5. Seperti Kisah.

143 13 2
                                    

cw // kiss.

.

.

.

Zavi tidak ingat kapan pertama kali dirinya merasa begitu bahagia saat mendengar sahutan lembut dari seorang gadis yang kini tengah Ia tunggu kehadirannya di depan sebuah pintu salah satu apartemen yang terletak di tengah-tengah keramaian Ibukota.

Seingatnya, dulu, Zavi sangat membenci suara itu, bahkan tak hanya suaranya, tingkah lakunya, presensinya, perhatiannya, Zavi benci semuanya. Zavi enggan berurusan atau dikaitkan dengan segala hal yang menyangkut tentang Syifa. Ya, gadis yang sekarang Ia kagumi, Ia sayangi, Ia tunggu kehadirannya hampir setiap hari.

Oktober 2020,

Dua tahun silam, untuk pertama kalinya Syifa hadir dalam hidup seorang Zavi, awal mula hanya tersenyum dan menyapa. Zavi yang kala itu masih memiliki seorang kekasih mencoba maklum dengan perlakuan Syifa, sesekali Ia balas tersenyum, namun lama-kelamaan, hari demi hari hingga bulan berganti, gadis itu selalu muncul dihadapan Zavi, menyita sedikit waktu Zavi yang harusnya bisa Ia luangkan untuk kekasihnya. Zavi kesal, terlebih saat-saat dirinya menerima kotak bekal dan sepucuk surat setiap harinya. Bukan perihal malu karena pada saat itu mereka sudah di masa kuliah, bukan! Tapi risih dan andai kekasihnya tahu, hal itu tentu akan menjadi bibit pertengkaran.

Zavi mulai bersikap tegas, awal mula dengan satu teguran.

"Stop kirim makanan, stop nulis surat, stop gangguin gue."

Nihil.
Teguran lelaki itu dianggap angin lalu.
Bagai gadis bodoh, Syifa tetap mengirimkan kotak bekal dan surat-suratnya.

'Jangan pernah sedih Kak Zavi.'

'Oh God, you deserves better.'

'Eat well, take care.'

'Jangan marah.'

'Wish you always surround by happiness.'

'I have a small soulder, but if you need it, you can come.'

'It's hard, I want to tell but I won't.'

Bingung bercampur amarah, Zavi tidak paham akan semua surat-surat kecil yang dikirim oleh Syifa, apa maksud yang tengah gadis itu coba jelaskan.

Dari kekesalan itu, Zavi mulai berani merobek semua surat yang Syifa kirimkan, langsung di hadapan gadis itu, melempar surat yang telah menjadi lembaran-lembaran kecil tadi dengan keras ke atas tanah, menginjaknya tanpa peduli.

Hari berikutnya, Zavi mulai membuang semua kotak bekal yang Syifa berikan ke dalam tempat sampah. Lagi, tepat di hadapan Syifa plus dengan satu kalimat dingin.

"Sampah itu dibuang, bukan dimakan."

Setelah berkali-kali Zavi bersikap kasar seperti itu, akhirnya salah seorang teman Syifa terpancing emosi. Gadis dengan rambut lebih panjang sedikit dari bahunya itu berteriak pada Zavi, "Brengsek! Gak ada bersyukurnya lo jadi cowok!"

Acuh.

Zavi tahu, sikapnya memang brengsek untuk ukuran perlakuan seorang lelaki pada seorang gadis, namun Ia tetap memilih melakukannya karena ulah Syifa sendiri. Zavi merasa cukup, merasa sudah jengah dengan kelakuan Syifa.

"Syifa! Stop ngejar tu cowok gila, dia red flag banget tau gak?!" Pekik teman Syifa lagi, kali ini pada sahabatnya sendiri, Syifa.

Zavi pikir Syifa akan bersedih lalu berlari untuk menangis sendiri entah dimana, namun dirinya salah, Syifa malah balas memekik tak kalah keras. "Ih biarin! Kalo dia red flag, gue jelmaan banteng!" Ucapnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 11, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Flowerystar's Oneshot CollectionsWhere stories live. Discover now