5 || Ajeng

32 28 8
                                    

"Ajeng!" Sahut temanku.

Aku berbalik untuk melihat si empu yang memanggil, ternyata dia adalah Resa, temanku.

"Ada apa, Res?"

Dia berlari kecil ke arahku, tatapan matanya sedikit berbinar ketika menatapku.

"Kamu lagi dekat sama kak Zidan ya, Jeng?" tanyanya tiba-tiba.

Aku menatapnya dengan tatapan heran. "Enggak kok, biasa aja. Cuma temenan," ucapku mantap.

"Yang bener?" Teriaknya heboh.

Aku dengan cepat menutup mulutnya dengan tanganku, dan sekarang kami berdua tengah ditatap oleh banyak orang di sepanjang koridor. Malu sekali rasanya.

"Kok bisa?"

"Ya bisa aja. Udah ah, kamu kepo banget si, Res," ucap Ajeng.

Resa menatap aku dengan tatapan menelisik. "Aku jadi curiga deh, Jeng," ucap Resa.

Resa kini tengah menempelkan jari telunjuknya dibibir Ajeng supaya gadis itu tidak menyerobot ucapannya. "Jangan-jangan kak Zidan ngecrush-in kamu lagi, Jeng," sahut Resa.

Aku segera menggeplak lengannya, "crash, crush, crash, crush. Inget Res, nilai kita lebih penting."

"Kali aja kan, kak Zidan beneran suka sama kamu," ucap Resa pelan.

Aku hanya diam. Tidak mungkin bukan seorang Zidan menyukai aku yang biasa saja ini. Walaupun kak Zidan tidak terlalu terkenal di sekolah ini tapi tetap saja banyak murid wanita yang suka membicarakan dirinya.

"Eh malah ngelamun," sahut Resa.

"Ayok kita ke kantin aku udah laper." Resa menarik tanganku dengan cepat bahkan aku pun sedikit tersentak karena kaget. Tapi dengan cepat aku kembali menetralkan raut wajahku dan hanya ikut saja ketika ditarik paksa oleh Resa.

***

"Kamu mau pesan apa, Jeng?" tanya Resa.

Aku sedikit menimang, aku bingung apa yang harus aku pesan untuk makan siang hari ini. "Batagor aja, Res."

Resa menganggukan kepalanya dan pergi untuk membeli batagor. Sedangkan aku tengah mengedarkan pandanganku mencari seseorang. Ya, orang tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah kak Zidan, lelaki itu tidak terlihat batang hidungnya sejak tadi pagi. Padahal ini hari terakhir ujian. Entah kemana perginya, dan yang paling aneh entah kenapa aku mencarinya.

Resa juga lama sekali, sepertinya dia tenggelam di lautan manusia yang memenuhi gerobak mang wawan. Jujur batagornya sangat enak untuk porsi tujuh sampai sepuluh ribu.

Mataku mulai menyipit guna memusatkan pandanganku pada satu titik dimana ada seorang lelaki yang tengah duduk dipojokan kantin bersama dua lelaki lainnya yang tidak aku kenal. Dia kak Zidan, yang aku lihat dia tengah tertawa bersama kedua lelaki lainnya. Bukankah dia tidak mempunyai teman? Lalu mereka itu siapa?

"Liatin apa kamu, Jeng?" Resa mengikuti arah pandang Ajeng.

"Astaghfirullah, Resa. Kaget banget," sahutku.

Resa tertawa pelan, aku memelotot ke arahnya. Apa-apaan temannya itu.

"Kamu lagi liatin apa, Ajeng Pramesti?" tanya Resa sekali lagi.

"Gak liat apa-apa. Ini aku lagi merem ni," ucapku. Aku merapatkan mataku karena kesal dengan kelakuan Resa yang sangat kepo.

Resa menepuk kepalaku pelan, dengan segera aku membuka mataku dan menatapnya jengah. "Lagian kamu terlalu kepo," ucapku.

"Aku kan cuma nanya, apa salahnya?"

"Gak salah."

"Ih, Ajeng nyebelin!"

Aku hanya mengedikkan bahu acuh dan mulai memakan batagorku. Aku juga tidak tahu lagi harus bereaksi seperti apa di depan Resa.

Sesekali aku mencuri pandang ke arah kak Zidan, sepertinya obrolan antara kak Zidan dan kedua lelaki itu cukup menyenangkan sampai bisa membuat kak Zidan tertawa seperti itu.

Dering telpon terdengar nyaring sehingga menghentikan aktivitasku melihat kak Zidan. Ternyata itu panggilan dari abang, sepertinya dia sangat mengkhawatirkan aku. Dan rasanya ini juga cukup berlebihan apalagi sejak kejadian dua hari lalu yang membuat abang dan kak Zidan saling pandang dengan tatapan cukup sinis.

"Assalamualaikum, dek."

"Waalaikumsalam. Ada apa abang nelpon?" tanyaku pelan.

"Dek, hari ini abang pulang ke barak. Kamu udah tau kan?"

"Udah tadi dari ayah. Pantesan abang pagi-pagi udah gak ada di rumah."

Aku menghela napasku kasar, padahal abang sudah janji akan mengantarkan aku ke sekolah dan pulangnya akan dijemput sekaligus mampir dulu ke time zone untuk menghabiskan waktu bersama.

"Maaf ya, lain kali kita main ke time zone. Nanti pulang dijemput ayah kan?"

"Iya, dijemput ayah."

"Yaudah. Hati-hati sekarang kamu dipantau sama ayah bukan sama abang lagi," ucapnya memperingati.

"Iya. Aku lagi makan udahan dulu ya?"

"Oke, assalamualaikum."

Belum sempat aku menjawabnya, abang terlebih dahulu mematikan sambungan telpon kita. Ingin sekali aku memakinya namun itu sangatlah tidak slay.

Abang itu seorang tentara, mas-mas loreng dengan seribu satu gombalannya. Takut saja dia malah hallo dek ke beberapa perempuan karena gak punya pacar. Apalagi sekarang lagi banyak rumor tentang mas-mas loreng yang hallo dek.

"Tadi abang kamu ya, Jeng?"

"Iya, kenapa?"

Resa menggenggam tangan kiriku. "Ganteng gak, Jeng?" tanyanya dengan mata berbinar.

Aku hanya bisa tersenyum canggung, bila aku katakan ganteng tapi sayangnya abangku itu jelek takutnya Resa malah kecewa.

"Jelek dia mah," sahutku pelan.

"Jeng, kalau kamu bilang abang kamu jelek berarti aslinya dia itu ganteng," ucap Resa.

Aku menatapnya jengah. "So tahu kamu!"

"Bukannya so tahu ya, Jeng. Kebanyakan abang di mata adeknya itu ya jelek padahal ganteng paripurna."

Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah absrud dari temanku ini. Mana bisa dia menafsirkan seperti itu, bagaimana kalau memang ternyata abang itu jeleknya paripurna bukan kegantengannya?






TIRAMISU [✔️]Where stories live. Discover now