12 Kedua Kalinya

5 2 0
                                    

Akhirnya hari kedua yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hari setelah pengumuman kelulusan kemarin yang bikin jantung berdebar kencang. Alhasil, kami semua merasa senang karena tidak ada satupun yang tidak lulus. Hari ini, tepat pada tanggal 10 Juni 2015, kami segenap siswa kelas IX SMPN 2 Sampang merayakan acara perpisahan di gedung BPU Sampang. Pastinya kami semua sudah mempersiapkan segala yang diperlukan untuk hadir ke acara perpisahan.

Jam 5 pagi aku sudah bangun. Merapikan tempat tidur, mandi, lalu salat subuh. Jam setengah 6 aku harus standby di rumah Agustina, karena tiga hari yang lalu dia mengajakku ke rumahnya, agar aku mau didandan oleh ibunya. Aku kegirangan karena mendapat make up gratis. Kostum yang kupersiapkan juga dapat pinjaman dari sepupuku, mbak Yanti.

Tepat pada pukul 05.20 WIB, aku berangkat diantar oleh yu’ Hani ke rumah Agustina. Sesampainya di sana, aku disambut oleh ibunya yang sudah mulai mendandani Agustina. Aku disuruh menunggu sambil lalu memakai kostum kebaya berwarna hijau lumut kombinasi brokat putih. Yu’ Hani tidak langsung pulang. Aku suruh ia menemaniku untuk memakaikan model kerudung yang cocok buat acara perpisahan.

Setelah semuanya beres, aku berangkat bersama Agustina naik becak. Yu’ Hani pulang mendandani ibu di rumah.

“Makasih ya, Tin. Aku jadi gak enak sama ibumu.”

“Loh, santai Il. Kan ibuku memang butuh dua orang Il. Nanggung kalo satu.”

“Kenapa milih aku Tin? Kan teman sekelasmu banyak.”

“Udah aku ajak semua Il, gak ada yang mau. Katanya mereka sudah make up di salon.”

“Oh, jadi gitu.”

Agustina tidak sekelas denganku. Dia duduk di bangku kelas IX-D. Tina masih berteman baik denganku karena setahun yang lalu aku dan dia sekelas, yaitu di kelas VIII-A. Seperti halnya Anisa, teman curhatku di sms. Kami dulu sempat sekelas. Setelah kami naik kelas, kami semua berpencar. Anehnya, aku, Olif, dan Yusuf tetap saja sekelas sejak kelas VII.

Tanpa sadar, perbincangan aku dengan Agustina berakhir, ketika tukang becak telah tiba mengantarkan kami berdua ke gedung BPU. Agustina masuk duluan, karena ibunya sudah datang. Sedangkan aku berdiri di luar menunggu ibu yang tak kunjung tiba. Teman-teman sudah banyak yang berdatangan. Tapi aku sama sekali tak melihat keempat sahabatku. Yusuf, Olif, Fitriya, dan Lala. Entah di mana mereka.

Dua menit kemudian, ibuku datang. Ibuku cantik sekali, meskipun sederhana make up nya. Yu’ Hani pandai juga.

“Hani pulang ya, Bu.” Yu’ Hani pamit setelah ibu turun dari sepeda ontel.

“Iya, nak. Hati-hati ya,” pesan ibu.

“Makasih yu’.” Sambungku.

Yu’ Hani meluncur pulang. Aku dan ibu segera masuk ke gedung BPU. Di pintu luar, kami disuruh mengisi absen kehadiran. Tampak wajah-wajah penerima tamu adalah anggota OSIS. Tak lupa kami diberi nasi kotak dan camilan. Usai absen, aku dan ibu masuk ke ruangan. Para siswa dan tamu undangan sudah hampir memenuhi tempat duduknya masing-masing. Aku pun menghampiri tempat dudukku yang sudah diurut absen.

“Il, ibu duduk di mana?”

“Terserah Bu, kayaknya bebas duduk di mana saja.”

“Ya sudah, ibu duduk di pinggir saja ya.”

“Iya, Bu.”

Aku disambut teman-teman kelasku dengan wajah ceria.

“Sini Il,” ajak Laili.

“Wah, Iil cantik sekali,” goda si Amir.

“Hm, semuanya cantik-cantik kok, bukan aku aja.”

“Yusuf tertawa melihat candaan Amir.”

Lala dan Fitriya menyapaku dari kejauhan. Aku, Olif, dan Yusuf duduk berbarengan karena kami bertiga urut absen. Teman-teman tampak sibuk berfoto-foto, berbincang-bincang, saling bertanya, sewa kostum dan make up di mana. Teman-teman kelasku juga sama.

“Ayo Il, foto.” Ajak Olif.

Aku mengeluarkan HP Blackberry milik yu’ Hani.

“Wih, HP baru nih, Il.” Olif tampak mengejekku.

“Hahaha, bukan punyaku ini Lif, tapi bunya yu’ku.”

“Halah, ngacok aja kamu Il. Bilang aja kalau gak mau dikatain punya HP baru, iya kan?”

“Kalo gak percaya ya sudah, Lif.”

“Hahaha...” Olif tertawa mendengar perkataanku.

Lalu aku berfoto dengan Olif. Yusuf gak mau diajak foto.

“Suf, ayo dong.” Paksaku.
“Iya Yusuf ini, sok jaim deh.” Kata Olif.

Aku tersenyum. Tiba-tiba,

“Woy, kalian berdua. Aku pengen ikut dong.” Teriak Fitriya dari deretan kursi no. 4 dari depan.

“Iya, aku juga.” Sambung Lala.

“Gimana caranya? Sulit nih.” Jawab Olif.

“Ya sudah kita foto bersamanya nanti aja, kalo acara udah selesai.” Jawabku.

Baru dapat dua foto, suara pengumuman terdengar mengejutkan para siswa. Kami disuruh merapikan tempat duduk, karena acara akan segera dimulai. Dalam sekejap, seisi ruangan berubah menjadi hening. Sunyi, tanpa suara. MC mulai membacakan susunan acara. Setelah semuanya dibacakan, mulailah pada acara yang pertama yaitu pembukaan, yaitu pembacaan basmalah bersama-sama. Kemudian pada acara yang kedua, MC melanjutkan,

“Acara yang kedua, pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, yang akan dilantunkan oleh siswa kelas IX-A, Muhammad Jamal Abdul Nasir. Kepadanya dipersilahkan.”

Aku terkejut setelah mendengar nama Jamal disebut oleh MC. Aku segera melihat ke arah panggung. Memeriksa apakah itu benar nama panjang Jamal.

“Suf, Jamal teman kamu itu ya?” bisikku pada Yusuf.

“Iya, Il.” Jawab Yusuf santai.

Aku tercengang dengan rasa tak percaya, setelah wajah Jamal terlihat jelas dari tempat dudukku. Tiba-tiba saja wajahku memerah dan hatiku terguncang. Perasaanku sulit digambarkan. Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba aku begini. Usai mengucapkan salam, Jamal memulai bacaannya. Suaranya yang syahdu telah berhasil menghipnotis seluruh penonton, hingga tiap-tiap baris yang ia baca, tak luput dari seruan “Allah...,” dari semua penonton.

Aku bukan hanya terhipnotis, tapi aku terpaku dibuatnya. Aku terpana untuk yang kedua kalinya. Suara Jamal yang kudengar saat ini lebih menggelegar dan lebih menyayat hati ketimbang yang kemarin lusa. Mungkin ditambah oleh dukungan sound system di aula BPU, jadi suaranya lebih lantang, membuat bulu kuduk berdiri. Aku benar-benar merinding. Aku tidak bisa lagi menatapnya lama-lama di panggung. Aku mencoba menunduk, mendegar suaranya saja tanpa memandang wajahnya.

Tak terasa, usai sudah lantunan ayat-ayat suci itu. Jamal menutup bacaannya dengan kalimat, “Ṣadaqallah al-‘aẓīm...” Kok cuma sebentar ya? Kesalku dalam hati.

“Suf, kok kamu gak bilang-bilang Suf, kalo temenmu itu jago qira’at?”
“Kenapa Il?”

“Ya, gak papa sih.”

“Aa, pasti kamu suka ya, sama dia?”

“Ah, apaan sih, Suf. Gak lah, aku kan cuma nanya.”

“Ayo ngaku. Kalau suka, aku bilangin ke orangnya ya.”

“Eh, Suf. Jangan! Kamu mau mempermalukan aku ya?” Yusuf kaget melihat wajah kesalku.

“Hehe, gak Il. Aku cuma bercanda kok. Jangan marah dong.”

“Hm, iya, iya.”

Aku menyembunyikan perasaanku pada Yusuf, tapi sepertinya dia bisa menebak ekspresi wajahku. Makanya dia mengolok-olokku. Aku malu bukan main. Andai tadi aku diam saja. Pasti Yusuf gak akan meneba-nebak begitu. Dan Jamal, aku tak mengerti mengapa aku bisa terkagum-kagum padanya. Mungkin karena dari awal dia tampak bersahaja, ternyata dia punya bakat yang istimewa. Barangkali dia tidak mau menampakkan pada teman-temannya kalau dia punya keahlian. Pantas saja kemarin lusa dia belajar ke Pak Anam berdua saja di gazebo.

CAHAYA MIMPIWhere stories live. Discover now