22. Tidak pantas hidup?

102 8 0
                                    

Happy reading..

Clara dan Riri berlari memasuki koridor rumah sakit. Keduanya menuju ruangan tempat Racala sedang ditangani.

Clara memegangi lututnya saat telah sampai di depan ruangan tersebut. Di sana, terdapat Rico, Leo, Geo, Dion, dan Bima sedang duduk di kursi pengunjung.

Atensi kelimanya teralih pada Clara dan Riri yang baru saja datang. Mereka sempat terkejut melihat kehadiran Clara, ternyata benar, gadis itu adik dari lelaki yang mereka tolong tadi.

"Abang gue, gimana keadaan abang gue?!" tanya Clara pada kelima pemuda tersebut.

"Masih ditangani dokter," jawab Rico seraya berdiri dari duduknya.

"Lo duduk dulu," titah Rico mempersilahkan Clara duduk.

Kemudian Leo dan Dion juga beranjak. Sedangkan Riri membawa Clara ke kursi itu dan menuntunnya untuk duduk. Gadis itu mengelus lembut bahu Clara, memberikan ketenangan padanya.

Clara menunduk sembari menumpu dahinya dengan kedua tangannya. Suara isakan terdengar dari mulut Clara, gadis itu sangat khawatir, ia takut kakaknya kenapa-napa.

"Ra, tenang Ra." ujar Riri memeluk Clara dari samping.

"Abang gue Ri.." lirih Clara.

"Dia bakal baik-baik aja, percaya sama gue." ujar Riri yang terus saja mengelus bahu Clara, berusaha menenangkannya.

Suara derap langkah kaki membuat atensi mereka kembali teralih. Di sana, terlihat Ayah sedang berjalan menuju tempat mereka berada.

Clara mengusap kedua tangannya gelisah, Ia takut Ayahnya akan marah lagi saat melihat keberadaannya. Gadis itu memilih menunduk agar tidak dikenali.

"Bagaimana keadaan anak saya?!" tanya Ayah, rautnya menunjukkan kekhawatiran yang teramat.

"Masih ditangani oleh dokter, om." jawab Dion.

Ayah mengusap kasar wajahnya, pandangannya terpaku pada gadis yang tengah menunduk di samping Riri.

"Clara?"

Bagai di sambar petir, Clara seketika mematung di tempatnya. Bagaimana bisa pria paruh baya itu mengenalinya?

Mereka yang ada di sana juga ikut menoleh pada Clara yang masih setia menunduk.

Ayah berjalan mendekat, kemudian memegang dagu Clara mendongakkan wajah gadis itu hingga menatapnya.

Sorot pria itu berubah tajam dipenuhi amarah yang tertahan. Ia mencengkram dagu Clara hingga melukainya dengan cara membiarkan kukunya menekan dagu milik gadis itu.

"Anda melukainya!" sentak Rico menggeser tubuh Ayah, lalu memeriksa dagu Clara yang berdarah akibat cengkraman pria itu.

Netra Clara menatap Rico, begitupun sebaliknya. Namun tak bertahan lama, Ayah segera mendorong pemuda itu hingga terhuyung beberapa langkah ke belakang.

"Kemari kau anak sialan!"

Pria paruh baya itu menarik paksa tangan Clara, kemudian mencengkeramnya kuat. Clara berusaha menarik tangannya yang sakit akibat cengkraman tersebut.

"Clao!"

Dokter Ari menatap marah Ayah diambang pintu sana.

Kaki jenjang Dokter Ari melangkah cepat ke arah Ayah dan Clara, kemudian melepas paksa cengkraman Ayah pada tangan keponakannya itu.

"Apa yang kau lakukan?!" bentak Dokter Ari menatap Ayah tajam.

"Minggir kau! Akan saya beri pelajaran pada anak sialan itu! Saya yakin, dialah penyebab kecelakaan ini!" sentak Ayah berusaha menyingkirkan tubuh Dokter Ari yang menghalanginya.

Clara menatap Ayahnya dengan sorot terluka. Lagi-lagi, kenapa Ia yang harus disalahkan?

"Apa kau sudah gila?! Kenapa kau selalu menyangkut pautkan semua hal buruk yang terjadi itu karena Clara! Dia tidak bersalah Clao, dia sama sekali tidak bersalah!" ujar Dokter Ari.

"Cihh! Jelas-jelas itu terjadi karena kesialannya. Apa kau tidak ingat? Dialah penyebab kematian Ibu! Apa kau sudah lupa?!" ujar Ayah dengan nada yang sudah mulai meninggi.

"Berhenti berbicara dengan nada tinggi seperti itu! Ini rumah sakit, apa kau tidak malu bersikap seperti ini?!" balas Dokter Ari.

"Tidak, sebelum kau menyerahkan anak sialan itu padaku!" ujar Ayah beralih menatap tajam Clara.

"Tidak akan! Mau kau apakan dia hah?!" sentak Dokter Ari melindungi Clara.

"Saya akan membunuhnya." ucap Ayah dengan nada rendah sembari menatap Clara dingin. "Anak sepertinya, tidak pantas untuk hidup."

Mereka yang ada di sana terdiam mendengar perkataan Ayah. Tak habis pikir dengan pria paruh baya itu. Bagaimana mungkin seorang ayah tega ingin membunuh putrinya sendiri?

"Bunuh!"

Clara berdiri dari duduknya. "Ayo bunuh Clara Ayah.." ucapnya seraya menatap sendu Ayahnya.

Mereka seketika menatap Clara.

"Kalau itu bisa membuat Ayah senang, ayo bunuh Clara." lirih Clara, netra gadis itu berubah menjadi kosong dan hampa, seakan sudah tidak mempunyai gairah untuk hidup.

Rasa sakit yang ia terima selama ini sudah cukup banyak, bertahun-tahun dirinya terus berusaha bertahan.

Berharap suatu saat nanti, keluarganya akan menerima dan menyayanginya kembali seperti sedia kala. Tapi apa? Luka yang ia dapat malah bertambah kian banyaknya.

Bertahun-tahun ia melewati semuanya sendiri. Tak ada yang peduli, meskipun tangisan pilunya selalu terdengar setiap malam. Mereka seakan tuli, tak menyadari betapa terluka dirinya.

Hidup dengan didampingi orang-orang yang terus saja menyalahkannya, membuat gadis itu serasa dirajam oleh ribuan belati setiap saat.

Mentalnya tak lagi kuat, mental dan hatinya sudah lelah menghadapi semua ketidakadilan dari takdir yang seakan tak menginginkan kebahagiaannya.

Jika memang mati adalah jalan yang terbaik, maka Clara siap menerimanya. Mungkin Ayahnya benar, ia memang tidak pantas untuk hidup.

"Clara!" panggil Riri memegangi tangan Clara yang hendak maju menghadap Ayah. "Lo gila?!"

Clara tak menjawab. Gadis itu terus menatap Ayah dengan sorot yang sudah berkaca-kaca.

"Tidak Clara! Jangan berbicara seperti itu," sergah Dokter Ari berbalik menatap Clara.

Clara masih saja diam tak bergeming di tempatnya.

"Dokter, pasien sudah sadar." ujar suster yang baru saja keluar dari ruangan Racala.

Ayah menatap Clara dengan tajam. Kemudian segera masuk dan melihat keadaan putra sulungnya, tanpa memperdulikan Clara yang terus menatapnya sendu.

"Tetaplah disini, saya akan memeriksa kakakmu." ujar Dokter Ari mengusap lembut surai Clara. Kemudian melangkah masuk ke dalam ruangan itu.

Clara terduduk di kursi dengan sorot gamang memandang lantai. Beberapa kali ia memukul dadanya yang tiba-tiba saja terasa sesak. Riri yang melihatnya pun segera membawa Clara ke dalam dekapannya.

Mendekap erat tubuh rapuh yang sudah di penuhi penderitaan itu, mengusap surainya lembut, memberi ketenangan dan kehangatan.

Rico, Leo, Geo, Dion, dan Bima saling pandang. Mereka benar-benar tak bermaksud berada di tengah-tengah masalah keluarga ini.

Rico menatap sendu pada Clara. Ingin rasanya ia dekap juga tubuh itu, mengatakan pada gadis itu, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

***

Thanks udah baca, see you next time🕊🤍.

Clara dan Lukanya (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang