Suspek Kedua

9 4 1
                                    

Tempat paling nyaman dan damai di sekolah itu, ya, perpustakaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tempat paling nyaman dan damai di sekolah itu, ya, perpustakaan. Dimana aku bisa membaca dengan tenang tanpa bising orang-orang.

Setiap istirahat, kalau aku lagi males jajan, aku selalu menghabiskan waktu di sini. Sendirian. Iya sendirian, karena semua temanku itu masuk aliansi anti-perpus.

"Arti Cinta." Aku menemukan buku dengan judul yang menarik. Tapi sayangnya buku itu berada di rak paling atas dan aku sulit menggapainya.

Aku berjinjit, berusaha mencapai buku itu. Maklum punya badan minimalis emang perlu mengeluarkan tenaga ekstra buat situasi kayak sekarang.

"Makanya Mbak, tumbuh tuh ke atas bukan ke samping." Seseorang berujar sambil terkekeh pelan.

Aku berdecak. Lalu menoleh dan ku dapati wajah orang paling menyebalkan di sekolah ini.

Iya, siapa lagi kalau bukan si bocah freak, Yuta.

"Kalau gak mau bantuin, seenggaknya gak usah ngehina!" balasku jutek.

"Dih, ngambek."

"Iya, iya deh. Aku bantuin." Yuta berjalan ke arahku sambil tertawa. Sebel banget deh.

"Nggak usah!" Aku menolaknya dengan cepat. Lebih baik aku mengambilnya sendiri daripada harga diriku diinjek-injek kayak gini.

"Serius nih gak usah?" tanyanya meyakinkan.

"Heem."

"Ya udah, bye."

What?

Yuta berbalik dan berjalan meninggalkanku yang tengah cengo. Gak jelas banget deh tuh orang. Dateng-dateng ngehina orang, terus lihat orang kesusahan bukannya bantuin malah pergi. Gak peka banget sih jadi orang. Asem emang.

Aku menghela napasku pelan. Sabar, Aira, sabar. Orang sabar disayang Win Metawin. Huh. Ayo, kamu pasti bisa Aira!

Kakiku berjinjit kembali. Tanganku berusaha mencapai buku itu, sedikit lagi sampai. Duh, susah banget sih. Siapa coba yang simpan buku itu di rak paling atas? Buat aku yang ehem ... badannya terlambat tinggi, jadi susah ngambilnya.

Tapi aku gak akan nyerah sebelum titik darah penghabisan, sebelum Chimon menikah sama aku eh ... maksudku sebelum ku dapatkan buku itu, aku gak akan menyerah.

Aku berusaha sekuat tenaga. Tinggal dua senti lagi tanganku hampir sampai. Namun, tiba-tiba ada tangan lain yang mengambil buku itu lebih dulu. Aku bernapas lega, lalu berbalik menghadapnya. Hendak berterima kasih pada orang ini karena sudah membantuku.

Wajahku kini tengah berhadapan dengan tubuh tegap seseorang. Jarak kami sangat dekat hampir tak ada cela. Wangi peach blossom menguar di hidungku. Manis. Aku suka.

Tunggu. Suara detak jantung siapa ini? Cepat banget ritmenya. Masa sih ini suara jantungku?

Tiba-tiba cowok di hadapanku ini beringsut mundur, menjauhkan tubuhnya dariku. Hingga aku bisa melihat jelas siapa cowok itu.

Anyelir Twenty-sixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang