20 Seperti Orang Tua Sendiri

4 2 0
                                    

Malam pun tiba menutupi siang yang telah berlalu. Aku berangkat seorang diri mengayuh sepeda ontel menuju rumah Pak Maulud yang berlokasi di Jl. Mutiara. Dengan memakai baju yang seadanya, tunik biru model kuno dan celana jeans hitam yang longgar, aku memaksakan diri untuk hadir memenuhi latihan dance. Padahal, aku sama sekali tak ingin ikut serta. Namun, apalah daya.

Sesampainya di perempatan, aku berhenti menunggu lalu lalang kendaraan agak sepi. Habis itu, aku langsung menyabrang. Seperti kata Bela, ia akan meunggu kami yang tidak tahu lokasi rumah Pak Maulud di bawah gapura Jl. Mutiara. Sesampainya di bawah gapura, ada tiga orang yang sudah stanby menungguku, yaitu Arman, Lida, dan Liana.

"Loh, mana Bela? Kalian kok Cuma bertiga di sini?"

"Mereka sudah datang semua, Il. Sudah ada di rumah Bapak. Kita di sini nunggu kamu, karena Cuma kamu yang belum nongol dari tadi."

"Oalah..., jadi kalian disuruh nunggu aku di sini?"

"Iya. Tadi Nurul dan Bela yang ngaish tahu aku kalau kamu sudah nelfon mau datang. Jadi aku ngajak Lida sama Arman biar aku nggak sendirian di sini." Jelas Liana.

"Waduh, aku jadi ngerepotin nih."

"Nggak papa kok, Il. Ayo langsung aja ke rumah Bapak."

Kami berempat berangkat menuju rumah Bapak, melewati jalanan beraspal dan berbelok-belok. Terasa sekali bagaimana suasana perumahan di daerah perkotaan yang ramai oleh motor-motor dan mobil-mobil yang menyalip perjalanan kami. Sesekali kami berhenti ke pinggir karena ada sebuah mobil putih melampaui kami. Untung saja aku tidak kena serempet.

Setelah mobil itu berlalu, kami melanjutkan perjalanan. Arman berada di depan sebagai penunjuk jalan. Sedangkan Lida dan Liana membuntutiku dari belakang. Mengayuh sepeda rasanya malah tambah mrepotkan mereka. Tapi alhamdulilah, mereka sama sekali tidak mengeluhkan hal itu. Dan mereka benar-benar menerima keadaanku.

Selang beberap menit, kami tiba di rumah Pak Maulud. Aku turun dari sepeda dan menuntunnya ke dalam, ke halaman rumah beliau. Dari jauh, aku melihat beliau sedang duduk santai bersandar di tiang rumahnya. Halaman rumahnya begitu luas, berlantaikan semen, dan berpagar sepruh tembok separuh besi. Pot-pot besar menghiasi di tiap sudut pagar.

Tak begitu rumit menggambarkan model rumah Bapak. Rumah Bapak begitu minimalis namun enak dipandang. Modelnya ssederhana namun terkesan elegan. Cat temboknya berwarna biru muda berornamen orange. Di bagian teras dihiasi tanaman kecil yang diletakkan di rak besi berawarna putih. Sejenak, aku terpana melihat model rumah Bapak yang unik itu. Dan fokus mataku mulai tertuju pada Beliau yang sedang bericara dengan sebagian calon siswanya.

Teman-teman yang lain duduk berpencar-pencar. Ada juga yang berdiri, ada juga yang jongkok. Padahal, mereka sudah disuruh duduk di teras, tapi malah tidak mau. Mereka masih sungkan. Sedangkan aku, masih mundur maju yang mau menghadap beliau.

"Liana, temenin aku dong." Bisikku pada Liana yang baru selesai memarkirkan sepeda motornya.

"Iya, ayo."

Ketika jarak mulai dekat, aku mengucap salam, "Assalamu'alaikum..."

Pak Maulud langsung kaget mendengar salamku dan melihat ke arahku. "Wa'alaikumussalam..."

Aku langsung meraih tangannya dan menciumnya. Beliau tersenyum padaku.

"Ayo kalau sudah lengkap, langsung dimulai saja." Perintah beliau kepada kami.

Akhirnya latihan pun dimulai. Mulai dari membentuk barisan, membuat gerakan, hingga mencocokkannya dengan musik yang terdengar di balik sound system mungil milik Bapak. "Kalian lanjut latihannya ya, saya mau masuk dulu, supaya kalian tidak malu."

CAHAYA MIMPIWhere stories live. Discover now