|30|

1.7K 106 9
                                    

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun terus berganti. Juan bukan lagi si anak putih merah, bukan juga si putih biru, kini seragamnnya sudah berganti menjadi putih abu. Lembaran lembaran baru dikehidupannya terus ia lewati tanpa sosok sang Ayah disampingnya.

Setahun kepergian sang Ayah, Juan pindah, atau lebih tepatnya terpaksa pindah. Om Yasa, yang merupakan saudara laki-laki satu-satunya sang Ayah dan Papah dari bang Yudha itu yang mengambil alih hak asuhnya, pindah ke tempat baru artinya memulai lembaran baru, dengan sosok Juan yang juga baru tentunya.

Kepergian Ayah membuat kepribadiannya menjadi berubah, Juan lebih banyak diam, namun bukan berarti menjadi tertutup.

Dua kali ditinggalkan orang yang amat sangat disayang bukan hal yang mudah. Meskipun bertahun-tahun sekalipun sudah ditinggalkan, rasa terpukul masih tetap saja setia menyelimuti dirinya.

Waktu itu, ulang tahunnya yang ke-16, kali ke empat dirinya merayakan ulang tahun tanpa sosok sang Ayah disampingnya, dan untuk pertama kalinya juga Juan mengerti tentang satu hal.

"Ada satu hal yang mau Om bilang ke kamu, sama ada yang mau Om kasih ke kamu, ini titipan dari Ayahmu."

Malam itu, selepas makan malam perayaan ulang tahun kecil-kecilan Juan, Om Yasa mengajak dirinya duduk ditaman belakang, ada hal serius yang ingin beliau bicarakan katanya.

"Titipan Ayah? Kenapa Om baru bilang sekarang?"

Atensinya yang semula hanya terpaku pada rerumputan dibawah kakinya, teralih karena mendengar ucapan Om Yasa yang menyangkut Ayahnya.

Sebuah buku diterimanya pada malam itu, terlihat agak usang, namun bukan itu yang menjadi fokusnya, nama 'Sulthan Aldigbrata' tertulis dengan sangat jelas diatas buku itu.

"Angkasa Aldinata, ah nggak, Angkasa Aldigbrata lebih tepatnya, masih ingat dengan sosok itu?"

Anggukkan pelan Juan berikan, tentu saja dirinya masih mengingatnya, mengingat sosok Angkasa, adiknya yang hanya terpaut jarak 1 tahun darinya. Bahkan Juan masih mengingat dengan jelas bagaimana pertemuan pertama mereka -- dirinya dan Angkasa--.

"Sekarang, umurnya 15 tahun Ju, baru banget adik mu itu masuk SMA, nggak kerasa ya? Kasa yang dulu untuk pertama kali kamu temui masih pake seragam putih merah udah ganti aja jadi putih abu, sama kayak kamu."

Juan tersenyum tipis, ternyata waktu berjalan secepat itu ya, dan ngomong-ngomong bagaimana sekarang kabar Angkasa ya? Apakah adiknya hidup dengan baik? Lalu apakah Angkasa sudah mengetahui tentang kepergian Ayahnya? Ah tidak, sepertinya untuk yang itu mustahil, tahu Sulthan adalah ayahnya saja belum tentu.

"Dan masih ingat nggak kamu, kapan dan dimana pertemuan terakhir kalian?"

Pertanyaan yang dilemparkan Omnya membuat Juan mengerutkan dahinya, remaja itu nampaknya tengah berusaha mengingat tentang pertemuan terakhir mereka yang berujung perpisahan secara tiba-tiba itu.

Rumah Sakit, setidaknya itu pertemuan terakhir mereka, saat dimana dirinya menyaksikan sang Ayah yang terlihat begitu kacau kala mendapatkan kabar jika Angkasa dan keluarganya mengalami kecelakaan.

"Rumah sakit, waktu itu Ayah panik banget, Ayah kacau banget pas tau adik kecelakaan." Jawabnya.

Mengehela pelan nafasnya, Yasa lantas segera mengelus pelan kepala Juan.

"Dan kecelakaan itu, buat Kasa jadi tuli, dia kehilangan pendengarannya."

"Tuli? Om jangan bercanda, nggak mungkin kan itu? Om, Kasa nggak tuli." Ujar Juan, dirinya bahkan mengelengkan pelan kepalanya, itu tidak mungkin, Kasa tidak mungkin kehilangan pendengarannya.

ANGKASA || JJH [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang