36 - Sekarang (TAMAT)

3.6K 337 143
                                    

[Sebelumnya] Mereka pun melanjutkan perjalanan. Bergegas dari rumah usang itu ke kubur-kubur lainnya di tempat pemakaman umum desa. Iya, kuburan Wening dan Yuda. Tak terlalu jauh dari rumah lusuh penuh kenangan kejam.

Tiba mereka di TPU Semampana, hawa kesedihan menguat. Tak bisa Awan bendung agaknya. Baru kaki berpijak di tanah pekuburan, Awan sudah kewalahan menahan perasaan. Rindu mencuat hebat. Digenggamnya erat tangan Wulan.

Wulan menengok, mendongak ke sebelah. Menatap raut suaminya, lalu memberi senyuman hangat. Mengecup bahu Awan karena tak sampai bila mengecup pipi suaminya. Harus berjinjit, tapi kini mereka sedang berjalan.

Sampai di batu nisan milik mendiang Yuda, semuanya pun kembali berjongkok. Nanar Awan menatap nisan tersebut, lantas teringat bertahun-tahun tak datang untuk sekadar mencabut rumput. Awan tak kuat, cepat sekali pertahanannya runtuh. Ia menunduk, menangis di lengan kanan baju.

Wulan menyapu punggung dan lengan Awan. Menahan panas di mata, kala isakan kecil lolos dari mulut suaminya. Ila dan Jia, mana sanggup menahan. Mereka pun tak berhasil pergi dari kungkungan air mata.

"Yah, Awan minta maaf tidak datang-datang...," ujar Awan pecah, masih menangis di lengan baju kanan.

Semua hati serasa diremas. Kita yakin Yuda takkan marah. Beliau paham anaknya butuh jauh dari Semampana agar sembuh, sehat, dan waras.

Awan mengangkat wajah, menampilkan muka merah basahnya. Menatap batu nisan Yuda, lantas ia genggam. "Yah... ternyata Awan mirip Ayah," ucapnya pelan, kembali meluncurkan air mata dengan mudah, bicara amat bergetar. "Awan bukannya tidak senang mirip dengan Ayah... tapi sulit sekali... Awan selalu sedih setiap becermin, selalu merindukan Ayah... selalu ingat waktu Ayah setiap hari mengunjungi Awan, bermain dengan Awan... membawa makanan yang enak-enak...."

Air mata Wulan deras. Sakit sekali hatinya. Walau kini tampak selalu bahagia dan berkelas, selalu ada sisi nelangsa di hidup suaminya.

"Ayah... Awan ke sini karena Ibu Nina meninggal. Ibu bilang... sudah tidak membenci Awan...," adu Awan dengan senyum gemetar. "Awan sudah punya anak, Yah... namanya Aini... mirip sekali dengan istri Awan, namanya Wulan. Baik sekali orangnya."

Wulan menunduk haru, menyeka mata yang lagi-lagi harus basah. Ila dan Jia, tidak ada beda keadaan mata mereka dengan mata Wulan dan Awan.

"Jia, Ila...," panggil Awan kemudian.

Keduanya pun menatap.

"Terima kasih, ya. Terima kasih juga untuk bapak dan ibu kalian, selalu peduli pada kuburan Ayah dan Ibu Wening saat aku tidak ada untuk membersihkannya seperti dulu," tutur Awan tiba-tiba berterimakasih.

Makin tak kuat saja Ila dan Jia. "Tidak usah dipikirkan, Wan." Ila mewakili dengan senyum dan suara bergetar.

Awan kembali menatap nisan Ayah, lantas tersenyum hangat. "Ayah, sekarang Awan bekerja di perusahaan batu bara. Awan jadi direktur keuangan di sana. Semoga Ayah senang melihat Awan yang sekarang... Ayah tidak perlu sedih lagi."

Wulan kesulitan menarik cairan hidungnya yang tersumbat, lalu menyeka mata yang terus saja basah.

"Berkat kebaikan Bapak Haryadi, bapak mertua Awan... juga Wulan, istri Awan. Mereka semuanya baik pada Awan, Ayah jangan khawatir... Awan baik-baik saja sekarang."

Langit kian gelap. Magrib akan segera tiba. Samar-samar, Awan teringat wajah Wening yang ia simpan dalam memori usia 4 tahunnya. Kemudian, menyunggingkan senyuman. "Semoga... Ayah dan Ibu Wening diampuni dosa-dosanya. Dan Ayah... apa sudah bahagia dengan Ibu Wening sekarang? Awan harap sudah, ya...," tandas lelaki yatim piatu itu bergetar.

SUDAH BILANG IBU? ✔️Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon