21 - Waras

1.7K 278 132
                                    

Hari demi hari kembali bergulir. Tidak perlu banyak diceritakan sebab semua berjalan seperti yang telah terlewati: Awan berobat, terapi, lalu Wulan mengunjungi dua-tiga hari sekali—dengan Sagara yang kadang tak memberi izin, tapi Wulan tetap masa bodoh karena belum suami.

Hari ke-92 kini.

"Nama lengkap kamu siapa?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nama lengkap kamu siapa?"

"Danantyawan."

"Panggilannya?"

"Awan."

"Tanggal lahir?"

"1 April 2002."

"Umur?"

"20 tahun."

"Kalau sudah sembuh, mau tinggal di mana?"

"Eumm... belum tahu. Asal tidak di Semampana, saya bersedia."

"Kenapa tidak mau di sana lagi?"

"Dokter bilang... sebaiknya saya tidak tinggal di sana lagi?" Awan bertanya balik kepada dokter yang berdiri di sampingnya. Mereka sama-sama menghadap halaman hijau dengan pagar besi sebagai pembatas.

Dokter itu tersenyum, menyapu-nyapu bahu atas Awan—pasien penurut yang tengah duduk di kursi roda. "Iya, itu untuk kebaikanmu. Buka lembaran baru di tempat baru. Jadilah Awan yang baru dengan semangat baru. Kamu masih sangat muda, masa depanmu masih panjang," ujarnya bijak menenteramkan.

Sebetulnya, Dokter Dharma sudah tahu bahwa Haryadi Atmadjaya akan lebih dari bersedia menampung Awan.

Awan menghela napas, tersenyum kecil di sudut bibirnya. Dokter Dharma selalu terdengar sangat keren dan dapat diandalkan. Tak sadar, telah menjadikan sang dokter role model. Ingin sekali bisa sekeren Dokter Dharma yang pintar, baik, menyenangkan, dan dari suaranya, sepertinya tampan.

"Terima kasih, Dok, selalu baik pada saya," ujar Awan setelah mengagumi dalam hati.

"Sama-sama, Wan. Kamu orang baik, tentulah saya mesti memperlakukanmu baik juga," balas Dokter Dharma santai.

Awan tersenyum malu. Selalu tersipu jika mendapat pujian atau penghargaan, sekecil apa pun itu.

Awan sehat. Bobot tubuhnya sudah normal sesuai tinggi badan. Sudah tak lagi pucat, kurus kering, dan kusam. Ia banyak makan-minum bergizi berkat bantuan keluarga Wulan. Kakinya belum dapat berjalan banyak, tetapi berdiri selama satu menit lebih sudah bisa. Berjalan dua-tiga langkah pun sudah bisa, tapi harus berpegangan.

Benar, menyembuhkan kelumpuhan tak semudah yang dibayangkan ternyata.

"Wan." Dharma berjongkok jinjit dengan jemari dalam sepatunya.

"Ya?" sahut Awan. Kepala ia gerakkan perlahan, mengikuti arah suara Dokter Dharma berasal—agak di bawah.

"Sepertinya kita harus berpisah, Wan," ungkap dokter itu.

SUDAH BILANG IBU? ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang