09 Keputusan Terakhir

5 2 0
                                    

Aku sudah mulai mempersiapkan diri untuk bercerita pada bapak dan ibuku. Pada malam hari, tepat jam 19.13 WIB, aku menghampiri ibuku yang sedang menonton TV di ampèr. Aku duduk disampingnya beralaskan perlak sambil bersandar ke tiang rumah. Ibu terlihat santai dengan menjulurkan kakinya sambil mengunyah keripik singkong.

“Bu,” sapaku membuka percakapan.

“Iya...?”

“Saya ditawarkan masuk SMA 1 oleh guru saya.”

“Terus?”

“Pendapat ibu bagaimana?”

“Sekolah di SMA 2 saja Il, dekat rumah, biar kamu gak capek sekolah jauh-jauh.” Sudah pasti kuduga, ibu tidak akan setuju.

“Tapi saya katanya mau diangkat anak sama beliau.”

“O, jadi guru kamu mau membiayai kamu sekolah di SMA 1 sekaligus jadi anak angkatnya?”

“Iya, Bu.”

“Hm, memangnya kamu mau ya?”

“Sepertinya Iil gak mau Bu, karena nanti bakal pisah sama ibu, bapak, dan yu’ Hani.”

“Nah, itu. kamu gak bakal kerasan jadi anak orang lain.”

Jawaban ibu sudah bisa kupastikan bahwa beliau tidak setuju kalau aku sekolah di SMA 1. Akan tetapi, aku menyodorkan pilihanku yang lain,

“Kalau aku mondok, gimana Bu?”

“Sudahlah, sekolah di SMA 2 saja. Lagi pula kamu sudah sekolah madrasah. Apalagi nanti kalau mondok nambah biaya, biaya pondoknya sama biaya sekolah formalnya. Kasihan bapakmu.”

Aku meyakinkan ibu lagi, “nah, kebetulan pondok ini gak ada sekolah formalnya Bu. Jadi fokus ke ilmu agamanya saja.”

Tiba-tiba ibu terdiam tidak menjawab lagi. Wajahnya berubah jadi datar tanpa ekspresi. Aku tahu, ibu tidak mengizinkanku mondok bukan karena hanya soal biaya, tapi juga karena ia tak ingin berpisah dari anaknya. Apalagi nanti kalau yu’ Hani kuliah di tempat yang jauh, tidak ada yang bantu-bantu ibu di rumah.

“Ya sudah Il, terserah kamu saja. Tapi menurut ibu, sekolah yang dekat-dekat saja, toh antara SMA 1 dan SMA 2 ilmunya yang didapat juga sama. Itu saja saran ibu, nak.”
***
Malam semakin larut. Aku dan ibu masih setia duduk di amper. Ibu menunggu bapak pulang dari rumah nenek. Yu’ Hani tampaknya sudah terlelap dengan tumpukan buku-bukunya. Sedangkan aku berbaring di dekat ibu sambil sms-an dengan Anisa, temanku yang beda kelas (9A). Setiap malam ia tak pernah absen mengirimkan tulisan-tulisannya kepadaku lewat sms. Kadang puisi, kadang prosa, kadang juga curhatan hatinya.

Lima menit kemudian, bapak datang. Beliau membawa tiga bungkus bebek goreng untuk makan bersama. “Yu’ Haninya bangunin Il.” Perintah ibu. Aku menuju kamar yu’ Hani, ibu mengambil sendok dan air minum. Sedangkan bapak duduk bersila menunggu kami sambil membuka bungkusan bebek goreng.

Yu’ Hani keluar dari kamarnya dan langsung menuju amper.

“Ayo sini makan bersama, Han.” Ajak bapak.

Wajah yu’ Hani tampak ceria setelah melihat bebek goreng yang dibuka. “Wah..., alhamdulillah. Bapak beli ya?” tanyanya.

“Iya, nak. Sekali-kali.”

“Kalau uang bapak gak cukup, gak usah beli bebek goreng, Pak. Kita gak akan ngeluh kok. Iya, kan Il? sambung yu’ Hani.

“Gak papa. Mungkin bapak punya rezeki lebih. Lagi pula belinya gak tiap hari kan?” pungkas ibu.

“Iya, betul itu.” Jawab bapak.

Kami merasa gembira karena malam itu adalah malam pertama keluarga kami merasakan makanan enak. Hanya karena tiga bungkus bebek goreng, aku merasa sangat berkecukupan. Makanan ini bagiku sangat mewah dan modern, karena baru kali ini aku mencicipinya. Aku mulai mengerti mengapa ibu tidak mengizinkanku sekolah jauh-jauh, apalagi mondok. Pasti biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar daripada harga bebek goreng ini. Aku tersenyum dalam hati. 

Selang dapat setengah makan, tak kuduga, tiba-tiba ibu mengadu pada bapak.

“Pak, Iil katanya ditawari masuk SMA 1 sama gurunya. Tapi dia juga mau diangkat jadi anaknya. Jadi, gurunya yang akan membiayai sekolahnya.”

“Iil gimana, mau?

“Saya ragu, Pak.” Jawabku.

“Jangan Il. Kamu kalau hidup di rumah orang, gak akan bebas nanti. Iya, kan Bu?” larang yu’ Hani.

Kami semua tertawa mendengar jawaban yu’ Hani. “Bukan begitu nak,” bapak menyambung,

“Kalau menurut bapak, lebih baik tidak usah bergantung pada orang lain, selagi bapak bisa membiayai sekolahmu. Gak enak nak, kalau bergantung pada orang lain itu.”

“Kalau orangnya ikhlas, Pak?” tanyaku,

“Keikhlasan tidak bisa diukur dengan perkiraan manusia, karena hanya Allah yang tahu sejauh mana seseorang ikhlas dalam beramal. Iya kalau kamu tidak melakukan kesalahan. Yang bapak khawatirkan, sewaktu-waktu kamu tanpa sengaja melakukan kesalahan pada gurumu, baik saat kamu masih diasuh, atau setelah kamu lulus SMA, bapak takut membuat gurumu kecewa.”

Aku tertunduk dan terdiam mendengar jawaban bapak. Semuanya penuh hikmah.

“Bapak bukannya mengharapkan kamu melakukan kesalahan. Mana ada orang tua yang mau kalau anaknya berbuat salah? Iya kan? Jadi bapak bilang begitu dengan maksud untuk menjaga kamu. Menjaga ibu dan yu’ Hani juga. Intinya kita semua saling menjaga, karena kita semua tak akan luput dari kesalahan.” Lanjut bapak.

“Iya, Pak. Iil mengerti sekarang.”

Kami semua melanjutkan makan malam kami dengan lahap. Setelah selesai, aku dan yu’ Hani membantu ibu membereskan alat makan ke dapur. Bapak masuk ke kamarnya. Lepas itu, ibu masuk pula ke kamarnya. Aku mengukuti yu’ Hani. Sebelum tidur, aku mengecek sms di hpku yang bermerk Evercoss. Sms dari Anisa sudah berakhir. Kutebak, dia sudah tertidur. Terakhir sms-nya yang masuk adalah kalimat puitis yang berbunyi,

“Terima kasih atas waktu-waktu yang kau beri, untuk selalu setia mendengarkan celotehan hati ini. Kuharap tidurmu malam ini nyenyak sekali. Sampai berjumpa besok lagi. Dada...”

Aku tersenyum membaca tulisannya yang penuh irama itu. Pintar sekali dia membuat kalimat-kalimat itu, yang aku sendiri masih susah untuk mencobanya. Aku mulai membaringkan diri. Yu’ Hani sudah tertidur. Pikiranku tiba-tiba teringat dengan kata-kata bapak. Semuanya penuh makna. Setelah kupikir-pikir, ada benarnya juga. Mugkin sudah selayaknya aku mengikuti saran mereka. Dan mulai saat ini, aku harus mengubur mimpiku dalam-dalam untuk sekolah di SMA 1. Saran telah diterima, keputusan terakhir telah dibuat. Aku lanjut ke SMA 2, sekolah yang tak pernah kuinginkan sebelumnya.

“Sudahlah, Il. Gak papa. Dulu, sebenarnya aku juga ingin sekolah di SMA 1. Tapi, bapak dan ibu tidak merestui. Tapi alhamdulillah, yu’ masih bisa bersaing dengan siswa-siswa SMA 1 pada ajang OSN Kabupaten. Siapa tahu, kamu juga bisa seperti itu.” Kata yu’ Hani menenangkanku.

“Hm...”

Yu’ Hani pasti mengerti kalau aku merasa sedikit kecewa. Tapi, ia berusaha membuat aku tenang dan terus bersemangat meraih cita-cita di mana pun berada. Menurut yu’ Hani, sekolah di mana saja kalau diri sendiri tidak mau bergerak maju, ya sama saja tidak ada artinya. “Intinya, kamu harus terus belajar, belajar, dan belajar.”

“Iya, yu’.”

Dan, kami pun akhirnya terlelap.

CAHAYA MIMPIWhere stories live. Discover now