29 - Cahaya

1.6K 308 128
                                    

Ujung perban yang diganti tiga hari sekali itu, kembali digunting oleh dokter. Sudah hari ketujuh pascaoperasi transplantasi kornea yang Awan jalani. Kata Awan, matanya sudah tak terasa sakit lagi. Obat-obatan pasca operasi yang diberikan dokter ternyata bekerja baik. Pemuda itu menjalani rawat jalan selama tujuh hari ini.

"Sejauh ini berarti tidak ada gejala penolakan, ya. Bagus sekali," cetus dokter mata itu sembari membuka lilitan perban dari mata Awan.

Awan duduk di atas brankar pemeriksaan, dengan dokter yang menangani masalah matanya sejak awal-seorang dokter mata sepuh yang akrab dipanggil "Profesor Suryo".

Tak lama kemudian, perban itu pun lepas. Namun, Awan masih menutup mata sebab belum disuruh membuka. Jantungnya berdegup keras, telapak-telapak pun mendingin sebagaimana kebiasaannya saat cemas. Bagaimana kalau operasinya gagal? Pasti akan mengecewakan Bapak yang sudah membayar mahal.

Profesor Suryo tersenyum dengan kumis-jenggot berubannya. "Coba Awan buka matanya. Pelan-pelan, ya, jangan cepat-cepat," ucapnya kemudian.

Sesuai yang diperintahkan, Awan mulai membuka dua kelopaknya. Perlahan-lahan, dirasa-rasa. Sedikit, kelopak sipit itu mulai terbuka. Sejumput cahaya masuk, melewati kornea barunya, menembus cepat ke pupil, lensa, kemudian retina. Membentuk bayangan buram, warna, bentuk, lalu rupa.

Awan mengedipkan mata. Sekali, dua kali, tiga kali. Buram, merambat kian cerah. Bibirnya terbuka, napasnya melambat, pompaan jantung mencepat. Jelas, senyum Profesor Suryo menyambut begitu ramah. "Halo, Awan," sapanya, melambaikan tangan.

Jas putih, kemeja hitam, rambut beruban, juga kumis-jenggot beruban. Manik Awan memanas, lantas berair begitu cepat. Sorotnya menangkap senyum tua nan teduh Profesor Suryo. Kelopak mata Awan mulai bergetar.

"Ini saya, Profesor Suryo. Bagaimana? Jelas, tidak?" tanya dokter tua itu, tersenyum.

Awan menarik napas. Sesak dadanya, dipenuhi haru dan kesima. Ia menganggukkan kepala. "Iya, Prof...," jawabnya pelan, bergetar.

Profesor Suryo melihat tatapan Awan bersirobok dengannya, tak lagi kosong gelap seperti yang lalu. Tersenyum lebar, Profesor Suryo menyapu kepala pemuda 40 tahun lebih muda darinya itu. "Alhamdulillah," syukurnya. Kemudian, menunjuk arah kanan. "Coba lihat ke sana dulu," titahnya lembut.

Kepala Awan menoleh ke arah yang disuruhkan. Menangkap dua wujud orang yang tak pernah ia kenal, duduk di sofa luar bilik pemeriksaan, tapi masih seruangan. Lima meter jaraknya. Salah satu dari orang itu, seorang gadis muda, tengah menutup mulut dengan tangan, menahan beludak keharuan.

Tatapan mereka bersua, berbenturan. Awan memindahkan sedikit pandangan, pada pria paruh baya yang duduk di sebelah si perempuan. Berpakaian rapi khas orang kaya. Lalu, kembali pada gadis yang tadi menutup mulut, kini tak lagi menutup mulutnya. Cantik, terharu, berbaju hitam, rambutnya tergerai.

Awan menebak-nebak, dengan penglihatan yang digenangi air. Satu gerak dihasilkan, perempuan itu berdiri, lalu berlari kecil menghampiri Awan yang duduk di pinggir brankar berkaki tinggi. Degup keras menyerang jantung masing-masing.

Puk! Sebuah pelukan, gadis itu berikan. Harum rambut yang Awan kenal. "Kamu sudah bisa lihat aku?" Gadis itu bertanya, lirih bergetar. Suara yang Awan kenal. Suara yang membuatnya selalu tenang, rindu, dan senang. Jadi... yang ini orangnya?

Air mata Awan jatuh cepat, melewati wajahnya yang masih mencerna sekitar, mambasahi beberapa helai rambut sang wanita.

"Saya bisa lihat Wulan...," gumam Awan setengah berbisik.

Gadis itu mengangguk-angguk. Pelukan mengerat, sang gadis kian mendekap. Isakan kecil pun keluar dari mulutnya. Wulan, gadis itu belum dapat menyuarakan suara lain selain isak penuh bahagia. Awan sudah bisa melihat dirinya, terasa bagai rindu berat yang akhirnya usai.

SUDAH BILANG IBU? ✔️Where stories live. Discover now