7 || Me

27 24 2
                                    

Hari ini adalah hari pembukaan acara class meeting. Aku cukup antusias untuk mengikuti beberapa lomba kali ini, terutama lomba pop song dan tenis meja. Suaraku memang tidak sebagus Lyodra namun masih bisa digunakan ketika perlombaan ringan seperti sekarang ini, bakatku dibidang tenis meja juga tidak terlalu bagus namun aku lumayan sering memainkannya.

Acara dimulai dari pembukaan dan sambutan dari kepala sekolah, sampai acara selesai dan kami pun disuruh untuk menonton dari koridor karena akan ada pertandingan basket putri.

"Jeng, dari kelas kita gak ada yang ngisi volly putri. Kamu mau kan ikutan?" tanya Rania. Dia adalah salah satu siswi berprestasi yang ada di kelasku, sekaligus wakil ketua kelas.

Aku berpikir sejenak, kalau aku ikut volly bagaimana dengan tenis meja? Bukankah waktunya diserentakan hari besok?

"Gak Ran, aku kan ikut tenis." Jawabku sembari tersenyum singkat.

Rania mengangguk, masalahnya di kelas kami anak perempuannya hanya tujuh orang. Sangat sedikit bukan?

"Yaudah kamu aku jadiin cadangan aja ya? Katanya harus ada cadangannya gitu. Nama kamu masuk tapi kamu main tenis aja," ucap Rania.

Bisa juga seperti itu, tapi apakah akan baik-baik saja?

"Oke, Ran. Yang terbaiknya saja," ucapku pada akhirnya.

Rania mengangguk dan segera pergi ke tempat registrasi. Aku hanya melihatnya saja, tanpa ada minat untuk mengikutinya. Pertandingan basket putri ini sedikit membuatku jengah, entah ada apa dengan para pemainnya kenapa mereka malah sibuk saling dorong dan menjambak rambut pemain lain, bukankah mereka harus fokus pada bolanya?

Aku yang mulai merasa bosan pun pergi ke toilet, Resa sepertinya masih asik disana bahkan dia sudah berteriak sekeras mungkin untuk menyemangati para pemain.

Saat aku melewati beberapa koridor, aku lihat kak Zidan tengah berbincang dengan seorang perempuan. Sepertinya pembicaraan mereka cukup serius, terlihat sekali dari raut wajah kak Zidan. Apakah itu pacarnya kak Zidan atau temannya?

Aku segera membuang pikiran aneh yang ada di benakku, untuk apa aku memikirkannya? Toh aku bukan siapa-siapanya, aku hanya orang lewat yang tidak akan pernah dianggap.

Sesampainya di toilet aku hanya berdiam diri menatap pantulan diriku di dalam cermin. Sepertinya perempuan tadi itu adalah pacarnya kak Zidan, cantik dan juga menarik. Pasti banyak sekali lelaki yang mengantri ingin menjadi pacarnya, bila disandingkan dengan aku pasti akan sangat ketara perbedaannya. Aku hanyalah perempuan biasa, wajah dan hidungku tidak semulus perempuan tadi.

Aku segera menggeleng membuang pikiran itu, memangnya aku siapa? Sejak kehadiran kak Zidan dalam hidupku, pikiran-pikiran aneh mulai bermunculan dan itu sangat menggangguku, tapi tak ayalnya hal tersebut membuat candu.

Dering telpon mulai mengalun indah, ternyata itu dari Rania. Untuk apa dia menelponku? Apakah ada kendala dalam pendaftarannya?

"Hallo, Ran. Kenapa?" tanyaku.

"Kamu lagi dimana? Kak Adit nyariin kamu," ucap Rania. Terdengar dari nada bicaranya sepertinya ia tengah berlari.

"Di toilet, mau apa kak Adit nyariin aku?"

"Aku gak tahu. Pokoknya kamu disuruh temuin dia di TU."

Aku mengernyit heran, kenapa harus di TU?

"Yaudah, aku kesana. Makasih, Ran."

Aku segera menutup telponnya sepihak, dan segera pergi menuju TU. Sebenarnya aku cukup kaget ketika Rania mengatakan bahwa kak Adit mencariku, karena sebelumnya aku tidak terlalu mengenalnya dekatpun kami tidak. Kak Adit adalah seorang ketua Osis yang cukup banyak dikagumi, parasnya yang tampan serta skillnya yang mempuni membuat beberapa siswi menaksir kepadanya.

***

"Permisi," sahutku pada kerumunan orang-orang yang tengah mengantri untuk pendaftaran.

"Ajeng kan?" tanya kak Adit padaku.

Aku menganggukan kepalaku, rasanya sangat malu sekali. Apalagi dengan tatapan para siswa dan siswi yang tengah mendaftarkan lomba.

"Ikut saya sebentar," ucap kak Adit pelan. Aku hanya mengekorinya saja dari belakang tanpa ada niatan untuk bertanya atau apapun itu.

Ternyata dia membawaku ke perpustakaan, untuk apa dia membawaku ke sini? Ruangan tempat buku-buku berjejer rapi dan tempat ini lumayan sepi.

Aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya. "Ada apa ya, kak?"

"Ini, saya disuruh untuk memberikan ini," ucap kak Adit. Dia memberiku sebuah tas kecil berisikan kotak makan. Apakah dia naksir dengan aku? Baiklah ini cukup kegeeran tapi apa artinya ini?

"I-ini," ucapku terbata.

"Dari mamah saya. Katanya Ibu kamu pesan putu ayu," ucap kak Adit.

Kenapa ibu tidak bilang kepadaku? Kalau gini kan aku menjadi sangat malu. Bahkan sempat-sempatnya aku merasa kegeeran dengan kak Adit.

"Oh iya, kak. Udah dibayar belum kak?"

"Sudah kalau tidak salah."

Di dalam ruangan perpustakaan hanya ada aku dan kak Adit dan itu sangat canggung sekali. Aku bahkan tidak tahu harus bicara apa lagi kepadanya.

Kak Adit menggaruk hidungnya pelan. "Itu saja. Ayok kita keluar," ajaknya. Aku hanya mengangguk mengiyakan ajakannya.

"Terimakasih kak," ucapku tulus.

"Sama-sama. Semoga mamah kamu suka."

Aku tersenyum menatap punggung kak Adit yang mulai menghilang ditelan belokan koridor.

"Ajeng!"

Aku segera berbalik ketika ada yang memanggilku. Itu adalah Resa, temanku.

"Ada apa?"

"Aku cariin dari tadi taunya kamu ada disini," ucap Resa. Dia memukul pelan lenganku.

"Ini tadi aku ngambil ini dulu." Tunjuku pada tas kecil yang sedang aku pegang.

"Itu apa?"

"Putu ayu pesanan Ibu."

Resa hanya mengangguk saja, tumben sekali dia tidak bertanya lebih jauh. Biasanya dia akan melontarkan banyak pertanyaan untuk hal-hal kecil seperti ini.

Kami berdua pun kembali ke koridor untuk menonton pertandingan basket, jujur saja pertandingan kali ini sangat membosankan. Para pemainnya cukup egois dan brutal, dan aku tidak menyukai hal itu.


TIRAMISU [✔️]Where stories live. Discover now