Sigit X Vivi (End)

28.7K 1.3K 81
                                    

"Maaf, Mas." ucap Vivi. Dia hampiri Sigit yang masih termenung di kursi meja makan.

Setelah pertengkarang dengan Mama tadi, Mama yang marah pun langsung menyeret Vivi masuk ke kamar. Mama berbicara panjang lebar, memberikan opsi untuk bercerai saja dari Sigit jika Vivi sudah tidak mampu. Sebenarnya Mama mengatakan itu bukan karna sayang dengan Vivi, tapi karna sebagai wanita, egonya tersentil melihat wanita lain tidak di hargai suaminya. Terlebih-lebih itu anaknya sendiri, dia merasa gagal menjadi Ibu.

Sigit tidak menyaut, dia biarkan Vivi duduk di kursi sebelahnya. Sebenarnya dia rindu perempuan itu, juga Selin, anaknya yang tidak dia temui beberapa hari ini. Tapi rasa rindunya lebih teramat besar pada Vivi, belum lagi saat dia pergi kemarin, mereka belum membuka pembicaraan. Sigit yang masih kesal karna Vivi dengan mudah meminta bercerai, padahal itu bukan sebuah solusi.

Vivi terlalu ceroboh dan berfikir pendek, perempuan itu hanya mementingkan egonya sendiri. Padahal mereka menikah bukan hanya tentang Selin, tapi perempuan itu malah akan meninggalkanya karna Selin.

Vivi yang melihat Sigit hanya diam pun memilih membereskan meja makan. Piring-piring juga makanan sisa masih belum berpindah tempat. Sepertinya Erni juga enggan mendekat ke meja makan, apalagi melihat raut Sigit yang tidak sama sekali mengendur.

Saat Vivi sedang mencuci piring, tiba-tiba dia merasakan sepasang tangan melingkar pada pinggannya. Belum lagi wajah Sigit yang menempel di punggungnya.

"Maaf." lirihnya. "Seharusnya Mas yang minta maaf."

Buru-buru Vivi mencunci tangannya yang di penuhi busa sabun, beberapa sisa piring dia tinggal begitu saja. Vivi balikan tubuhnya, dia tatap Sigit yang begitu sendu.

"Ini salahku, Mas. Seharusnya aku nggak ngomong begitu sama Mama." sesal Vivi. Dia menyayangkan sikapnya yang sok tau, padahal itu semua bisa menjadi masalah untuk mereka.

"Salah Mas juga. Mas seharusnya pamit sama kamu, bukan pergi begitu aja."

"Aku yang seharusnya kasih Mas perhatian juga. Aku bukan istri yang baik, sampai-sampai nggak tau suami pergi ke mana."

Sigit menggeleng dengan cepat. "Kamu istri terbaik, Vivi. Kamu juga ibu terbaik buat Selin."

"Tapi aku bukan Ibu kandung Selin."

"Tapi kamu yang menyusui dia. Kamu udah berkorban banyak buat kami, untuk Mas, juga Selin."

Dengan ragu-ragu Vivi balas pelukan Sigit, dia peluk erat-erat. Rasanya ini adalah pelukan kedua mereka, setelah pertama kalinya Selin masuk rumah sakit dan Sigit menengkannya. Biasanya mereka akan beriteraksi seperlunya, jika pun tidur bersama, Vivi akan sedikit menjaga jarak. Dia masih canggung juga resah.

"Mas!" pekik Vivi dan mendorong Sigit dengan kuat hingga pelukan mereka terlepas. Ingatnya kembali pada kejadian tadi pagi, saat Vivi melihat Sigit yang meringkuk dengan memeluk foto pernikahan lelaki itu dengan Vina.

"Kenapa?" tanya Sigit bingung.

"Ak-aku mau lanjut cuci piring."

...

Hubungn Sigit juga Vivi semakin membaik setiap harinya, juga Vivi dan sang Ibu mertua. Mama Sigit itu sudah tidak segan memberikan perhatian pada Vivi, bahkan acap kali mengajak Vivi jalan berdua. Sigit juga sudah kembali satu kamar dengan Vivi, justru Selin lah yang di pindahkan untuk menempati kamarnya sendiri. Sebenarnya Vivi agak sedikit kecewa, apalagi usia Selin yang belum genap satu tahun. Takut jika bayi itu akan sulit tidur. Nyatanya tidak, sudah hampir satu bulan, Selin yang di tempatkan di kamar sebelah kamar Vivi pun anteng-anteng saja. Hanya sesekali menangis, itupun jika kehausan atau diapersnya bocor.

Short Story.(21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang