Simon coming

340 26 5
                                    






Shane semakin tak terkendali dan terbuai dengan aroma wangi tubuh sang istri.

"Shane! Jangan gila kamu. Kita mau keluar menemui Simon. Aku harus bersiap!" teriak Stella dengan nada tinggi.

Kekawatiran mulai mengelayuti pikirannya. Dia takut sang suami kembali memintanya untuk melayani di ranjang. Karena dia melihat Shane seolah menjadi sosok yang berbeda--seperti kecanduan untuk bersentuhan dengannya.  Sehingga membuatnya kawatir.

Tentu saja meskipun mereka sudah menikah dengan resmi dan menjalin hubungan suami-istri yang sah, tapi tetap saja Stella enggan bersentuhan dengan pria yang tidak ada di hatinya. Terlebih pria yang kasar dan cenderung menyakitinya.

"Jangan pikirkan Simon, Sayang. Bukankah lebih baik kita mengisi waktu tersisa untuk quality time demi keutuhan rumah tangga kita, agar harmonis seperti pasangan kebanyakan. Pernikahan yang berdasarkan cinta dan kasih sayang, bukan kebencian..." bisik Shane yang kini sudah berdiri berhadapan dengan sang istri yang terlihat memerah menahan amarahnya.

"Shane. Kamu sudah gila? Pernikahan kita ini bukan seperti orang-orang. Kita menikah karena kontrak saling membutuhkan. Jadi, kenapa kau menjadi mengubah haluan dan tujuanmu melalui label pernikahan kita?" tanya Stella membuat Shane langsung menerkam bibir sang istri yang terlihat menggodanya.

Entah mengapa Shane cenderung tidak mampu menahan diri ketika berhadapan dengan Stella sang istri sejak tadi malam--malam panas yang membuatnya terngiang-ngiang akan dahsyatnya malam pertama. Shane menjadi sosok yang berbeda. Dia biasanya bercinta selalu menggunakan pengaman, tapi kali ini dia tidak mengenakannya. Dia justru menikmati tiap sentuhan dengan wanita di hadapannya. Biasanya dia tidak begitu menyukai sentuhan fisik selain di atas ranjang. Tapi kali ini berbeda. Dia ingin selalu menyentuh sang istri, selalu!


"Ayolah, Ste. Apakah kau mau mempermainkan sebuah ikatan suci pernikahan. Alih-alih menikmati kontrak, kenapa kita tidak mencoba menikmati hubungan pernikahan kita. Aku merasa semua kalimat ibumu dan mama benar mengenai kasih sayang dan komunikasi dalam pernikahan. Dan aku ingin menerapkannya di pernikahan kita..." bisik Shane lagi lalu memeluk tubuh Stella sang istri dengan erat.

Terasa hangat baginya manakala bersentuhan kulit sang istri yang belum mengenakan pakain hanya kimono mandi yang telah di tanggalkan Shane dengan secepat kilat.

"Shane! Kamu salah makan sejak kemarin. Kamu ngelantur terus. Kamu sadar tidak bahwa aku adalah Stella! Aku Stella yang kau nikahi karena sebuah taruhan!" tegas Stella karena merasakan perbedaan sikap sang suami padanya.

Mendengar kalimat itu, bukan lantas membuat Shane menghentikan aksinya, atau setidaknya menghajar Stella karena telah melukai harga dirinya dengan kalimat-kalimat tidak sopan. Tapi, pria tampan itu kini justru mengangkat tubuh sang istri, ala-ala bridal Style menuju ranjang mereka yang masih berserakan.

Ahh! Sial. Kenapa aku jadi secandu ini dengan istriku? Dimana letak harga diriku?

Gerutu Shane sembari merebahkan tubuh mulus sang istri yang telah polos tanpa sehelai benangpun.

"Kita nikmati saja, Ste. Aku menginginkannya, dan aku pikir kau juga harus menikmatinya, Ste. Kita adalah pasangan suami istri yang sah. Tidak ada yang melarant kita melakukan hal ini. Justru hal ini di anjurkan untuk memperkokoh pondasi kita dalam pernikahan. Jadi, aku mohon hilangkan ekspresi wajah tertekanmu itu..." bisik Shane lagi kini mulai mencumbu Stella dengan lembut dari ujung kepala sampai ke kaki.

Mereka kembali beraksi di atas ranjang menikmati kehangatan sebagai suami-istri. Hingga akhirnya sebuah teriakan Shane menandakan klimaks yang dia peroleh untuk kedua kalinya pagi ini.

Shane terlihat tergelepar di sisi sang istri dengan menciumi dahi dan pipi sang istri yang terdiam mematung dengan mata terpejam.

Stella merasakan selangkangannya semakin nyeri. Hingga enggan rasanya untuk bangkit berdiri karena tulang-tulang tubuhnya seperti rontok.

"Terimakasih, Sayang. Kau memberiku keindahan yang luar biasa. Mari kita beristirahat sebentar, aku merasa lelah..." bisiknya tepat di telinga sang istri sembari memeluknya dari belakang karena kini Stella memunggungi Shane.

Sejenak kemudian terdengar suara dengkuran menandakan pemilik tubuh yang tengah memeluknya sedang tertidur pulas karena lelah. Layaknya seorang lelaki setelah mencapai puncak kenikmatan dia akan merasakan kantuk yang luar biasa, begitulah Shane saat ini.

Dia bahkan lupa jika saat ini Simon sudah tiba di bandara, dan seharusnya dia telah berpakaian rapi dan berada di Bandara seperti janjinya pada Simon.

Sedangkan Stella sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa, air matanya rasanya telah terkuras habis tadi malam. Dan lelah juga menderanya, hingga akhirnya dirinya juga memejamkan matanya.

Mereka tertidur lelap dengan posisi Shane memeluk sang istri dari belakang tanpa mengenakan penghalang. Bahkan selimut juga tidak menutupi tubuh keduanya.

Waktu terus berlalu, Adrian tampak berjalan mondar-mandir di bawah, dengan tangan memegang ponsel sembari mempertimbangkan untuk menghubungi sang Tuan yang tadi memintanya membeli kursi roda.

"Aku harus gimana, sudah lebih dari tiga jam Tuan berada di kamar, bahkan Tuan Simon kini sudah mendarat kalau memang penerbangan sesuai jadwal. Apa yang harus aku lakukan, haruskah aku menyusul ke kamar? Atau menghubungi via telpon saja? Tapi Tuan berpesan untuk tidak mengganggunya selagi bersama dengan Nyonya...." Ardian memegangi kepalanya masih sembari berjalan mondar-mandir.

"Hei, Boy. What are you doing?" Sapa sebuah suara yang tidak asing baginya, hingga membuatnya menghentikan aksinya lalu menoleh kearah suara.

Matanya terbelalak lebar seperti melihat hantu di siang bolong antara tidak percaya dan takut.

"Tu-tuan...Simon..." jawab Adrian tergagap, membuat Simon terkekeh dan menepuk bahunya.

"Kenapa, kau merasa bersalah karena tidak menjemputku ke bandara? Calm down, Dude! Aku sudah berada di sini, dan aku harus menyapa Tuan rumah dengan baik, oke? Sataiiii..." ucap Simon lagi dengan terkekeh, lalu dia berjalan menuju tangga.

"Tu-Tuan. Apakah tidak sebaiknya Tuan menunggu di sini, Tuan Simon pasti lelah, biar saya yang memanggil Tuan Shane." ucap Adrian sigap dan berjalan mendekat kearah Simon yang terlihat fresh dengan pakaian yang di kenakananya pagi ini.

"Santai. Shane tidak mungkin marah jika aku mendatanginya. Aku tahu saat ini mereka sedang merancang sandiwara di depan mataku. Tenanglah, aku sudah bisa menghafal trik Shane. Mana mungkin dia bisa bersikap natural dengan wanita yang tidak dia inginkan..." Simon terkekeh dan meneruskan langkahnya menaiki tangga.

"Ta-tapi, Tuan. Tuan Shane tadi berpesan untuk tidak mengganggunya ketika bersama Nyonya, sampai mereka yang benar-benar turun..." ucap Adrian berusaha mencegah Simon naik ke lantai atas dimana kamar sang tuan berada. Tentu saja kekawatiran mengisi hatinya.

Simon terdengar tertawa melihat ketakutan di wajah asisten pribadi Shane.

"Kau tenang saja. Aku ingin menangkap orang yang ingin ber-acting di depanku. Itu kursi roda untuk apa? Mengatakan kalau Stella tidak bisa menemuiku karena baru kecelakaan dan harus duduk di kursi roda, begitukah skenarionya?" tawa Simon lagi mengabaikan Adrian yang memucat dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan putus asa.

Sementara Simon terus melangkah menuju kamar Shane dan membukanya perlahan, dia ingin melihat Shane malu.

"Kena, kau!" ucap Simon sembari membuka pintu dan matanya terbelalak melihat pemandangan yang ada di hadapannya.

HASRAT TERPENDAM ISTRI CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang