikarya masih bisa mendengar.

Dikarya hanya menggarukkan kepala sebagai jawaban,

"Bukannya tadi kamu pinjam?" tutur Angga pada Dikarya.

Dikarya menganggukkan kepala, setelah itu menaikkan jari kelingking sejenak, lalu ibu jari, setelah itu mengepal tangannya dengan ibu jari disamping.

Dikarya berbicara dengan jarinya,
menjawab dengan kata "Iya."

"Terus itu di mana?" tanya Angga.

Dikarya hanya terdiam, siang tadi headphone Angga dia pinjam untuk berjalan-jalan.

Dan headphone Angga agaknya ketinggalan.

Karna gadis cerewet itu.

"DIKA!," teriak Angga.

"Mana headphone nya dek? Kakak mau revisi lagu." lanjut Angga, dengan geram.

Beli lagi apa susah ya sih?

Merasa tidak mendapat jawaban, perasaan Angga mulai tidak enak akan adik satu-satunya.

"Headphone nya hilang?" celetuk Angga.

Dan apa boleh buat? Dikarya tidak bisa berbohong, bicara saja tidak bisa.
Hanya raga yang mampu mewakili kata.

Dikarya mengangguk dengan rasa bersalah, ingin sekali dia menjelaskan kejadian siang tadi pada Angga, tapi tidak bisa, dengan cara bahasa isyarat tidak berlaku saat Angga sudah panik.

"Itu mahal dek, kakak juga cuma punya satu." lirih Angga.

Miris, lagu pementasan grupnya harus ada esok hari. Pikirkan, Angga punya masalah saat ini karna Dikarya.

Sebenarnya, ada apa siang tadi?

Rumah elit, beli headphone sulit.

***

Disisi lain, anak gadis dengan rok abu-abu bertas ransel kuning dipunggungnya tengah berlari tergesa-gesa setelah turun dari bus sekolah.

"Kakak pasti marah." gerutunya dalam hati.

Marah, karna hari ini ia lambat lagi pulang sekolah.

"Gara-gara cowok itu sih." cibirnya sambil berlari melewati rumah-rumah menuju rumahnya.

@rnndt_sfyn

DIAM (Park Jeongwoo) || ON GOINGWhere stories live. Discover now